Suatu ketika, sesudah saya membagikan hasil evaluasi (ulangan) pada siswa, seorang siswa mendatangi saya di kantor. Ia datang sambil membawa dua lembar kertas. Rupa-rupanya ia ingin mempertanyakan nilainya. Ia berkata “pak, kok nilai saya untuk soal-soal ini hanya segini, padahal saya menjawabnya sama persis dengan apa yang ada di buku dan catatan, sedangkan teman saya ini jawabannya tidak sama dengan catatan, kenapa nilainya bisa lebih baik dari saya ?”. Saya memperhatikannya sejenak, kemudian saya bertanya “fokus permasalahan Sosiologi itu intinya mengenai apa ?”. Ia menjawab “interaksi dan realitas sosial di masyarakat pak”. “Lalu, apa yang saya mau kamu lakukan dengan interaksi dan realitas sosial itu ?” tanya saya lagi. Anak yang secara akademik terkenal pintar di kelas itu menjawab lagi “menganalisa pak”. “Nah itu dia, analisa membutuhkan ketajaman nalar, logika, pemahaman konsep, dan argumentasi, bukan pengetahuan yang sama persis dengan buku atau catatan. Jadi maaf saja, Sosiologi bukan hapalan “sahut saya sambil tersenyum.
Di kalangan pelajar, Sosiologi kerap menjadi mata pelajaran yang membosankan. Siswa dituntut untuk menghapal materi dan teori-teori tanpa mereka memahami apa yang sesungguhnya menjadi “roh” dari ilmu Sosiologi. Pada akhirnya, Sosiologi menjadi pelajaran yang kurang populer di mata siswa. Bahkan ada stigma yang menyamakan Sosiologi dengan PPKn, agama, sejarah, ataupun pendidikan moral. Hal itu tidak sepenuhnya salah, karena di dalam Sosiologi memang terkandung hal-hal yang bersinggungan dengan PPKn, agama, sejarah, ataupun moral. Namun sekali lagi, Sosiologi tidaklah sama dan serupa dengan bidang-bidang ilmu tersebut. Logikanya, jika sama dengan PPKn, agama, sejarah, atau pendidikan moral dan budi pekerti, buat apa ada ilmu yang bernama “Sosiologi” ? Ya to ?
Ketika pertama kali Auguste Comte memproklamirkan Sosiologi sebagai ilmu, ia berpijak pada ketertarikannya pada pergerakan struktur masyarakat yang tidak ubahnya sebuah sistem organisme hidup. Ia melihat bahwa pergerakan itu pada akhirnya mampu membentuk sebuah pola-pola tertentu. Ketika ada pola yang jelas, maka secara ilmiah sesuatu hal bisa dianalisa. Karena ada pola tertentu yang bisa dilihat dan diperkirakan itulah, maka Comte memandang perlu ada ilmu tersendiri yang mempelajari masyarakat. Dari situlah kemudian lahir ilmu yang kita kenal sebagai “Sosiologi”. Dan nampak-nampaknya ilmu ala Comte ini menarik para ahli untuk berbicara dan berdebat lebih dalam mengenai masyarakat serta ilmu Sosiologi sendiri. Hingga kita kenal tokoh-tokoh Sosiologi dengan bermacam aliran pemikiran seperti Max Weber, Karl Marx, Frederick Engels, Emile Durkheim, Herbert Spencer, Peter Berger, dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh tersebut mewarnai perkembangan Sosiologi untuk menjadi ilmu yang mandiri dan memiliki ciri khas.
Pertanyaannya adalah, apa yang sebetulnya menjadi ciri khas objek dan kajian dari Sosiologi ? Bukankah sudah banyak ilmu yang berbicara dan bersinggungan dengan masyarakat ? Ekonomi tidak bisa lepas dari masyarakat, Sejarah tidak bisa lepas dari masyarakat, Agama tidak bisa lepas dari masyarakat, bahkan sudah ada Psikologi yang lebih spesifik membahas tentang manusia sebagai bagian inti dari masyarakat. Lalu apa yang membedakan Sosiologi dengan bidang ilmu yang lain ? Soerjono Soekanto, seorang tokoh Sosiologi Indonesia mengatakan bahwa Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat secara keseluruhan melalui hubungan individu-individu yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Jadi intinya, keistimewaan Sosiologi terletak pada interaksi antar manusia sebagai fokusnya. Interaksi sosial adalah objek ilmu yang menjadi ciri khas dalam Sosiologi. Sehingga tidak heran jika wilayah garapan Sosiologi bisa melebar hingga bersentuhan dengan ilmu-ilmu yang lain, karena yang namanya interaksi sosial selalu terjadi dalam segala aspek kehidupan. Maka jika saya ditanya apa itu Sosiologi, saya akan menjawab Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat dengan interaksi sosial sebagai objek kajian utamanya.
Nah, apa yang harus kita lakukan supaya kita mudah untuk menikmati dan mempelajari Sosiologi ? Langkah-langkah berikut ada baiknya untuk kita terapkan :
1.Jangan menghapalkan materi tetapi biasakan untuk memahami materi !! Tidak perlu kita berkomat-kamit sehari semalam untuk menghapalkan materi. Biasakan untuk memahami inti dan ciri khas dari sebuah konsep. Jika perlu berikan definisi pada konsep tersebut sesuai pemahaman kita sendiri dan dengn kalimat kita sendiri, asalkan tidak melenceng dari makna intinya. Jika kita sudah paham, maka materi dan konsep tersebut akan lebih melekat di memori kita.
2.Berusahalah menemukan hubungan-hubungan antar konsep dalam materi Sosiologi. Karena semua konsep dalam Sosiologi saling berhubungan satu sama lain. Salah satu caranya adalah dengan membuat peta konsep atau skema hubungan.
3.Teliti baik-baik setiap kalimat dalam konsep Sosiologi. Jangan terburu-buru, karena terkadang hal kecil yang kita lewatkan bisa sangat berarti besar.
4.Cobalah melihat realitas sosial tidak hanya dari satu sudut pandang saja. Arahkan pikiran kita pada perspektif dunia yang luas. Ibaratnya jangan pakai kacamata kuda dalam melihat realitas sosial. Hal ini akan membantu kita dalam menganalisa dan membuat kesimpulan.
5.Biasakan untuk tidak mudah percaya pada “filsafat katanya”. Punyai data, bukti dan informasi sebelum kita menganalisa dan memberikan argumentasi atas sebuah realita dan fenomena sosial.
6.Jangan melihat masyarakat dan manusia sebagai unit yang terpisah. Pahami bahwa perilaku masyarakat mempengaruhi perilaku manusia, sebaliknya perilaku manusia juga mempengaruhi perilaku masyarakat. Bahasa kerennya, individu selalu berada dalam konteks sosial, dan fenomena sosial selalu berada dalam konteks global.
7.Jangan terjebak untuk menggunakan standar moralitas dalam memberikan penilaian pada suatu realitas sosial, meski kita hisup dalam standar itu. Ingat bahwa Sosiologi mempunyai posisi sebagai “pengamat” bukan “eksekutor”. Artinya bahwa Sosiologi mempunyai bagian untuk memandang dan menganalisa suatu realita dan fenomena, bukan memberikan penilaian benar dan salah. Prinsip dasarnya adalah SOSIOLOGI MEMAHAMI DAN BUKAN MENGHAKIMI.
Sehingga kemudian jika kita mempelajari Sosiologi, tugas kita bukanlah menghapalkan teori ataupun materi. Tetapi mempertemukan teori itu dengan kenyataan dan realitas sosial di masyarakat. Dengan kata lain, kita menggunakan teori-teori itu sebagai “pisau” untuk menganalisa dan membedah sebuah realitas sosial. Bukan untuk menghakimi realitas sosial itu, tetapi untuk memahaminya secara utuh. Jadi sekali lagi kesimpulannya, Sosiologi bukan pelajaran hapalan !! (ydk@0209)
Selengkapnya...
Monday, November 9, 2009
Eittss...Sosiologi bukan Hapalan Lho...
Friday, May 8, 2009
Pentingnya Bimbingan Konseling untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan di Indonesia
Pendahuluan
Pendidikan adalah salah satu pijakan penting dalam kehidupan, baik dalam lingkup kehidupan personal maupun sosial. Hal ini juga disadari sepenuhnya oelh para founding father negara kita. Kesadaran tersebut diwujudkan dalam pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45), yang meneguhkan pentingnya pendidikan bagi setiap pribadi yang hidup di bumi pertiwi. Sudah 63 tahun berlalu sejak cita-cita pendidikan Indonesia dirumuskan, bagaimana kondisi kekinian pendidikan Indonesia ? Jika kita melihat dengan kacamata objektivitas, maka akan muncul satu kesimpulan bahwa pendidikan di Indonesia belumlah optimal dan masih sangat jauh dari yang diharapkan oleh para founding father negara ini. Wim Tangkilisan, pemimpin umum harian ”Suara Pembaruan” dalam tulisannya di http://www.koranindonesia.com/ menyajikan beberapa data statistik mengenai pendidikan Indonesia. Di antaranya laporan United Nation Educational, Scientific, and Cultural (UNESC), November 2007, yang menyebutkan, bahwa peringkat Indonesia di bidang pendidikan turun dari 58 ke 62. Selain itu, daya saing Indonesia menurut World Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7. Hal ini sebetulnya menunjukkan indikasi adanya ketertinggalan pendidikan kita dari pendidikan negara-negara lain, baik di kawasan regional maupun di kawasan global. Bahkan secara khusus Bank Dunia (World Bank) mempublikasikan laporan mengenai adanya peningkatan kuantitas pendidikan dan anak yang bersekolah di Indonesia, namun tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan (http://siteresources.worldbank.org). Kualitas pendidikan tersebut di antaranya dinilai dari daya saing manusia Indonesia, seperti yang dipaparkan di atas. Sehingga, meskipun banyak di antara anak negeri kerap memenangi berbagai ajang olimpiade akademik, juga banyak di antara anak negeri yang mempunyai posisi penting di beberapa perusahaan global, tetapi prestasi tersebut lebih disebabkan karena faktor individual, bukan hasil dari program yang dijalankan secara nasional.
Secara faktual, tujuan pendidikan Indonesia sering dibiaskan seturut dengan pandangan umum; demi mutu keberhasilan akademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai ebtanas murni, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri. Satu hal yang sering dilupakan adalah proses pembentukan pribadi, proses pendampingan pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian (cura personalis) siswa (Kartono,2007). Akibatnya adalah banyak penilaian yang menganggap bahwa secara hard skills siswa Indonesia tidak kalah dengan negara lain, tetapi secara soft skills (di antaranya EQ, karakter, kedisiplinan, semangat juang, dsb), siswa Indonesia masih harus banyak belajar dari negara-negara lain. Mengingat proses pembentukan, pendampingan, dan pemeliharaan pribadi, terutama di sekolah, adalah bagian dari peran bimbingan dan konseling, maka perlu disadari bahwa sebetulnya bimbingan dan konseling memegang peran yang cukup menentukan dalam peningkatan kualitas pendidikan di sekolah, dan tentu saja berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Dari sini kemudian muncul satu pertanyaan mendasar, dalam hal apakah dan bagaimanakah bimbingan konseling berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan ? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah yang menjadi pokok utama dalam makalah ini. Namun sebelumnya perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep bimbingan konseling dan penerapannya di sekolah Indonesia secara faktual dan aktual pada masa kini.
Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Shertzer dan Stone (1981) mengemukakan bahwa bimbingan (guidance) adalah suatu proses membantu orang-perseorangan untuk memahami dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya (Winkel, 2005: 1). Dalam kerangka ini, maka bimbingan bisa diartikan sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku (Prayitno, 2004: 99). Senada dengan itu, Djumhur dan Moh. Surya (1975:15), berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat. Definisi bimbingan di atas dideskripsikan Moegiadi (1970) dalam beberapa bentuk kegiatan berikut (Winkel, 2005: 29), yakni : (1) suatu usaha untuk melengkapi individu dengan pengetahuan, pengalaman dan informasi tentang dirinya sendiri, (2) suatu cara untuk memberikan bantuan kepada individu untuk memahami dan mempergunakan secara efisien dan efektif segala kesempatan yang dimiliki untuk perkembangan pribadinya, (3) sejenis pelayanan kepada individu-individu agar mereka dapat menentukan pilihan, menetapkan tujuan dengan tepat dan menyusun rencana yang realistis, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan memuaskan diri dalam lingkungan dimana mereka hidup, (4) suatu proses pemberian bantuan atau pertolongan kepada individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan dari lingkungannya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa bimbingan adalah kegiatan yang pada pokoknya memberikan bantuan pada individu untuk menentukan arah, menemukan jalan ataupun mengambil keputusan bagi dirinya sesuai dengan apa yang diidealkan baik oleh dirinya sendiri maupun oleh lingkungannya.
Sedangkan konseling (counseling) didefinisikan oleh Prayitno dan Erman Amti sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien atau konseli) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien (2004: 105). Senada dengan itu, Mappiare (1984) mendefinisikan konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus (Winkel, 2005: 35). Dari sini kemudian bisa disimpulkan bahwa konseling adalah usaha membantu konseli atau klien dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus yang dihadapinya dan berujung pada pemecahan masalah tersebut. Jika diambil benang merah antara bimbingan (guidance) dan konseling (counseling), maka bisa dikatakan bahwa masing-masing mempunyai peranan yang khas namun saling melengkapi satu sama lain. Bimbingan lebih bersifat membantu secara preventif (menentukan langkah atau mengambil keputusan ke depan untuk menghindari munculnya masalah atau problem), sedangkan konseling merupakan bantuan yang lebih bersifat represif (mengupayakan solusi setelah mengalami masalah atau problem).
Jika dikaitkan dengan implementasi bimbingan konseling dalam institusi pendidikan, bagaimanakah proses bimbingan konseling yang terjadi di sekolah-sekolah ? Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa menjadi sangat beragam dan relatif. Di satu sisi, bisa disebut bimbingan konseling di sekolah dan pendidikan Indonesia sudah terakomodasi dengan baik. Pemerintah melalui UU no 20 th 2003 tentang pendidikan nasional menegaskan pentingnya bimbingan konseling yang tersirat dalam makna pendidikan dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Selain itu, Departemen Pendidiikan juga mengeluarkan petunjuk pelaksanaan bimbingan konseling di sekolah (1994). Hal ini menunjukkan adanya kepedulian pemerintah terhadap implementasi bimbingan konseling di sekolah. Sehingga ketika ada campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan bimbingan konseling di sekolah, bisa dikatakan ada dukungan kuat, karena dalam penerapan bimbingan konseling di sekolah, peran serta pemerintah dan pihak yang berwenang adalah sesuatu yang penting (Tan, 2004: 232).
Akan tetapi, di sisi lain, secara faktual dan aktual, implementasi bimbingan konseling di sekolah belumlah seperti yang diharapkan dan diidealkan. Adanya sasaran utama pencapaian standar akademik semisal ujian nasional ataupun kompetensi kognitif lain, terkadang mengabaikan peranan bimbingan konseling. Bahkan dalam pengalaman penulis, dalam mengejar target kelulusan, ada beberapa sekolah yang meniadakan jam pelajaran untuk bimbingan konseling di kelas. Sementara di lain pihak, ada kecenderungan umum bahwa terjadi kerancuan peran bimbingan konseling di sekolah. Peran pembimbing dan konselor dengan lembaga bimbingan konseling (BK) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi, ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner siswa. Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi label BK di banyak sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai “musuh” bagi siswa bermasalah atau nakal (Kartono,2007). Seolah-olah terjadi dikotomi antara keberhasilan akademik dengan pembentukan kepribadian. Hal ini kemudian menimbulkan kegelisahan tersendiri, karena sebetulnya bimbingan konseling mempunyai peran penting dalam meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri.
Pentingnya Bimbingan Konseling dalam Peningkatan Mutu Pendidikan
Dalam hal apa dan bagaimanakah bimbingan konseling bisa berperan dalam peningkatan mutu pendidikan ? Jawabannya harus dimulai dari tiga hal yang bisa menjadi indikator dari kesuksesan pendidikan itu sendiri, yakni administrasi sekolah, pengajaran dan pembelajaran yang dilakukan, dan tentu saja hasil yang diperoleh oleh siswa. Secara nyata, bimbingan konseling mempunyai kaitan erat dengan ketiga hal ini, sehingga bisa dilihat peran bimbingan konseling dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pertama, kaitan antara bimbingan konseling dengan administrasi sekolah, dimana yang dimaksud dengan administrasi sekolah bukanlah aspek tata usaha, melainkan lebih pada aspek manajerial dan kepemimpinan sekolah. Tan (2004: 232) menyebutkan bahwa kesuksesan bimbingan konseling juga sangat tergantung pada administrasi, kepemimpinan di sekolah, dan seluruh sumber daya yang ada di sekolah. Secara khusus bimbingan konseling dan administrasi sekolah mempunyai hubungan yang bersifat mutualistik. Administrasi sekolah membutuhkan bimbingan konseling dalam hal masukan, saran-saran, dam laporan-laporan yang terutama berkaitan dengan kebutuhan siswa, tujuannya adalah supaya terjadi peningkatan mutu dan layanan yang diberikan pihak sekolah terhadap siswa (Winkel, 2005: 85). Dengan melakukan bimbingan dan konseling pada siswa, pihak BK diharapkan mengerti dan memahami apa yang menjadi kebutuhan siswa secara komperehensif untuk disampaikan pada pihak sekolah. Sedangkan bimbingan konseling juga terutama membutuhkan dukungan dan antusiasme dari pihak administrator sekolah baik dalam segi moral, etika, fasilitas, maupun profesionalitas. Dua kaitan ini sebenarnya mengindikasikan diperlukannya bimbingan konseling dalam hal meningkatkan kualitas layanan sekolah bagi siswa, baik dalam hal pendidikan maupun aspek pelayanan yang lainnya (afektif, psiko-sosial,dsb).
Kedua, kaitan antara bimbingan konseling dengan aspek pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Aspek pengajaran dan pembelajaran di sekolah identik dengan kurikulum yang ada, dimana kemudian tujuannya adalah menyediakan pengalaman belajar bagi siswa. Sedangkan bimbingan konseling membantu siswa untuk meresapi pengalaman belajar tersebut. Dengan kata lain, bidang pengajaran menyajikan pengalaman belajar, sedangkan bimbingan konseling mengajak siswa untuk merefleksikan pengalaman belajar itu dalam konteks personal dan sosialnya (Winkel, 2005: 89). Artinya dengan masukan dari bimbingan konseling, kurikulum bisa menjadi lebih personal bagi siswa. Bimbingan konseling juga dapat membantu peningkatan aspek pengajaran dan pembelajaran dalam hal pengembangan kurikulum (agar sesuai dengan kebutuhan dan kapabilitas siswa) dan juga dalam penentuan penjurusan siswa, terutama agar penjurusan siswa tidak hanya didasarkan pada hasil tes IQ semata, tetapi juga memperhitungkan aspek minat, bakat, psikologis, dan kompetensi siswa.
Ketiga, keterkaitan antara bimbingan konseling dengan siswa. Dimana sesungguhnya, bimbingan konseling punya peran besar dalam meningkatkan kualitas siswa. Hal ini sejalan dengan tujuan utama dari bimbingan dan konseling di sekolah yakni untuk membantu individu (siswa) mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya (seperti: kemampuan dasar dan bakat-bakatnya), berbagai latar belakang yang ada (seperti: latar belakang keluarga, pendidikan, status sosial ekonomi) serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya. Dalam kaitan ini bimbingan dan konseling membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam hidupnya yang memiliki wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian dan keterampilan yang tepat berkenaan dengan diri sendiri dan lingkungannya (Prayitno, 2004: 114). Bimbingan konseling bertugas untuk membantu siswa dalam hal perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis), mengenal diri sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu, serta mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah atau hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup (Kartono, 2007). Dengan mengenal dan memahami siswa secara personal, psikologis maupun sosial, maka bimbingan konseling mengakomodasi keberagaman siswa, serta membantu siswa untuk mengalami pembelajaran yang terkait dan relevan dengan kehidupan mereka, dimana hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang kontekstual (Johnson, 2008: 21). Bimbingan konseling juga membantu siswa menemukan kapabilitas dan kecerdasannya masing-masing tanpa diukur hanya dari IQ sebagai harga mati. Karena di dalam masing-masing siswa setidaknya tersimpan delapan kecerdasan dasar yang bisa dioptimalkan dengan bantuan bimbingan konseling. Kedelapan kecerdasan itu di antaranya kecerdasan linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetis-jasmani, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan kecerdasan naturalis (Armstrong, 2004: 2-4). Bimbingan konseling juga dapat membantu siswa mengatasi permasalahannya dengan melakukan pemeliharaan pribadi dan mewujudkan prinsip keseimbangan. Bimbingan konseling menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa untuk datang membuka diri tanpa waswas akan privacy-nya. Di sana menjadi tempat setiap persoalan diadukan, setiap problem dibantu untuk diuraikan, sekaligus setiap kebanggaan diri diteguhkan. Bahkan orangtua siswa juga dapat mengambil manfaat dari bimbingan konseling di sekolah, dalam rangka untuk lebih mengerti akan pribadi, kebutuhan, dan pergumulan anak mereka (Kartono, 2007).
Kesimpulan
Bimbingan konseling adalah sebuah layanan yang berorientasi pada siswa. Bimbingan konseling berusaha memahami keberadaan dan kebutuhan siswa, serta membantu siswa dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Dari pemahaman akan kebutuhan siswa itulah, maka aspek pendidikan yang lain seperti administrasi dan kurikulum sekolah dibangun. Pijakannya sekali lagi adalah melayani siswa. Bahkan jika kebijakan yang dibuat pemerintah dalam bidang pendidikan juga merujuk pada pemahaman akan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi siswa, maka pendidikan Indonesia akan menjadi pendidikan yang tidak hanya bersifat top down, tetapi lebih bottom up dan berorientasi pada peningkatan kualitas siswa secara menyeluruh dan utuh, baik aspek akademis, psikologis, personal, maupun sosialnya. Jika aspek psikologis, personal dan sosiologis dari siswa bisa terlayani dengan baik, maka akan berimbas pada pencapaian akademik mereka. Namun sekali lagi, hal ini juga bergantung pada sinergi seluruh stakeholder pendidikan, mulai dari pembuat kebijakan, administrator sekolah, guru, dan implementasi dari bimbingan konseling itu sendiri, yang sudah seharusnya tidak menjadi “polisi sekolah” tetapi menjadi “gembala siswa”.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Thomas, 2004. Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences dalam Pendidikan. Bandung: Kaifa.
Djumhar dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance & Counseling). Bandung : CV Ilmu.
Johnson, Elaine B, 2006. Contextual Teaching and Learning. Bandung: MLC.
Prayitno, & Erman Amti, 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta.
Tan, Esther, 2004. Counselling in Schools: Theories, Processes dan Techniques. Singapore: McGraw Hill.
Winkel, W.S. & M.M. Sri Hastuti, 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi.
Anonim, 2002. ”Laporan Peningkatan Kualitas Pendidikan”. World Bank (online). Tersedia: http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/
Kartono, ST, 2007. ”Perlunya Bimbingan Konseling”. Didaktika (online). Tersedia: http://qodrat.wordpress.com/2007/10/03/pentingnya-bimbingan-konseling-oleh-st-kartono-dalam-didaktika/
Prayitno. 2008. ”Jenis-jenis Layanan dalam Bimbingan Konseling”. Konselingindonesia (online). Tersedia: http://konselingindonesia.com/
Tangkilisan, Wim, 2008. ” Conscientizacao Paulo Freire dan Mutu Pendidikan Kita”. Suara Pembaruan(online).Tersedia: http://www.koranindonesia.com/2008/10/17/conscientizacao-paulo-freire-dan-mutu-pendidikan-kita/
Selengkapnya...
Friday, February 13, 2009
CiNTa NggAk PerLu DiPiKir !!
Jatuh cinta…berjuta rasanya…itu katanya Tante..eh Mbah Titik Puspa. Kontan saja kita semua pasti manggut-manggut tanda setuju. Memang kalau lagi jatuh cinta rasanya berapi-api melulu, apalagi pas lagi anget-angetnya jadian, wuiihh...bulan madu terus. Bawaannya lengket kayak perangko. Awal mulanya memang indah, namun bila kita terlena, tanpa kita sadari rasa menggebu-gebu itu semakin lama surut dan semuanya menjadi tak lagi istimewa. Belaian sayang rasanya tak selembut belaian pertama yang kita terima, kecupan lembut rasanya tak seindah kecupan pertama. Semuanya menjadi begitu biasa…bahkan membosankan..Hingga pada akhirnya, orang banyak menggali dan mencari makna cinta. Pencarian akan makna cinta itulah, yang sebenarnya memicu antusiasme kita untuk merayakan hari valentine. Karena kita berpikir, hari valentine bisa menjadi momentum tepat untuk mengingatkan kita akan makna cinta, dan merangsang hati serta pikiran kita untuk terus menerus mengagungkan cinta. Tapi justru disitulah masalahnya, kita terlalu banyak berpikir soal cinta !!
Ketika hari valentine tiba, kita sibuk mempersiapkan segala hal yang terbaik bagi pasangan kita dan orang yang kita kasihi. Entah bagaimanapun caranya, bunga dan coklat menjadi sesuatu yang hukumnya wajib untuk kita berikan. Ucapan selamat dengan beragam untaian kata-kata indah nan puitis adalah sesuatu yang wajib keluar dari bibir kita. Lagu-lagu yang terngiang di telinga pun haruslah lagu-lagu yang lembut, melow dan berkesan romantis. Tidak ketinggalan pula puisi-puisi cinta bernada mesra yang ikut berseliweran melalui sms, surat ataupun email. Hari valentine seakan-akan menjadi hari yang “manis”, dimana setiap orang berpikir keras untuk menyenangkan hati orang yang dikasihinya. Tetapi sekali lagi, disitulah masalahnya, kita terlalu banyak berpikir soal cinta !!
Cinta pada hakekatnya adalah rasa, timbul dari perasaan ingin menyayangi, melindungi, memanjakan, dan memberikan yang terbaik. Artinya setiap orang yang memiliki rasa, maka ia juga memiliki cinta. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya kita tidak perlu mencari makna cinta, kita tidak perlu menggali arti cinta dan kita tidak perlu pula berpikir soal cinta. Mengapa ?? Karena cinta itu adalah kita ! Kita adalah makhluk cinta ! Kita tidak perlu bunga atau coklat untuk menunjukkan cinta yang kita miliki, karena cinta adalah bagian dari hakekat kita sebagai manusia. JIKA KITA INGIN MENUNJUKKAN CINTA, MAKA TUNJUKKANLAH DIRI KITA APA ADANYA !! Cinta yang kita tunjukkan tidak akan menjadi bermakna jika ia hanya disalut oleh topeng-topeng keromantisan yang tidak tulus. Karena dengan demikian, maka cinta yang menggebu-gebu itu hanya akan menjadi sesuatu yang sementara. Itulah mengapa banyak orang merasakan adanya perbedaan rasa cinta mula-mula dengan cinta yang sudah berjalan sekian lama. Karena ia tidak didasari dengan kejujuran dan ketulusan yang apa adanya, namun dibangun di atas pondasi keindahan dan keromantisan yang semu.
Jika ada yang bertanya pada saya tentang makna cinta, maka ini jawaban saya: Cinta adalah suatu wujud keinginan, dalam niat dan tindakan. Cinta harus menjadi sesuatu yang mendasari segala sesuatu, membuat segala sesuatu menjadi ringan dan memberi tanpa mengharapkan balasan. Cinta tidak berkata: "aku mencintaimu karena aku membutuhkanmu”, tetapi cinta berkata: "aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu". Cinta mengubah kekerasan hati menjadi kelembutan hati. Cinta bukan hanya saling memandang satu sama lain, namun bersama-sama melihat pada satu tujuan. Cinta bukanlah sesuatu yang tanpa masalah dan berani mengambil resiko. Cinta melengkapi ketidaksempurnaan yang muncul pada kita dan orang yang kita cintai. Cinta memerintah tanpa pedang dan mengikat tanpa tali. Dan cinta tidak hanya untuk dibayangkan atau dipikirkan, tetapi juga dilakukan.
Kembalikanlah cinta pada makna dan hakekatnya. Yakni rasa yang penuh kejujuran dan ketulusan. Kita tidak perlu merekayasa sesuatu untuk memberikan cinta. Kita tidak perlu bersembunyi di balik kata-kata indah untuk menyatakan cinta. Dan kita juga tidak perlu berpikir bagaimana caranya mencintai. Cinta ada untuk kita lakukan bukan hanya dipikirkan. Cukup menjadi diri kita sebagaimana adanya dan biarkan cinta itu sendiri yang menuntun kita. Cinta adalah bagian dari keistimewaan kita sebagai manusia. Dengan begitu maka cinta kita yang terlihat dan dirasakan orang lain adalah cinta yang jujur, tulus, penuh kesungguhan, dan tanpa rekayasa. Karena sesungguhnya, jika kita memberikan cinta pada orang yang mencintai kita, itu hal yang biasa. Tetapi jika kita memberikan cinta pada orang yang tidak mengenal kita atau bahkan membenci kita, itu hal yang luar biasa. Selamat Hari Valentine 2009.(ydk@0209)
You can Giving without Loving but You can't Loving without Giving
Selengkapnya...
Monday, February 9, 2009
Ada Gosip di Sekolah ?? Hmm...
Gosip ?? Itu konsumsi kita orang Indonesia. Melebihi menu wajib makan tiga kali sehari, acara tentang gosip di televisi bisa muncul lima sampai enam kali sehari. Belum lagi di koran, majalah, internet, sampai tabloid-tabloid yang memasang gosip sebagai jualan utamanya. Hebatnya, hampir semua orang tidak bisa lepas dari “candu” gosip ini. Bahkan orang yang antipati sekalipun, mau tidak mau harus mengkonsumsi gosip agar tidak dicap ketinggalan informasi dan “tidak gaul”. Apalagi mereka yang sudah menganggap gosip bagai “makanan pokok” sehari-hari. Tidak hanya jadi pendengar setia, terkadang mereka juga melakoni peran sebagai pembahas gosip, komentator gosip, atau bahkan penyebar gosip. Gosip bisa masuk ke segala ranah kehidupan. Dari keluarga, perkampungan, perkantoran, sampai sekolah. Gosip di sekolah ?? Hmm...
Wikipedia menulis bahwa gosip mempunyai makna “an idle talk or rumor, especially about the personal or private affairs of others. It forms one of the oldest and most common means of sharing (unproven) facts and views”. Atau bisa diterjemahkan secara bebas sebagai “sebuah pembicaraan mengenai kabar burung atau rumor, terutama mengenai persoalan pribadi seseorang yang bisa jadi menyangkut hubungannya dengan orang lain, dimana kebenarannya kebanyakan tidak dapat dibuktikan dengan fakta. Dalam sosiologi sendiri, gosip dapat digunakan untuk dua maksud. Yang pertama, gosip bisa digunakan untuk “menyerang” lawan ketika kita berada dalam situasi kontravensi (lebih dari persaingan tetapi belum/tidak menjadi konflik terbuka) dengan orang lain. Yang kedua, gosip bisa digunakan sebagai alat pengendalian sosial. Biasanya orang yang digosipin akan lebih berhati-hati dalam bertindak dan bertingkah laku. Disitu peranan gosip sebagai alat pengendalian sosial jadi terlihat jelas.
Dari definisinya dan pengalaman sehari-hari, meski bisa jadi benar, tapi kebanyakan gosip tidak didukung kevalidan data dan fakta. Namun masalahnya, gosip bisa menjadi demikian bombastis dan dramatis sehingga orang akan cenderung menikmatinya bahkan mempercayainya. Nah, di sekolah, gosip macam apa yang biasanya muncul ? Paling umum, gosip tentang guru. Biasanya segala berita tentang guru akan jadi santapan “lezat” bagi obrolan murid-murid. Dari hobi guru, kebiasaan guru, hubungan antar guru, status guru, sampai yang berkaitan dengan urusan cinta dan keluarga pun dibahas dalam “FGM” alias “Forum Gosip Murid” ini. Tapi jangan salah, kadangkala bukan hanya murid yang menggosipkan guru, guru pun juga bisa menggosipkan murid lho hahaha...Kalau guru digosipin, ada dua respon yang muncul. Bisa jadi guru yang bersangkutan akan hati-hati menjaga sikap dan cenderung jaim. Wajar kan, karena gosip tadi memang punya fungsi pengendalian sosial di masyarakat. Bisa jadi pula, guru itu akan cuek saja dan bersikap ndableg, terutama karena mereka sadar itu cuma gosip. Di lain sisi, kalau murid digosipkan oleh guru, biasanya cenderung cuek, bukan karena kebal, tapi lebih karena ketidaktahuan mereka bahwa mereka telah jadi bahan obrolan guru, hahaha...Tapi kalau umpama si murid tahu, dijamin pasti muncul rasa grogi yang kadarnya minta ampun di depan guru.
Gosip di sekolah bisa jadi sesuatu yang menyebalkan bagi pribadi yang menjadi objek gosip itu. Tetapi di sisi lain, yang namanya gosip terkadang bisa jadi bumbu penyedap yang akan membuat dinamika kehidupan sekolah menjadi lebih dan berasa. Entah berasa manis, asin, pahit, atau bahkan berasa rame. Gosip bisa menjadi sesuatu yang mewarnai kehidupan sekolah, asal tentu saja masih dalam batas yang wajar dan tidak merugikan orang lain. Kalau misalnya gosip sudah berubah menjadi fitnah, maka lain urusannya. Harus ada tindakan tegas bila gosip sudah berubah menjadi fitnah. Gosip adalah gosip, biarkan ia terus “mengambang”. Jangan pernah kita mempercayainya seratus persen, tetapi jangan pula kita menolaknya mentah-mentah. Karena gosip terkadang bisa bermetamorfosa menjadi kebenaran. Gosip adalah kabar burung, yang beterbangan dengan liar. Jangan kita menganggap dan merubahnya menjadi kabar ayam, kabar sapi, kabar kambing, atau kabar kuda..
So, langkah apa yang mesti kita lakukan kalau kita tahu kita sedang jadi bahan gosip di sekolah ??
1. PeDe saja, kalau kita digosipin berati kita orang yang istimewa, karena kita mampu menarik minat banyak orang untuk membicarakan kita.
2. Introspeksi diri, jangan-jangan gosip itu benar adanya, atau jangan-jangan kita melakukan kesalahan sehingga orang lain punya alasan untuk “menyerang” kita dengan gosip.
3. Cuek dan bersikap apa adanya, terutama kalau gosip itu tidak benar. Kalaupun benar, tetap saja bersikap cuek dan apa adanya, karena akan membantu kita terlihat “innocent” di depan orang lain haha..
4. Dilarang panik dan emosional !! Kita tidak perlu susah-susah mencari orang yang menyebarkan gosip dan melabraknya. Cukup buktikan dengan tindakan, tingkah laku dan sikap hidup kita. Gosip tidak perlu dilawan dengan emosi, tapi dengan pembuktian diri.
5. Berdoa saja, yakin dan percaya Tuhan akan membuka mata orang-orang akan kebenaran yang kita pertahankan. Syukur-syukur orang yang menggosipkan kita “bertobat” dan “kembali ke jalan yang benar”. Kalo tidak ?? lemah-lemah teles, ben Gusti Allah sing mbales...
Semoga langkah-langkah di atas tidak perlu kita lakukan sama sekali. Karena kalau kita melakukannya, berarti kita sedang digosipin kan ?? Hehe..Tapi sekali-kali digosipin boleh lah, biar kita tahu rasanya jadi artisss, hahaha...(ydk@0209)
Selengkapnya...
Sunday, February 8, 2009
Perubahan Sosial
Berikut adalah materi dan LKS mengenai Perubahan sosial. Download dengan cara mengklik judul di atas dan ikuti langkah selanjutnya. Jangan lupa cantumkan sumbernya dari blog ini ya..thanks.
Selengkapnya...
Friday, February 6, 2009
Mau Sukses Ujian ?? Yang Penting Tenang Bozz...
Suatu ketika di sebuah bengkel kayu, seorang pekerja sedang bertugas memasah balok kayu yang belum dibentuk. Untuk mempermudah pekerjaannya, ia melepas arloji kesayangan yang melingkar di tangannya dan meletakkannya di atas tumpukan kayu. Beberapa saat kemudian secara tidak sengaja pekerja itu menyenggol arlojinya hingga jatuh ke dalam tumpukan kayu. Ia pun bersama kawan-kawannya sesama pekerja beramai-ramai berusaha keras mencari arloji itu selama hampir dua jam, namun mereka tidak dapat menemukannya sama sekali. Hingga akhirnya pekerja itu beserta kawan-kawannya terduduk lelah dan mulai menyerah. Di luar bengkel itu ada seorang anak kecil yang sedang bermain. Ia mendengar keramaian para pekerja yang mencari arloji. Saat mereka lelah dan beristirahat, anak kecil itu memberanikan diri mencari arloji itu, dan hanya dalam waktu kurang dari lima menit ia berhasil menemukan arloji yang terjatuh dalam tumpukan kayu tersebut. Melihat itu para pekerja heran, dan mereka bertanya bagaimana caranya anak kecil itu mampu menemukan arloji yang dicari-cari ? Anak kecil itu menjawab “tidak ada yang istimewa, ketika anda semua beristirahat tadi, di dalam keheningan aku mendengarkan suara detak arloji sehingga aku tahu dimana ia jatuh “.
Tanpa kita sadari, kita sering bersikap seperti para pekerja itu dalam menghadapi segala sesuatu. Ketika kita harus menghadapi tantangan di depan mata, yang muncul di benak kita adalah ketakutan-ketakutan, kekuatiran-kekuatiran, kepanikan, dan segala macam pertimbangan yang berujung pada ketidakyakinan. Akibatnya kita jadi tidak bisa melihat inti sebenarnya dari apa yang kita hadapi dan otomatis kita juga tidak dapat menemukan solusinya. Secara psikologis, kita sering larut dalam tekanan permasalahan sehingga permasalahan itu justru mampu mengaburkan kemampuan kita dalam menghadapinya. Sigmund Freud yang membagi manusia menjadi tiga unsur, yakni “super ego” (unsur tertinggi yang berkaitan dengan pengendalian diri), “ego” (unsur kedua yang berkaitan dengan naluri alami tetapi dalam batas tertentu masih bisa dikendalikan), dan “id”(unsur ketiga yang berkaitan dengan nafsu dan naluri) menganggap bahwa ketika kita panik, maka unsur “id” yang sedang menguasai kita, dan unsur “super ego” menjadi tidak lagi terlihat. Maka kemudian pengendalian diri adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan. Itulah mengapa konsep berdoa, meditasi, berpuasa, atau laku prihatin dalam budaya kita menjadi sangat penting. Tujuannya adalah melatih kita untuk mengendalikan diri dan tenang dalam berbagai situasi.
Jika kita tenang, maka simpul yang rumit akan terlihat jalinannya. Sebaliknya bila kita panik, maka simpul itu akan terlihat seperti gerendel yang tak akan bisa dibuka. Jika kita tenang, kita akan bisa melihat solusi dan hikmat di balik masalah. Jika kita tenang dalam menghadapi ujian, maka soal yang sulit akan membuat kita terpacu untuk mengeluarkan potensi terbaik kita. Dan sebaliknya jika kita panik, tegang, dan nervous, maka soal yang mudah pun justru akan terlihat sulit di mata kita. Milikilah ketenangan dalam segala hal, maka kemenangan akan bersahabat dengan kita. So,mau sukses ujian ?? yang penting tenang bozz..(ydk@2008)
Selengkapnya...
Tuesday, February 3, 2009
Mengejar Kecantikan dengan Pemutih Kulit, Sebuah Wujud Cinderella Complex - by Yudha Kusniyanto, S.Sos
Seorang perempuan muda masuk ke dalam lift, dari permainan bola matanya tampak ia sangat berharap laki-laki di dekatnya melirik padanya. Laki-laki itu digambarkan sebagai pria metroseksual yang ideal. Gelisah bercampur harap mendominasi gerak-gerik sang perempuan. Tak dinyana, harapan tinggal harapan, kulitnya terlalu gelap untuk menarik perhatian sang lelaki. Alhasil, kulitnya yang gelap menempatkannya sebagai perempuan yang “kurang menarik” atau bahkan “tidak diinginkan”. Adegan berikutnya, perempuan tadi mengoleskan krim pemutih yang (katanya) bisa menjadikan kulitnya lebih putih dan bersih. Dan abrakadabra, beberapa minggu kemudian kulitnya menjadi putih.
Dalam pertemuan selanjutnya dengan sang lelaki, bak dongeng, sang lelaki pun dengan sukses meliriknya. Bukan itu saja, sang lelaki jatuh cinta pada sang perempuan yang beberapa minggu sebelumnya bukanlah siapa-siapa di matanya. Perempuan dalam iklan tadi di hadapan sang lelaki memperoleh nilai lebih setelah kulitnya “memutih”. Ia menjadi cantik dan menarik di mata sang lelaki. Dalam versi yang lain, seorang gadis bermain tenis dengan seorang gadis lain yang dikisahkan sebagai kawan karibnya. Si gadis mengamati kawannya itu dengan sorot mata penuh kekaguman. Bukan permainan tenisnya, tetapi lebih pada kulit putihnya yang menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Ada rasa minder dan kurang percaya diri menghinggapinya ketika mendapati kulitnya tidak seputih kawannya. Kemudian, si gadis tadi menggunakan krim kecantikan dengan label “whitening” (memutihkan). Beberapa minggu kemudian, kulit si gadis menjadi putih, ia pun menjadi percaya diri dan berimbas kepada prestasi dalam olahraga (tenis) yang digelutinya. Krim pemutih dalam iklan tersebut menjadi “doping” terampuh untuk mendongkrak kepercayaan diri si gadis yang tadinya merasa “kurang” karena kulitnya yang tidak putih. Artinya, ketika ketika ia putih maka sebagai perempuan ia menjadi “lebih”, ia merasa lebih cantik dan lebih menarik dibandingkan ketika ia kurang putih.
Contoh di atas merupakan genre iklan yang mendominasi slot iklan di media televisi akhir-akhir ini. Kulit putih, adalah komoditi yang ditawarkan lewat iklan tersebut. Ada kesamaan dalam setiap iklan tersebut, yakni bahwa dengan menjadi putih, seorang perempuan akan mempunyai nilai lebih dalam relasinya, bukan hanya dengan lawan jenis (laki-laki), tetapi juga dalam relasi antar perempuan itu sendiri. Dalam iklan-iklan itu, perempuan merasa lebih percaya diri karena ia dikatakan cantik ketika kulitnya putih. Akhirnya, secara eksplisit maupun implisit, kulit putih dideklarasikan sebagai (bagian dari) kecantikan. Dan bahkan lebih ekstrim lagi, bahwa yang cantik itulah yang putih dan yang putih itulah yang cantik. Contoh-contoh iklan di atas (lagi-lagi) berbicara demikian. Tanpa kulit putih sekalipun, secara natural sang model iklan adalah seorang yang cantik dan punya “feromon” tersendiri untuk menggetarkan naluri para lelaki, namun dalam iklan dikisahkan bahwa daya tarik sang model belum cukup menarik perhatian jika ia belum atau tidak putih. Artinya, iklan di atas mengatakan bila kulitnya belum (tidak) putih, ia belum layak untuk disebut “cantik” atau termasuk dalam kategori “cantik”. Pertanyaannya kini, apakah sebetulnya ‘kecantikan’ itu ?
Kecantikan, dari Plato hingga Sigmund Freud
Sulit kiranya bagi banyak orang untuk mendefinisikan kecantikan secara jelas. Apakah kecantikan itu milik Cinderella dan Putri Salju saja ? Bagaimanakah sesungguhnya ukuran mutlak dari kecantikan ? Banyak ahli filsafat dan pemikir berupaya menjawab pertanyaan ini.
Sebagian ahli berpendapat bahwa kecantikan bukan sekedar fisik, namun juga identik dengan kebahagiaan, cinta, kebaikan, hikmat dan kebenaran, serta pengetahuan (Synnott, 1993: 145). Dalam barisan filsuf yang mendukung pendapat ini ada Plato dan Socrates. Plato menegaskan bahwa kecantikan adalah proses pencarian dengan tujuan akhir adalah pengetahuan tentang apa itu kecantikan. Sedangkan Socrates menambahkan bahwa kecantikan adalah penghormatan berdasarkan kekuasaan dan kekuatan cinta .
Sementara itu, filsuf Yunani yang lain, Aristoteles, lebih mendefinisikan kecantikan berdasarkan struktur wajah, yakni yang teratur, simetri, “tertentu” serta proporsional (Synnott, 1993: 147). Pendapat ini diikuti diantaranya oleh para seniman seperti Praksiteles, Leonardo da Vinci, Durer, Vitruvius, dan Le Corbusier. Para seniman ini cenderung menguatkan definisi tersebut karena mereka mengekspresikan kecantikan dalam struktur karya-karya seni mereka. Seperti misalnya lukisan karya Leonardo da Vinci yang sangat terkenal, Monalisa.
Para astrolog pada jaman Renaissance melihat bahwa kecantikan lebih bersifat kosmik dan bersumber dari wajah (Synnott, 1993: 148). Sedangkan para filsuf aliran kristianitas lebih melihat kecantikan dari dua sisi, yakni sisi asketik dan sisi transenden (Synnott, 1993: 152 ; 159). Di kelompok pertama misalnya, ada Plotinos yang berpendapat bahwa kecantikan tercermin dari kebaikan. Di lain pihak, kelompok kedua, seperti misalnya Agustinus berpendapat bahwa kecantikan merefleksikan ALLAH, artinya Agustinus meyakini bahwa kecantikan atau keindahan adalah ALLAH, dan ALLAH adalah kecantikan atau keindahan. Hal ini tidak berbeda dengan khas pemikiran Renaissance yang sepakat bahwa kecantikan fisik disebabkan oleh kecantikan spiritual.
Bertolak belakang dengan itu, Sigmund Freud secara lugas menyatakan bahwa kecantikan identik dengan seksualitas, berakar di dalam kesenangan seksual, dan maknanya yang orisinil adalah “dirangsang secara seksual” (Synnott, 1993: 171). Freud tidak mengada-ada dalam merumuskan hal itu. Ia berangkat dari pemikiran dasar bahwa kecantikan hanya ada di dalam pikiran manusia. Pikiran tersebut menuntun manusia pada naluri alaminya, yakni kebutuhan akan seksualitas. Sebagai contoh, bila seorang laki-laki melihat seorang perempuan yang dianggapnya cantik, pikirannya akan mengasosiasikan diri untuk memiliki perempuan tersebut, dan naluri alaminya akan memunculkan keinginan untuk berhubungan seksual dengan perempuan tersebut. Sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa organ seksual manusia yang paling ampuh adalah pikiran manusia itu sendiri.
Kebanyakan filsuf dan pemikir diatas memiliki satu kesamaan dalam melukiskan kecantikan. Yakni kecantikan hanya dapat dirasakan oleh subjektivitas orang per orang. Dan subjektivitas itu bisa berbeda-beda dalam melukiskan kecantikan. Karena apa yang dilihat, dipikirkan, ataupun dirasakan oleh orang per orang tentu saja berbeda. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan pandangan Saussure (Berger, 2000: 12) maka kecantikan tak ubahnya semacam tanda yang mempunyai hubungan arbitrer (bebas) antara penanda dan petandanya.
Putih sebagai Simbol Kecantikan yang Dikonstruksikan
Jika para filsuf mengatakan bahwa makna kecantikan merupakan subjektivitas masing-masing individu, maka kecantikan itu lebih pada “rasa”. Namun kini kaum perempuan percaya pada konsep baru, bahwa kecantikan dapat dimiliki oleh setiap perempuan dengan penggunaan produk, mode pakaian atau terapi kecantikan tertentu (Tejamulya, 2006). Artinya makna kecantikan telah menyempit pada segi fisik. Kecantikan diukur berdasarkan kriteria-kriteria fisik tertentu. Salah satu kriteria yang banyak dikemukakan adalah putih tidaknya kulit seseorang. Putih tidaknya seorang perempuan menentukan kecantikannya dan penerimaan laki-laki terhadapnya. Hal ini setidak-tidaknya terlihat melalui iklan-iklan produk pemutih yang gencar ditayangkan di televisi.
Mengapa kulit putih bisa menjadi kriteria kecantikan ? Di Indonesia terutama, hal ini tidak bisa dilepaskan dari 3 faktor utama, yakni faktor sejarah, hegemoni media dan pemasaran produk pemutih kulit.
Prabasmoro (2003) yang melakukan analisa semiotika terhadap iklan sabun menyebut konstruksi putih itu cantik didasarkan pada obsesi laki-laki pada image perempuan indo (didefinisikan Prabasmoro sebagai keturunan campuran antara orang Indonesia etnis manapun dengan orang Eropa / Amerika berkulit putih). Mengapa indo ? Hal ini, menurut Prabasmoro berhubungan dengan faktor sejarah, yakni adanya kolonialisme dan imperialisme oleh bangsa barat (2003: 37). Dengan kolonialisme dan imperialisme, maka bangsa penjajah menduduki kelas tertinggi dalam masyarakat, dan sebaliknya pribumi menjadi kelas terendah. Maka kemudian figur dan personalitas bangsa penjajah dianggap unggul dan lebih tinggi dari bangsa pribumi. Demikian halnya dengan figur perempuan barat dianggap unggul, berkelas, lebih cantik, dan lebih mempunyai status sosial tinggi di mata masyarakat ketimbang figur perempuan pribumi. Oleh karenanya, perempuan barat atau keturunan barat (baca: indo) dianggap akan memberikan kebanggaan tersendiri bagi lelaki pribumi dan di satu sisi ikut menaikkan status sosial lelaki pribumi. Maka itu kemudian bukanlah hal aneh bila orientasi lelaki pribumi akan figur perempuan ideal ada pada figur perempuan indo. Hal ini kemudian memicu para perempuan pribumi mengidealkan dirinya pada figur perempuan indo agar mereka menarik di mata laki-laki.
Dalam perkembangannya kini, bukan hanya tipe perempuan indo saja yang menjadi kiblat kriteria kecantikan yang diidamkan, namun juga tipe perempuan oriental (Mandarin, Jepang, dan Korea). Hal itu merupakan imbas dari tayangan-tayangan televisi yang banyak digemari perempuan, yang kebetulan produksi dari negara-negara oriental. Secara fisik perempuan oriental yang menjadi bintang dalam tayangan-tayangan televisi tersebut berkulit putih. Sehingga kemudian tanpa disadari perempuan dan laki-laki Indonesia mengidentifikasikan profil seperti perempuan oriental sebagai perempuan yang cantik. Fenomena tersebut salah satu contoh dari faktor kedua, yakni pengaruh media massa, terutama televisi. Hal ini tidaklah mengherankan karena dewasa ini televisi telah menjadi sarana manusia menembus sekat-sekat antar negara. Meskipun apa yang baik bagi perempuan di satu negara belum tentu baik atau sesuai pula bagi perempuan di Indonesia.
Faktor ketiga yang juga semakin mengukuhkan konsep kecantikan berdasarkan putih tidaknya seorang perempuan adalah pemasaran produk-produk pemutih yang dilakukan oleh produsen melalui iklan-iklan di televisi. Para produsen, rupa-rupanya menangkap keinginan dari para perempuan untuk mempunyai kulit putih. Mereka kemudian memproduksi produk-produk pemutih kulit yang disertai dengan kampanye yang meyakinkan setiap perempuan bahwa untuk bisa disebut cantik seorang perempuan haruslah berkulit putih. Kampanye tersebut kemudian dimanifestasikan lewat slogan-slogan maupun iklan audio visual di televisi. Sasarannya bukan hanya kaum perempuan secara langsung, namun juga laki-laki yang diharapkan memercayai konsep tersebut sehingga orientasinya akan perempuan cantik mengarah pada perempuan yang berkulit putih. Para produsen tersebut tentunya mengharapkan keuntungan sebesar-besarnya dari penjualan produk pemutih. Dan itu artinya, semakin banyak orang terpengaruh konsep kecantikan berdasarkan putih tidaknya kulit, semakin banyak pula keuntungan yang akan didapatkan. Dan bagi perempuan sendiri hal itu berarti pemanfaatan perempuan bagi konsumtivisme (Murniati, 2004: 180).
Dari sini nampak bahwa kulit putih seolah-olah telah diidentikkan dengan kecantikan. Berangkat dari hasrat laki-laki terhadap figur perempuan cantik yang putih dan keinginan produsen produk pemutih kulit untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya maka kulit putih kemudian diletakkan sebagai penanda dari kecantikan. Di dalamnya tidak lagi hanya terkandung makna ras ataupun genetika namun terkandung pula makna status dan prestise. Artinya putih telah dikonstruksikan menjadi simbol dari kecantikan. Simbol tidak pernah benar-benar bersifat arbitrer (bebas), demikian diungkapkan Saussure (Berger, 2000: 23). Simbol mempunyai asosiasi tertentu dengan petanda yang tidak tergantikan. Asosiasi itu didasarkan atas kesepakatan. Dalam hal ini oleh kapitalis dan laki-laki, dan bahkan (mau tidak mau) disepakati oleh perempuan itu sendiri. Dengan kata lain putih dikonstruksikan menjadi simbol kecantikan sehingga bila seseorang berinteraksi dengan sesuatu yang putih, ia akan mengasosiasikannya dengan kecantikan. Konstruksi putih sebagai simbol kecantikan tersebut baik secara sadar maupun tidak telah menghegemoni kaum perempuan di Indonesia. Hegemoni, pada awalnya dikemukakan Gramsci (1891-1937) untuk menjelaskan penguasaan yang dilakukan kaum borjuis dan negara pada kaum proletar dengan menggunakan ideologi, bukan kekerasan (Simon, 1999: 20-23). Artinya, kapitalis menguasai buruh untuk keuntungannya, sedangkan kaum buruh sendiri tidak sadar bahwa mereka dikuasai karena mereka terbuai kenyamanan yang diberikan oleh kapitalis. Dewasa ini, konsep hegemoni Gramsci diterapkan dalam dominasi konsep dan realitas, dimana pandangan mereka yang didominasi diarahkan sesuai pandangan yang mendominasi, sehingga mempengaruhi kehidupan sosial dan pribadi pihak yang didominasi (Simon, 1999: xix). Dalam hal ini kemudian pandangan putih sebagai simbol kecantikan merupakan konsep laki-laki dan para produsen pemutih kulit yang ditujukan pada kaum perempuan. Harapannya tentu saja agar kaum perempuan berorientasi pada kulit putih sebagai simbol kecantikan.
Mengejar Kecantikan, Sebuah Usaha Perempuan Menegakkan Eksistensinya
Mengapa setiap perempuan ingin cantik? Wolf (2004) mengemukakan bahwa ada keinginan alami dari perempuan untuk tampil cantik, sedangkan di pihak lain setiap laki-laki juga punya keinginan alami untuk memiliki perempuan yang cantik (Wolf, 2004: 29). Tekanan dari rasa ingin memiliki ini dirasakan oleh perempuan, bukan laki-laki, sehingga kemudian menjelma dari usaha-usaha perempuan mempercantik dirinya. Perempuan menurut Freud, bahwasanya lebih mempunyai gejala narsisme, yang mengagumi diri sendiri dan ingin menampilkannya pada orang lain, sehingga orang lain dapat merasakan kekaguman itu (Tejamulya, 2006). Perempuan sejak usia dini terlatih untuk meneliti diri sendiri, sebagai preseden historis yang harus ditanggung sepanjang hayatnya. Perempuan melihat diri mereka sendiri sebagai obyek, dimana ketika lelaki melihat perempuan, perempuan melihat dirinya sendiri yang sedang dilihat oleh lelaki. Sesuatu yang disebut oleh Cooley sebagai looking-glass self (Soeprapto, 2002: 114). Hal ini ditegaskan pula oleh Mitchell (1993: 65), bahwa konstruksi seksualitas laki-laki dan perempuan direpresentasikan dalam harapan, hasrat, dan fantasi, dimana laki-laki mengkonstruksikan perempuan idealnya dan perempuan mengkonstruksikan dirinya agar ideal dan sepadan dengan ideal dalam konstruksi laki-laki.
Dari sini terlihat bahwa keinginan untuk tampil cantik tersebut bagi perempuan merupakan bagian dari usaha untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Yang pertama, perempuan ingin menunjukkan eksistensi dirinya di mata laki-laki. Bukan untuk menundukkan dan menguasai lelaki, tetapi lebih pada kebutuhan akan perlindungan dari lelaki. Bahkan ketika secara kasat mata seorang perempuan terlihat tegar dan bahkan berkuasa atas laki-laki, ia tidak bisa memungkiri kebutuhannya akan laki-laki. Hal ini disebut oleh Dowling (1989) sebagai Cinderella complex, yakni :
“…suatu jaringan sikap dan rasa takut yang sebagian besarnya tertekan sehingga wanita tidak bisa dan tidak berani memanfaatkan sepenuhnya kemampuan otak dan kreativitasnya. Sebagaimana halnya Cinderella yang terbaring di peti kaca menanti sang paneran membangkitkannya, demikianlah wanita masa kini masih menanti sesuatu yang berasal dari luar, untuk mengubah hidup mereka.” (1989: 17)
Sederhananya, Dowling mengatakan bahwa perempuan berada dalam situasi yang senantiasa ingin dilindungi dan punya kecenderungan untuk tergantung, dalam hal ini kepada laki-laki. Sekuat-kuatnya perempuan memperjuangkan dirinya, sekeras-kerasnya perempuan ingin menunjukkan dominasinya pada laki-laki, ada kebutuhan tersendiri pada perempuan akan perlindungan laki-laki yang muncul baik disadari maupun tidak. Hal ini tampak melalui slogan Girl Power dari lirik sebuah lagu berjudul sama yang dipelopori oleh grup musik perempuan dari Inggris, Spice Girls :
“Be strong, be brave, be loud and control your own destiny. Believe that your self can do anything you want to do and be confident. We have to be independent, but it doesn’t mean that you don’t need a boy…”
Lagu tersebut ditujukan pada perempuan di seluruh dunia dan kemudian diadopsi oleh banyak majalah perempuan untuk mengajak perempuan menunjukkan kekuatan perempuan, namun (sekali lagi) bagaimanapun perempuan tetap membutuhkan laki-laki. Karena “kebutuhan” itulah, maka perempuan menghadapi kecemasan dan kegelisahan tersendiri. Ada keraguan akan diri sendiri yang dihadapi oleh perempuan, demikian hasil penelitian psikolog Judith Bardwick (Dowling, 1989: 25). Kurangnya rasa percaya diri itu, terutama mengenai bagaimana diri mereka di mata laki-laki mendorong perempuan merawat dirinya, memoles, bahkan merubah tubuhnya agar predikat “cantik” melekat pada dirinya agar mereka mendapatkan apa yang mereka butuhkan dari laki-laki.
Yang kedua, perempuan ingin menunjukkan eksistensi dirinya di mata masyarakat. Sementara masyarakat sendiri terkonsep untuk melihat perempuan dengan kacamata laki-laki karena sistem sosial di masyarakat pada dasarnya berorientasi pada laki-laki atau patriarkhi, demikian diungkapkan Walby (1993: 18). Walby juga menegaskan bahwa dominasi patriarkhi ini meliputi wilayah privat dan publik, dimana pada wilayah privat patriarkhi didasarkan pada keluarga dan rumah tangga, sedangkan pada wilayah publik patriarkhi diletakkan pada pekerjaan dan negara. Masyarakat, baik sadar maupun tidak, telah memosisikan perempuan sebagai “yang kedua” setelah laki-laki, seperti dinyatakan Simone de Beavoir dalam tulisannya The Second Sex (1949) :
“One is not born, but rather becomes, a woman. No biological, psychological, or economic fate determines the figur that the human female present in society; it is civilization as a whole that produces this creature, intermediate between male and eunuch, which is described as feminine. Only in intervention of someone else can establish an individual as an other.” (Humm, 1992: 48)
Bahkan secara tegas de Beauvoir menyatakan bahwa masyarakat memosisikan laki-laki sebagai norma positif dan perempuan sebagai norma negatif, artinya perempuan didefinisikan sebagai “jenis kelamin yang kedua” setelah laki-laki, “… that society sets up the male as positive norm and a ‘woman’ as a negative, second sex, ‘other’…” (Humm, 1992: 44). Masyarakat jugalah yang kemudian melakukan seleksi pada perempuan dan membagi perempuan dalam kelas-kelas atau segmen-segmen tertentu. Dasar seleksi itu menurut Walby (1993: 19) diantaranya adalah seksualitas perempuan. Seksualitas perempuan dinilai berdasarkan standar-standar tertentu, dimana Irigaray menyebut standar-standar itu dikonseptualisasikan berdasarkan parameter laki-laki dan maskulinitas (Lechte, 2001: 249). Standar-standar itu diantaranya adalah bentuk fisik dan kecantikan yang disebut sebagai “ideal”. Standar “ideal” ini sebetulnya adalah produk dari genre kecantikan versi kontes-kontes kecantikan yang pertama kali digelar di Amerika Serikat tahun 1854, dimana lewat kontes-kontes kecantikan semacam ini, kecantikan versi kontes diinstitusionalisasikan ke seluruh dunia (Synnott, 1993: 141) sebagai salah satu bentuk kolonialisme pascakolonialisme (Loomba, 2003). Kulit putih mulus, kaki panjang lurus, kaki jenjang, payudara dan pantat padat berisi, dan paras jelita disebut Wolf (2004: 9-14) sebagai standar kecantikan hasil kontes kecantikan. Kecantikan versi kontes itu telah menjadi sebuah hiperrealitas, yang imajiner seolah- olah menjadi yang sebenarnya, demikian diungkapkan Baudrillard (Lechte, 2001: 357). Standar tersebut “menghipnotis” masyarakat dengan begitu kuatnya sehingga masyarakat menerima hiperrealitas itu menjadi sebuah realitas. Dan bahkan standar-standar itu diterapkan pada perempuan dalam bidang-bidang tertentu, seperti pekerjaan. Contohnya adalah Professional Beauty Qualification (PBQ) atau Kualifikasi Kecantikan Profesional yang diterapkan di Amerika Serikat dan Inggris (Wolf, 2004: 56-114). Pada lapangan kerja tertentu, seperti sekretaris atau resepsionis, pekerja perempuan dituntut untuk sesuai dengan standar kecantikan tertentu yang diterapkan oleh pihak perusahaan, dimana peraturan ini nyata-nyata menyiratkan diskriminasi dan segmentasi terhadap perempuan.
Di Indonesia sendiri, sudah menjadi rahasia umum bahwa profil pekerjaan tertentu, seperti sekretaris identik dengan standar kecantikan tertentu. Standar-standar inilah yang berusaha dimiliki oleh perempuan sehingga mereka bisa eksis di masyarakat. Perempuan menjadi takut dan cemas bila mereka tidak memenuhi standar-standar itu, mereka takkan dicintai, entah oleh pasangan ataupun lingkungannya (Tejamulya, 2006).
Artinya, ada kekuatiran bila seorang perempuan tidak memenuhi standar-standar kecantikan tersebut, ia akan kesulitan dalam membangun relasi interpersonal di masyarakat terutama dalam membangun hubungan yang didasarkan kebutuhan afeksi (hubungan romantis) dengan laki-laki. Hal ini tampak misalnya dari hasil polling yang dilakukan majalah Cosmopolitan pada periode maret-april 2001 terhadap 1105 responden laki-laki yang menyebutkan bahwa 67,7 % responden menilai penampilan fisik perempuan sebagai hal pertama yang menarik perhatiannya (Melliana, 2006: 15). Hasil polling tersebut menjadi salah satu bukti betapa penampilan fisik menjadi salah satu unsur penting bagi perempuan dalam membangun relasi interpersonal dengan laki-laki.
Dari apa yang telah diuraikan diatas tampak bahwa perempuan punya alasan yang cukup kuat untuk memutihkan kulit. Ketika putih tidaknya kulit diklaim sebagai kecantikan maka tidak mengherankan bila perempuan melakukan segala cara untuk memutihkan kulitnya. Harapannya tentu saja agar ia mampu menunjukkan eksistensinya di mata laki-laki dan masyarakat. Lebih spesifik lagi agar ia lebih mudah membangun relasi interpersonal dengan laki-laki karena penampilan fisiknya yang dianggap cantik berdasarkan standar “putih”.Bagaimana dengan anda ??(ydk@0209)
Selengkapnya...
Guru dan Murid Pacaran ?? Nah lho...
Guru pacaran dengan muridnya sendiri ? Hemm..saya tersenyum kecil ketika beberapa orang menanyakan pendapat saya tentang hal itu. Saya balik bertanya pada mereka apa tujuan mereka menanyakan hal itu pada saya. Jawabannya tepat seperti dugaan saya : karena sangat besar peluang dan kemungkinan untuk hal itu terjadi pada saya. Dasarnya adalah status sebagai guru muda dengan jarak usia yang tidak terlampau jauh dengan murid, plus habitat sekolah dimana saya mengajar yang dikenal mempunyai murid perempuan dengan “kualitas terjamin”. So, yang namanya cinta bisa tiba-tiba datang jika pelurunya sukses menembus hati, tanpa peduli siapa kita siapa dia. Nah lho...
Pertanyaannya adalah, darimana sebetulnya cinta itu muncul ?? “Teori” pertama datang dari mereka yang berpijak pada mitologi Yunani. Menurut mereka ini, dewa Cupid senantiasa berkeliling di antara manusia dan sekehendak hatinya menembakkan panah asmara di hati para laki-laki dan perempuan. Mereka yang terkena panah yang sama, otomatis akan saling jatuh cinta. Semua tergantung pada Cupid untuk menjodohkan manusia satu dengan manusia lainnya. Bagaimana dengan cinta sesama jenis ? Nah, ada yang bilang kalau Cupid tidak melihat bentuk fisik manusia, tetapi melihat hatinya. Sehingga sangat mungkin terjadi cinta sesama jenis karena Cupid menembakkan panah pada hati “perempuan” yang ternyata dibungkus dalam fisik laki-laki, dan sebaliknya ia bisa juga menembakkan panah pada hati “laki-laki” yang ternyata ada dalam fisik perempuan.
“Teori” yang kedua datang dari mereka yang berpegang pada peribahasa “cinta datang dari mata dan turun ke hati”. Dalam konsep ini, “cinta pada pandangan pertama” dan “kesan pertama” menjadi sangat penting. Karena cinta itu tumbuh melalui perspektif kita dalam memandang seseorang. Sejauh mana penampilan dan aura seseorang mampu melahirkan rasa simpati, tertarik, dan cinta di hati kita, itu kuncinya. Beberapa penelitian ilmiah mengatakan bahwa dalam tubuh manusia mengalir hormon feromon yang mampu memancing ketertarikan orang lain pada kita. So, bila modal feromon itu dikombinasikan dengan penampilan yang istimewa, maka tidaklah sulit untuk saling tertarik dan jatuh cinta dengan orang lain. Kelemahannya, cinta model ini ibarat iklan, tergantung pada bentuk, penampilan dan kemasan produk yang ditawarkan. Syukur-syukur kita dapatkan kemasan yang menarik plus isi yang berkualitas. Namun jika tidak ??
Yang ketiga, adalah “teori’ yang melandaskan diri pada pepatah jawa yang berbunyi “witing tresna jalaran saka kulina”. Ya, cinta datang dari kebiasaan dan frekuensi pertemuan antar manusia. Dari pertemuan-pertemuan itu biasanya muncul dinamika-dinamika yang berupa interaksi bahkan gesekan. Namun ujung-ujungnya adalah rasa tertarik satu sama lain. Tumbuhnya rasa tertarik itu terkadang tidak disadari, karena seolah-olah hubungan yang terjadi adalah hubungan yang “biasa”. Tetapi bila hubungan itu berubah menjadi “tidak biasa”, di situlah bibit-bibit cinta mulai tertabur di ladang hati. Cinta model ini mempunyai kelebihan terutama dalam hal sudah adanya pengenalan satu sama lain terlebih dulu sehingga meminimalkan kepura-puraan dan berimbas pada awetnya hubungan. Ibarat sepeda motor “Honda”, makin lama dipacu, mesin makin panas dan kuat daya tahannya. Masalahnya adalah bagaimana bila cinta yang datang karena sudah terbiasa itu semakin lama menjadi semakin “biasa’ dan tidak lagi “istimewa” ?? Akibatnya cinta seolah-olah akan bermetamorfosis menjadi kejenuhan dan kebosanan yang harus disingkirkan.
Dari tiga “teori” di atas, manakah yang menjadi pemicu utama hubungan cinta antara guru dan murid ? Jawaban saya : ketiga-tiganya !! Yang namanya cinta memang tidak dapat diduga darimana datangnya. Ia tidak pilih siapa dan rupa. Cinta juga tidak memilih status, agama, latar belakang budaya, ataupun usia. Cinta tidak peduli pada siapa ia menjatuhkan pilihan, sekalipun ia harus berhadapan dengan nilai dan norma. “Love is love”. Cinta adalah cinta. Hakekatnya adalah “rasa”. Sehingga jangan heran bila tidak hanya guru laki-laki yang bisa jatuh cinta dengan murid perempuan, sebaliknya guru yang perempuan pun bisa juga menjalin hubungan dengan muridnya laki-laki. Ketika panah Cupid menembus hati, maka segala tata cara dan tetek bengek norma dunia tidak akan lagi bermakna. Tentu saja,unsur feromon dan penampilan juga ikut berperan. Pastilah ada sesuatu yang istimewa di pihak guru, dan juga ada yang spesial di pihak murid sehingga mereka bisa saling jatuh cinta satu sama lain. Dan yang paling penting, jelas cinta itu juga datang karena frekuensi pertemuan yang tinggi antara guru dan murid tersebut. Ingat, di dalam sebuah pertemuan tidak hanya terkandung kata-kata, tetapi juga ada kontak mata, kontak hati dan pikiran, bahkan bahasa tubuh pun berbicara. Kesemuanya itu akan memancing cinta untuk keluar dari sarang hati yang terdalam. Efeknya ?? Tentu saja mereka akan mengorbankan banyak hal untuk menempuh resiko menjalani salah satu bentuk hubungan yang (menurut saya) adalah salah satu hubungan cinta “tergila” yang pernah ada di masyarakat. Melawan norma, berhadapan dengan dunia, dan bermain peran sedemikian rupa agar hubungan itu tetap “aman” adalah bagian dari resiko, tantangan sekaligus sensasi yang dirasakan oleh para pelaku dalam hubungan cinta antar guru-murid ini.
Kalau kita bicara dalam perspektif sosiologi, hubungan cinta antar guru-murid bisa dikategorikan dalam perilaku menyimpang. Karena perilaku menyimpang tidak hanya berarti perilaku yang melanggar nilai dan norma, tetapi juga perilaku yang berbeda dengan perilaku masyarakat pada umumnya dan tidak lazim. Tetapi salahkah itu ?? Menurut saya tidak sama sekali !! Dalam hal cinta, ada unsur kebebasan disana. Sehingga apapun pilihan cinta, kita harus menghormatinya sebagai manusia. Karenanya bagi saya, hubungan cinta antar guru-murid ini adalah bentuk perilaku menyimpang primer yang positif. Meski bisa menguncang psikologis masyarakat, namun di dalamnya tidak terkandung maksud mengganggu dan merusak tatanan masyarakat secara keseluruhan.
Tetapi sekali lagi, kebebasan itu juga harus diimbangi dengan dua hal yang terpenting, yakni kesadaran dan obyektivitas. Kesadaran itu berarti sadar akan pilihan dan resiko yang harus dihadapi dengan hubungan cinta antar guru-murid ini. Guru dan murid itu juga harus bisa cerdas dalam menempatkan diri baik di sekolah maupun di masyarakat. Sehingga dalam perjalanannya tidak akan merugikan dua belah pihak. Dan yang kedua, obyektivitas profesional juga tetap harus dijaga. Universitas London pernah melakukan penelitian mengenai efek jatuh cinta. Hasilnya, diketahui bahwa ketika sedang jatuh cinta bagian otak manusia yang mengontrol pikiran-pikiran kritis akan terganggu. akibatnya, terjadi peningkatan aktivitas di bagian otak yang merespon terhadap reward atau hal-hal baik. Sementara bagian otak yang biasa membuat penilaian-penilaian negatif mengalami penurunan aktivitas. Artinya, mereka yang jatuh cinta seakan dibutakan cinta sehingga penilaian tentang pasangan mereka tak seobyektif biasanya. Penilaian terhadap orang yang dicintai lebih cenderung ke penilaian yang bersifat positif. Sedangkan hal-hal negatif atau kesalahan pasangan kerap terlewatkan. Disini jelas guru harus tetap obyektif. Jangan lantas karena murid itu pasangannya, ia tidak obyektif dalam hal pelajaran dan penilaian. Harus bisa dibedakan antara hubungan cinta dengan hubungan profesional antara guru dan murid. Jangan sampai permasalahan dalam hubungan cinta merembet dalam hubungan profesional di sekolah. Di balik cinta antara pria dan wanita yang muncul, guru tetaplah seorang guru, murid tetaplah seorang murid. (ydk@2009)
Selengkapnya...
Monday, February 2, 2009
Soal Try Out UN Sosiologi_4
berikut adalah soal try out UN Sosiologi untuk SMA. download dengan meng-klik pada judul di atas.maturtengkyu. Selengkapnya...
Monday, January 12, 2009
Sunday, January 11, 2009
Soal Try Out UN Sosiologi-3
Butuh soal-soal try out UN SOsiologi ? Download aja dengan cara klik pada judul di atas dan gunakan sebagai bahan persiapan UN... Selengkapnya...
Soal Try Out UN Sosiologi-2
Soal-soal berikut bisa membantu dalam persiapan Ujian Nasional mapel Sosiologi. Download dengan cara klik pada judul di atas dan tinggalkan komentar anda... Selengkapnya...
Soal Try Out UN Sosiologi-1
Berikut adalah salah satu soal try out UN Sosiologi. Bisa digunakan untuk latihan soal anak IPS dalam persiapan UN. Download aja disini dengan cara meng-klik judul di atas dan tinggalkan komentar anda sebagai masukan bagi saya... Selengkapnya...
Saturday, January 10, 2009
Filosofi Penelitian Sosial
Materi ini salah satu bagian mengenai dasar-dasar penelitian sosial. Bisa didownload dan digunakan sebagai sumber yang memperkaya bahan ajar.. Selengkapnya...
Friday, January 9, 2009
Astrologi dalam Perspektif Paul Thagard, Science atau Pseudoscience ? - oleh Yudha Kusniyanto, S.Sos
Karl Popper dalam esainya “Science: Conjectures and Refutations” memberikan batasan dan kriteria-kriteria ilmu (Klemke,dkk(ed), 1980: 19-34). Dimana kemudian kriteria-kriteria tersebut digunakan untuk mengklasifikasi sebuah pengetahuan sebagai ilmu (science) atau bukan ilmu (non-science). Popper juga menyinggung astrologi sebagai pengetahuan yang tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu (1980: 23). Penjelasan berkaitan dengan klaim Popper tersebut diuraikan Paul Thagard dalam esainya “Why Astrology is a Pseudoscience” (1980:66-75). Thagard secara khusus memberikan alasan-alasan di balik penyebutan astrologi sebagai ilmu semu atau pseudoscience. Perbedaan yang nampak adalah jika Popper secara hitam putih menyebut astrologi sebagai bukan ilmu, Thagard menyebutnya sebagai ilmu semu. Mengapa Thagard “hanya” menyebut astrologi sebagai “ilmu semu” dan bukan “bukan ilmu” ? Berpijak pada esai yang ditulis Paul Thagard, makalah ini bertujuan untuk berupaya memberikan penjelasan atas pertanyaan tersebut. Untuk lebih memahami konteks dari bahasan utama dalam makalah ini, perlu diuraikan terlebih dahulu definisi pseudoscience dan definisi astrologi. Kemudian dalam bagian selanjutnya diuraikan bagaimana posisi astrologi dalam science menurut Thagard, dan pada bagian akhir disampaikan kesimpulan dari makalah ini.
Apa itu Pseudoscience ?
Dalam Wikipedia English – a Free Encyclopedia, pseudoscience didefinisikan sebagai “...a body of knowledge, methodology, belief, or practice that is claimed to be scientific or made to appear scientific, but does not adhere to the scientific method, lacks supporting evidence or plausibility, or otherwise lacks scientific status”. Dengan kata lain, pseudoscience adalah sebuah pengetahuan, metodologi, praktek, ataupun keyakinan yang diklaim sebagai sebuah kebenaran yang ilmiah, tetapi tidak didasarkan pada metode ilmiah, minim bukti ataupun sesuatu yang masuk akal, dan pada akhirnya tidak cukup layak untuk disebut sebagai sesuatu yang ilmiah.
Istilah pseudoscience berasal dari kata dalam bahasa yunani “pseudo” yang berarti tiruan, tidak nyata, atau kepura-puraan serta kata dalam bahasa latin “scientia” yang berarti ilmu atau pengetahuan. Secara bebas pseudoscience bisa diartikan sebagai “ilmu yang bukan ilmu” atau “ilmu semu”. Pseudoscience pertama kali dicetuskan pada tahun 1843 oleh fisiologis Perancis, Francois Magendie, yang dikenal sebagai pelopor dalam fisiologi eksperimental.
Karakteristik yang umumnya bisa digunakan untuk menandai pseudoscience diantaranya adalah penggunaan klaim yang samar-samar atau ambigu (vague), klaim kebenaran yang dilebih-lebihkan tanpa teruji kebenarannya (exaggerated and untestable), sangat mengutamakan dukungan daripada penyangkalan terhadap klaim kebenaran yang diberikan (over-reliance in confirmation rather than refutations), kurang terbuka terhadap kemungkinan untuk diuji oleh pihak lain (lack of openness to testing by other experts), dan minimnya kemajuan dalam pengembangan teori yang dilakukan (lack of progress in theory development).
Apa itu Astrologi
Thagard (1980: 66-68) mengungkapkan bahwa seringkali terjadi kesalahan persepsi mengenai astrologi yang terjadi di masyarakat, terutama karena astrologi dikenal masyarakat melalui ramalan-ramalan bintang yang ada di dalam koran atau majalah populer. Astrologi yang umumnya ada dalam koran atau majalah tersebut biasanya melakukan penandaan dengan hanya didasarkan pada pergerakan matahari. Sedangkan astrologi yang sesungguhnya juga memperhitungkan keberadaan bulan, planet-planet, maupun material lain yang ada di semesta. Astrologi membagi langit berdasarkan dua belas region yang kita kenal sebagai zodiak seperti libra, gemini, aquarius, dsb. Zodiak tersebut ditentukan berdasarkan periode tanggal kelahiran tertentu. Misalnya jika seseorang lahir antara 23 september hingga 22 oktober, maka ia ada dalam lingkup region libra. Penandaan tersebut didasarkan pada pergerakan langit dan matahari di ufuk timur saat waktu kelahiran seseorang. Untuk dapat melakukan penandaan ini dengan akurat, maka pengetahuan yang mendalam tentang waktu dan tempat kelahiran mutlak diperlukan. Karena dalam astrologi, ada asosiasi antara waktu kelahiran seseorang dengan keberadaan bulan dan planet-planet. Dimana kemudian kombinasi perhitungan dari pergerakan matahari, bulan, dan keberadaan planet-planet tersebut dikatakan mempunyai pengaruh kuat terhadap karakter, kepribadian, maupun nasib seseorang.
Astrologi adalah sebuah praktek kuno, yang muncul pertama kali pada ribuan tahun sebelum masehi (SM) di Chaldea. Baru pada sekitar tahun 700 SM, zodiak diproklamirkan dan dalam perkembangannya berabad-abad kemudian menjadi dua belas zodiak yang kini familiar di masyarakat. Ekspansi Aleksander Agung membawa astrologi ke Yunani, dan kemudian dikenal oleh Romawi. Sejarah romawi mencatat bahwa Julius Caesar adalah tokoh yang menggunakan horoskop dalam masa kekuasaannya. Pada waktu itu astrologi sangat populer di Romawi, meski beberapa kalangan seperti Lucretius dan Cicero menentang keberadaan astrologi.
Kodifikasi yang dilakukan Ptolomeus melalui Tetrabiblos (ditulis sekitar pada abad kedua) menjadi sumber yang sangat fundamental mengenai astrologi. Dalam buku itu dipaparkan detil dari kekuatan dan pergerakan matahari, bulan, planet-planet, dan implikasinya bagi kehidupan manusia. Bagi Ptolomeus, astrologi mempunyai derajat yang sama dengan geografi dan astronomi. Ia berargumen bahwa melalui astrologi dapat dilakukan prediksi mengenai apa yang akan terjadi dalam hidup manusia. Perubahan gerak dan posisi matahari, bulan dan planet-planet mempunyai efek yang signifikan terhadap hidup manusia. Dalam Almagest, Ptolomeus juga bersikukuh bahwa melakukan prediksi atas hidup manusia dengan astrologi adalah mungkin, dimana ia merujuk implikasi pergerakan matahari, bulan dan planet-planet terhadap bumi, misalnya dalam hal cuaca dan pasang surut air laut.
Pada masa renaissance yang merupakan tonggak kebangkitan ilmu modern, praktek okultisme dan astrologi masih tumbuh subur. Bahkan tokoh sekaliber Keppler turut menaruh perhatian terhadap astrologi. Pada abad ke-17, astrologi sangat populer. Namun kepopuleran itu surut pada abad ke-18 seiring masa pencerahan (enlightenment) yang dipelopori diantaranya oleh Swift dan Voltaire. Astrologi kembali eksis pada tahun 1930 dan bahkan mendapatkan kepercayaan dari beberapa kalangan masyarakat sebagai petunjuk nasib dan kehidupan.
Astrologi dalam kerangka Science dan Pseudoscience
Menanggapi tren astrologi di masyarakat, Bart Bok, Lawrence Jerome dan Paul Kurtz pada tahun 1975 (Thagard,1980: 67) membuat pernyataan yang intinya menyerang astrologi. Pernyataan tersebut didukung dan ditandatangani oleh 192 ilmuwan terkemuka, termasuk 19 orang penerima nobel. Tiga hal utama yang termuat dalam pernyataan tersebut adalah: Pertama, astrologi pada dasarnya merupakan bagian dari sudut pandang yang supranatural, metafisis, dan transenden (magical world view). Kedua, Keberadaan planet terlalu jauh dan tidak signifikan untuk dijadikan pijakan fisik bagi astrologi. Dan ketiga, masyarakat mempercayai astrologi semata-mata hanya untuk mencari kenyamanan. Bok mengungkapkan bahwa mencoba melakukan pengujian terhadap prediksi astrologi adalah sesuatu yang sia-sia karena astrologi tidak mempunyai pijakan fisik yang dapat diukur. Ia juga menegaskan adanya efek psikologis bagi individu-individu yang mempercayai astrologi, dimana mereka cenderung menjadikan astrologi sebagai dasar irasional penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Jerome menguatkan pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa astrologi lebih merupakan sebuah system of magic daripada sebuah ilmu.
Namun demikian bagi Thagard, apa yang diungkapkan Bok dkk tidaklah cukup kuat dijadikan dasar untuk menandai astrologi sebagai pseudoscience. Pertama, prinsip asal-usul seperti yang diungkapkan Bok tidaklah dapat dijadikan dasar sesuatu disebut sebagai ilmu. Tidak hanya astrologi yang mempunyai asal-usul berbau mistis, bahkan sejarawan mengindikasikan proses serupa juga terjadi pada penemuan Newton ataupun Einstein sekalipun. Yang kedua, dasar kepercayaan individu terhadap astrologi tidak semata-mata karena dasar irasional. Dalam taraf tertentu, alasan logis dan rasional bisa menjadi dasar individu untuk mempercayai astrologi. Terakhir, pijakan fisik sebagai dasar sebuah kebenaran tidak bisa diterima secara mutlak. Contohnya adalah tidak ada penjelasan mekanis antara hubungan rokok dan kanker. Kesimpulan mengenai hubungan tersebut bahwa merokok akan menyebabkan kanker lebih diperoleh dari kecenderungan data statistik.
Bagaimana jika kemudian astrologi diukur dari kriteria verifikasi dan falsifikasi ? Ada beberapa pihak yang mencoba melakukan pengujian dan serangkaian tes untuk menguji klaim kebenaran astrologi. Salah satu di antaranya yang menjadi pelopor adalah Michel Gauquelin. Gauquelin mencoba menarik hubungan antara karir dan zodiak dan melakukan survei pada 25.000 orang perancis. Astrologi berpendapat bahwa zodiak seseorang akan mempengaruhi secara pasti kecenderungan karakter dan posisi seseorang dalam pekerjaannya. Misalnya karakter Mars (yang dalam mitologi Yunani adalah Ares sang dewa perang) banyak mempengaruhi orang-orang yang lahir pada rentang zodiak Mars untuk menjadi tentara atau atlet. Sedangkan Venus (dalam mitologi Yunani adalah dewi kecantikan) lebih banyak menghasilkan orang-orang yang bekerja dalam bidang artistik dan keindahan. Dalam survei yang dilakukannya, ternyata Gauquelin menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara karir seseorang dengan apa zodiaknya. Tetapi ia menemukan ada peluang yang lebih besar misalnya seorang yang berzodiak mars untuk menjadi atlet ketimbang yang berzodiak venus, demikian pula sebaliknya. Namun demikian, Thagard mengungkapkan bahwa meski penemuan Gauquelin benar, astrologi tetaplah sukar untuk diverifikasi dengan tepat, terutama mempertimbangkan aspek ketidakpastian dari determinasi zodiak terhadap karir. Bagaimanapun usaha Gauquelin dapat dilihat sebagai adanya sedikit kadar verifiabel dalam astrologi. Artinya kriteria verifikasi tidak dapat sepenuhnya dapat menandai astrologi sebagai pseudoscience. Di pihak lain, jika menerapkan prinsip falsifikasi dalam menilai astrologi, perlu diperhatikan bahwa falsifikasi hanya dapat dilakukan jika ada teori lain yang lebih baik atau dapat menggantikan astrologi. Merujuk pada penelitian Gauquelin, meski tidak seratus persen akurat, tetapi prediksi yang dilakukan astrologi tidaklah lebih buruk dari teori lain. Artinya jika ada teori lain yang bisa menjadi pembanding yang lebih baik untuk astrologi, maka prinsip falsifikasi bisa menempatkan astrologi sebagai pseudoscience.
Bukan prinsip verifikasi, falsifikasi, ataupun kriteria Bok dkk yang dapat menandai astrologi sebagai pseudoscience. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa astrologi mempunyai banyak kelemahan dan masalah yang harus dihadapi. Terutama bagaimana memberikan jawaban dan prediksi yang tepat terhadap apa yang diklaim astrologi sebagai kebenaran. Karena faktanya, tidak semua orang berzodiak scorpio bernasib sama, atau semua orang berzodiak aries mempunyai keberuntungan yang sama. Pertanyaannya sekarang adalah dimanakah posisi astrologi ? Science atau pseudoscience ? Thagard (1980: 70) memberikan tiga kriteria untuk membedakan antara astrologi dengan ilmu: theory, community dan historical context. Theory, artinya setiap ilmu harus mempunyai struktur, kemampuan memprediksi, kemampuan menjelaskan, dan kemampuan memecahkan masalah. Hal ini senada dengan pendapat Bok mengenai pijakan fisik bagi sebuah teori. Namun demikian, seperti dipaparkan di atas, hal ini saja tidak cukup untuk menempatkan astrologi sebagai pseudoscience.
Hal kedua yang juga patut diperhatikan sebagai kriteria pembedaan astrologi dengan ilmu adalah community. Artinya menunjuk pada mereka-mereka yang berkecimpung dalam dunia astrologi. Dimana beberapa pertanyaan penting yang harus dijawab oleh para astrolog adalah: Apakah ada kesepakatan di antara mereka mengenai prinsip-prinsip astrologi dan cara astrologi memecahkan masalah ? Apakah ada kepedulian di kalangan astrolog untuk menjelaskan anomali dalam teori maupun membandingkan kesuksesan astrologi dengan teori lainnya ? Apakah para astrolog secara aktif mau melakukan konfirmasi maupun penyangkalan terhadap teori ? Jika jawaban yang diberikan para astrolog terhadap ketiga pertanyaan ini adalah “tidak”, maka penilaian bahwa astrologi adalah pseudoscience baru mulai bisa lebih dikuatkan.
Yang terakhir adalah historical context atau konteks historis dari teori tersebut. Merujuk pada Kuhn, Thagard mengungkapkan bahwa sebuah teori dapat ditolak sebagai teori apabila teori tersebut menghadapi anomali dalam periode waktu yang lama dan teori tersebut juga menghadapi tantangan dari teori yang lain. Dari ketiga kriteria di atas, Thagard menyimpulkan prinsip-prinsip yang bisa menjadi kriteria untuk mengatakan sebuah teori sebagai pseudoscience adalah:
1. Bila sebuah teori tidak progresif dan mengalami tantangan dari teori lain yang dapat menjadi alternatif dalam periode waktu yang lama, sementara teori itu sendiri menghadapi banyak masalah yang memerlukan pemecahan.
2. Bila komunitas dari para praktisi teori tersebut enggan melakukan pengembangan teori untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi, tidak memperlihatkan keinginan untuk melakukan evaluasi teori dan kaitannya dengan teori lain serta sangat selektif dan minim dalam melakukan konfirmasi maupun penyangkalan terhadap teori.
Kesimpulan
Thagard tidak serta-merta melakukan penilaian bahwa astrologi adalah pseudoscience dari sudut pandang kriteria verifikasi dan falsifikasi yang diungkapkan Popper. Thagard tidak juga mengaburkan batas antara science dengan pseudoscience seperti halnya Feyerabend. Thagard memberikan sudut pandang berbeda dengan memberikan konteks historis dan konteks sosial dalam menilai astrologi sebagai science atau pseudoscience. Konteks historis artinya jika dalam periode waktu astrologi tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapinya, dan muncul teori alternatif yang mampu menjawab permasalahan itu, maka astrologi termasuk sebagai pseudoscience. Dengan kata lain, sebetulnya astrologi menjadi pseudoscience seiring dengan munculnya psikologi modern di awal abad ke-19. Namun sejarah mencatat bahwa astrologi dikeluarkan dari lingkaran ilmu sejak abad ke-18. Thagard menyebut bahwa hal ini disebabkan bahwa pada masa itu astrologi sudah dicap lebih dahulu sebagai pseudoscience sehingga sulit untuk berkembang.
Dalam menilai astrologi sebagai science atau pseudoscience diperlukan juga konteks sosial. Artinya bahwa penilaian itu akan menjadi relatif tergantung pada aspek kultural dalam masyarakat. Thagard memberikan contoh masyarakat terisolir dalam hutan di Amerika selatan yang mempercayai astrologi sebagai sebuah kebenaran. Karena dalam seluruh masyarakat itu tidak dilakukan kegiatan pengembangan teori, juga tidak diketahui adanya teori lain yang dapat menjadi alternatif, maka astrologi yang berlaku di dalam masyarakat tersebut tidak dapat disebut sebagai pseudoscience. Sehingga bisa disimpulkan bahwa astrologi menjadi pseudoscience ketika ia hidup di tengah-tengah peradaban barat dan peradaban lain yang telah banyak terpengaruh oleh arus pemikiran barat. Ketika di suatu masyarakat dimana astrologi tidak mempunyai “saingan” yang dapat menunjukkan ketidakmampuannya untuk menjawab tantangan peradaban, maka dalam masyarakat tersebut astrologi dapat berdiri kokoh sebagai science. Dengan kata lain, tidak bisa dilakukan sebuah generalisasi kriteria yang bersifat absolut untuk sebuah teori dikatakan sebagai science atau pseudoscience. Karena bagaimanapun ada kondisi sosial dan kultural yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya.(ydk)- by Yudha Kusniyanto@sept2008
Selengkapnya...
Rajawali vs Emprit
Kira-kira hal apa yang menjadi “momok” buat anak kelas XII (3 SMA) ? Ya, nampaknya tidak salah kalau kita menjawab Ujian Nasional (UN) sebagai sesuatu yang paling menakutkan buat anak kelas XII. Bagaimana tidak, vonis atas kelulusan mereka tergantung pada beberapa mata pelajaran yang diujikan hanya dalam tiga hari. Buat mereka, bisa lulus artinya seperti lolos dari gua singa dan tidak lulus artinya terperangkap dalam kegagalan dan rasa malu. Mencontek judul film yang dibintangi Nicholas Saputra, UN itu bagaikan “tiga hari untuk selamanya”. Nah, hari-hari yang terlewati sejak aku masuk pertama kali di kelas XII sebetulnya menjadi hari-hari yang cukup menyenangkan. Aku jadi melihat bahwa di balik setiap tindakan dan kenakalan mereka, mereka mempunyai latar belakang dan alasan yang bermacam-macam. Istilahnya, aku jadi melihat kemanusiaan mereka yang sebetulnya jauh berbeda dari yang aku bayangkan. Mereka adalah anak-anak muda yang membutuhkan “sesuatu”. “Sesuatu” itu bisa berarti teman, sahabat, teladan, panutan, dukungan, atau bahkan sandaran. Secara sederhana, aku jadi merasa punya ikatan dan tanggungjawab terhadap mereka (sesuatu yang sebelumnya selalu aku hindari). Ikatan dan tanggungjawab itu menjadi semakin kuat ketika “momok” bernama ujian nasional mulai menghantui mereka.
Kalau mau jujur, sebetulnya bagi murid-muridku, menghadapi UN ibarat menghadapi sebuah pertandingan final. Tentu saja tidak semua orang akan memilih peranan yang sama dalam pertandingan itu. Imbasnya, secara garis besar ada empat peranan yang muncul dari murid-muridku. Yang pertama, mereka yang memilih untuk berperan sebagai “pemain”. Mereka-mereka yang masuk kelompok ini umumnya mempersiapkan diri dengan keras. Bahkan tidak jarang mereka menambah porsi “latihan”, misalnya dengan mengikuti les ataupun setia mendatangi guru mapel buat konsultasi. Tidak semua anak yang masuk kelompok ini adalah anak yang dikenal pintar di kelas, tetapi juga anak-anak yang dikenal lemah dalam pelajaran. Bukan apa-apa, alasan utama mereka memilih jadi “pemain” sebetulnya adalah ketakutan dan kekhawatiran apakah dengan kecerdasan yang “pas-pasan” (ini menurut mereka lho..) mereka bisa lulus. Tapi yang jelas, mereka yang ada di kelompok ini patut diacungi jempol karena semangat dan kemauannya yang besar.
Yang kedua, adalah mereka yang memilih untuk jadi “komentator”. Mereka tahu bahwa “final” itu harus dimenangi. Mereka juga tahu bahwa untuk menang harus berlatih dan mempersiapkan diri dengan baik. Tapi sayangnya, mereka tidak mau bersusah-susah untuk itu. Tahu bagaimana caranya tetapi tidak mau melakoni usahanya. Ingin hasilnya tetapi takut untuk menjalani prosesnya. Murid-murid yang masuk di kelompok ini umumnya selalu berusaha “melarikan diri” dengan melakukan refreshing sebanyak-banyaknya atau dengan ucapan “santai saja, jangan dibuat ngoyo”. Yang gawat, mereka sering berlindung di balik kata “percaya” dan “iman” bahwa mereka pasti lulus. Percaya dan iman sih memang perlu, tapi kalau tanpa usaha sama sekali ? Bahkan burung-burung di udara yang dipelihara Tuhan pun harus terbang kesana kemari dan berusaha keras untuk mendapatkan makanan kan ? Yang jelas, setahuku Tuhan tidak pernah memberikan makanan untuk burung-burung langsung dari langit dan sekaligus menyuapkannya ke paruh mereka. Nah lho..!!
Kelompok yang ketiga, adalah mereka yang memilih jadi “suporter”. Artinya mereka adalah kelompok yang mengekor apapun hasil yang didapat “pemain”. Dengan kata lain mereka yang di kelompok ini cenderung bergantung pada teman-temannya yang jadi “pemain”. Syukur-syukur “pemain” menang, sehingga mereka pun ikut menang. Mereka menanti limpahan jawaban sebagai bentuk “kemurahan hati” dan “belas kasihan”. Otomatis, bagi kelompok ini posisi tempat duduk di waktu ujian menjadi penentu keberhasilan mereka. Kalau dapat tempat duduk dekat si bintang kelas, mereka ibarat duduk di kursi VVIP. Yah, sial-sialnya dapat tempat duduk kelas festival alias dekat dengan anak yang niat meski tidak pintar-pintar amat. Seenggak-enggaknya bisa dapat jawaban meski belum tentu benar.
Yang terakhir, sebuah pertandingan olahraga biasanya tidak lepas dari pertaruhan atau judi. Nah, kelompok petaruh ini biasanya menempuh banyak cara yang umumnya tidak jujur. Yang penting menang. Mereka tahu bahwa UN itu adalah “final” yang harus dimenangi. Tapi mereka juga tidak yakin diri mereka mampu untuk memenanginya dengan jujur. Akhirnya mereka menggunakan semua sumber daya terutama ekonomi yang mereka miliki. Berusaha kesana kemari mendapatkan dan membeli bocoran dengan harga yang kadang tidak masuk akal dibanding dengan kadar kebenarannya, atau memberikan imbalan uang pada teman yang mau memberikan jawaban. Mereka yang masuk kelompok ini bahkan tidak hanya mereka yang memang mampu secara finansial, tetapi mereka juga yang keuangannya pas-pasan. Jual handphone sampai korupsi uang spp pun terpaksa dilakoni demi menempuh jalur “petaruh” ini.
Pertanyaannya, kira-kira dari empat kelompok tadi mana yang paling besar persentase keberhasilannya ? Wallahualam..Susah untuk dipastikan !! Ujung-ujungnya semuanya kembali pada rahasia dan kemurahan hati Sang Khalik. Banyak cerita bahwa anak pintar belum tentu lulus UN, sebaliknya anak bodoh belum tentu tidak lulus UN. Hebatnya, semua murid-murid aku menyadari hal itu..!! Mereka tahu bahwa selalu ada faktor x yang tidak bisa diprediksi, dan itu jadi wilayah Tuhan. Jadinya selain mempraktekkan cara-cara di atas, mereka juga beramai-ramai mencari Tuhan. Yang biasanya cuma nongkrong di masjid, menjelang UN mulailah mereka sholat tahajud. Yang biasanya ke gereja kalau sempat, menjelang UN mereka nyempet-nyempetin diri ke gereja. Yang biasanya sebelum makan saja emoh berdoa, menjelang UN sebelum dan sesudah makan pun berdoa. Kalau mereka yang termasuk kelompok “pemain” sih agaknya memang sudah pas dan wajar kalau selain berusaha mereka juga berdoa. Lah kalau kelompok “komentator”, “suporter” dan “petaruh” ?Agaknya dialog berikut bisa menggambarkan jawabannya. “Tuhan kan melarang kita berbuat yang tidak jujur. Lha kamu mau berbuat curang, terus ngapain kamu berdoa ? itu kan aneh ?” tanya si Paidi pada Darmo. Darmo menjawab “lho, curang itu kan tergantung dari mana kita melihatnya. Kalau buat aku itu bentuk kreativitas dan usaha supaya berhasil. Makanya minta ijin sama Tuhan, seenggak-nggaknya biar nggak ketahuan sama pengawas..”. Itulah realitas kita, berbuat salah pun masih mencari pembelaan dan pembenaran. Jangan-jangan jika karena curang terus kemudian mereka lulus, itu pun dianggap sebagai kewajaran ? Wah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya mereka setelah lulus UN nanti. Jadi rajawali, atau sekedar emprit ?? (ydk)
Selengkapnya...
Guru Kagok
Guru kelas XII dan X ??What ?? Itu reaksi pertamaku kala diminta mengajar sosiologi di sebuah SMA swasta di kota Salatiga tepat 6 bulan setelah lulus kuliah. Asal tahu saja, sekolah dimana aku mengajar terkenal di seantero kota sebagai sekolah yang murid-muridnya ndableg meski juga terkenal elite dan mampu dari segi ekonomi. Karuan saja muncul ketakutan di pikiranku terutama soal mengajar kelas XII. Kalau mengajar kelas X sih masih bisa diterima lah, toh aku dan mereka sama-sama “orang baru”, setidak-tidaknya masih punya modal wibawa jadi guru. Tapi kelas XII? Mereka kan sudah lebih “senior” daripada aku di sekolah itu. Tambahan lagi, aku tidak punya modal teknik mengajar sama sekali (kuliah aku S1 sosiologi dari FISIP bukan kuliah pendidikan) plus usia yang cuma terpaut 5 tahun dari rata-rata usia mereka. Secara fisik pun, banyak orang bilang kalau aku pakai seragam SMA masih pantes ditunjang dengan perawakan yang cungkring habiss...Makanya, hari pertama mengajar jadi “tanggal merah” yang sukses memaksaku melakukan sesuatu yang sudah amat jarang aku lakukan saat itu...Berdoa dan berpuasa..!!Hahaha...
Nah, “akhirnya datang juga” (bukan promosi acara tv lho..) hari pertama mengajar di kelas XII. Persis seperti tentara yang mau maju perang, segala kemungkinan juga sudah aku siapkan. Kalau tentara bersiap dengan senjata isi peluru, aku juga bersiap dengan senjata kata-kata kalau-kalau murid-murid itu menembaki aku dengan peluru cibiran plus berondongan kata-kata pedas. Pikirku, pengalaman jadi anak IPS semasa SMA bisa jadi modal buat menghadapi mereka. Mungkin secara psikologis ada kesamaan, meski toh rasa gugup juga tetap setia menemani hari itu.
Dan benar saja, cuma satu kata yang bisa dipakai buat menggambarkan situasi kelas saat itu...Gila !! Perawakan mereka yang “gede-gede” (mungkin itu indikasi perbaikan gizi anak Indonesia) awalnya membuatku agak gentar. Lagipula nampaknya mereka bukan hanya “biang ribut”, tapi sudah pada taraf “ahli ribut”. Aku ngomong dua kata, mereka ngomong empat kata. Aku ngomong satu kalimat, mereka ngomong satu paragraf. Pokoknya, mirip dengan konsep kelipatan di matematika. Bayangkan jika aku ngomong satu alinea, jangan-jangan mereka akan menyahut dengan omongan satu novel..wah!! Kritisnya bukan main, persis seperti yang disampaikan kepala sekolah tentang karakter anak-anak kelas XII IPS. Apalagi nampaknya mereka pikir sosiologi bukan pelajaran yang menarik, entah karena memang sudah antipati atau karena sosiologi yang mereka terima sebelumnya memang terasa membosankan (soal pengajaran sosiologi yang sering dianggap membosankan ini akan diulas di tulisan lain). Yang paling “menyakitkan”, fisikku yang junkies ini membuat mereka menyebut dan menarik kesimpulan bahwa aku ini seorang “pemakai” !! Yah, meski aku juga bukan orang yang “bener”, tapi satu kenakalan yang sama sekali tidak pernah aku sentuh adalah narkoba. Kontan saja rasa jengkel menyeruak di hati. Tapi entah kenapa, di bagian lain hati aku mengatakan bahwa ini tantangan yang harus dihadapi. Aku harus bisa “menguasai” mereka..!!
Pikiranku dikuasai kesadaran bahwa aku harus segera menemukan cara untuk menaklukkan mereka. Prosesor inti di otak pun segera mengolah data meski memori RAM dan memori harddisknya terbatas. Beruntunglah aku karena tidak pernah ada virus brontok atau worm yang bisa menyerang otak manusia. Sampai akhirnya muncul teori Weber tentang “empati” dan teori Gramsci tentang “hegemoni” yang dulu aku pelajari semasa kuliah. Dengan empati, maka aku mencoba menempatkan diri di posisi mereka, menyelami pikiran mereka, dan mencari tahu apa yang mereka inginkan dariku. Jika berpikir seperti mereka, aku jadi tahu apa yang mereka mau, dan aku pun bisa merumuskan cara apa yang cocok untuk menangani mereka. Ibaratnya, “pegang ekornya tapi lepaskan kepalanya”. Kuasai mereka tanpa mereka menyadari bahwa mereka dikuasai dan bahkan mereka menyerahkan diri untuk dikuasai. Itulah konsep hegemoni yang diungkap Gramsci. Maka kemudian aku katakan pada mereka bahwa di kelasku setiap orang tidak hanya punya kebebasan, tapi juga tanggungjawab masing-masing. Bagiku lebih menyenangkan “santai tapi serius” daripada “serius tapi santai”. Artinya aku membebaskan mereka untuk menikmati pelajaran dengan cara mereka. Jika merasa nyaman mengerjakan soal dengan mendengarkan musik, maka lakukanlah itu. Jika merasa haus atau mengantuk, maka mereka boleh keluar sejenak untuk minum ataupun cuci muka. Tetapi aku pun memberikan batasan-batasan yang harus mereka ikuti. Aku katakan pada mereka bahwa setiap pilihan dan tindakan mengandung konsekuensinya masing-masing. Misalnya mereka boleh protes dan mengkritik, tapi mereka juga harus bisa konsekuen dengan apa yang mereka kritisi dan ucapkan. Setiap pertanyaan dan sanggahan yang diajukan hendaknya dilakukan untuk membangun bukan menjatuhkan. Prinsip demokrasi menjadi landasan utama di kelas. Murid punya hak untuk salah, demikian juga guru tidak selalu benar.
Di luar dugaan, mereka mendengarkan aku. Tapi yang namanya ndableg, setelah itu mereka beramai-ramai mengangkat tangan dan mengatakan “pak, haus, beli minum sebentar ya ?”, “pak, ngantuk, ke belakang ya ?”, dan ini yang paling parah “pak, capek habis olahraga, boleh lesehan dan berbaring di lantai sebentar ?” Yah, masak mau menjilat ludah sendiri, akhirnya aku ijinkan dengan catatan kalau aku bilang “kita mulai” semua harus fokus pada pelajaran. “Sipplah pak” jawab mereka dengan senyum yang seolah-olah sudah menang. “Sialan” batinku, dikerjai murid sendiri di hari pertama mengajar. (ydk)
Selengkapnya...