Tuesday, January 11, 2011

Percaya atau Tidak Percaya ??


“to be trusted is a greater compliment than being loved” – George MacDonald
Ya, mempercayai jauh lebih sulit daripada mencintai, dan menjadi dipercaya jauh lebih sulit daripada dicintai. Bukankah percaya itu bagian dari cinta ?? Lalu apa masalahnya ?? Realitasnya, lebih mudah bagi kita mengatakan “saya mencintai kamu” daripada “saya percaya kamu”, bukankah begitu ?? Sebagai manusia, kita mudah simpati, suka bahkan cinta dengan seseorang, tapi untuk percaya ?? Nanti dulu..

Orang bilang bisa terjadi cinta pada pandangan pertama, tapi percaya pada pandangan pertama, bisakah ?? hahaha, akan sangat luar biasa jika anda mampu melakukannya,karena benar bahwa percaya tidak semudah membalik telapak tangan. Ada dua unsur di dalamnya, yakni proses dan waktu. Proses itu akan terlihat jika seseorang melakukan sesuatu atau banyak hal yang menunjukkan bahwa dia teguh dan mampu dipercaya melewati momen-momen tertentu. Sementara waktu akan menjadi ujian dimana kepercayaan itu dibangun di dalam rentangan waktu yang tidak hanya sekejap. Well, saya tidak akan membahas bagaimana alur kepercayaan itu dibangun, karena jawabannya tergantung dari persepsi dan situasi anda masing-masing. Saya hanya ingin mengajak anda berefleksi, bahwa kepercayaan itu bagai pedang bermata dua, memiliki dua sisi yang bisa mengangkat sekaligus menjatuhkan, membangun sekaligus menghancurkan.
Jika kita memiliki kepercayaan pada seseorang atau sesuatu, maka kita akan menjadi orang yang menutup mata dan telinga dari hal-hal yang bisa menghancurkan kepercayaan itu, baik itu berasal dari orang lain atau diri kita sendiri. Orang lain punya persepsi sendiri terhadap apa yang kita percaya, mereka memiliki tendensi, pikiran bahkan tuduhan yang mungkin saja menggoyahkan kepercayaan kita itu. Sementara kemudian jika di hati kita mulai muncul pertanyaan-pertanyaan dan keraguan-keraguan, pikiran kita mulai menerka-nerka, hingga menyelidik penuh curiga, maka itu artinya kepercayaan kita mulai terkikis pelan-pelan oleh diri kita sendiri. Saya memberi contoh ketika seorang istri percaya pada suaminya yang kerap bekerja hingga larut malam, maka ia akan menghadapi tantangan berupa persepsi orang lain yang kebanyakan negatif tentang suaminya, sehingga kemudian ia mulai merangkai adegan-adegan negatif dalam bayangannya sendiri didasarkan pada ketakutan-ketakutan akan hal-hal tersebut. Hal ini juga berlaku pada kepercayaan kita terhadap sosok Tuhan, kekuatiran dan ketidakmampuan kita memahami caraNya akan membuat kita ragu akan keberadaanNya.
Maka ketika kita percaya, adalah baik kita menjadi buta dan tuli. Dengan kata lain kita fokus pada kepercayaan kita itu, bahwa percaya artinya yakin tanpa tendensi dan ketakutan apalagi kecurigaan. Jangan biarkan pikiran-pikiran negatif itu mempengaruhi penilaian kita karena kita yang mengenal dan mempunyai pengalaman bersama dengan orang tersebut. Kepercayaan itu akan berbalas kebaikan ketika orang yang kita percaya merasa dipercayai, sehingga ia akan cenderung berhati-hati untuk menjaga kepercayaan itu. Semoga,,karena idealnya begitu hahaha :-)
Sebaliknya jika kita sudah tidak percaya, maka bersiap-siaplah menghadapi berbagai kemungkinan yang tidak mengenakkan. Sekalipun seseorang melakukan kebenaran, maka tidak akan ada gunanya karena di mata kita yang ada adalah pikiran-pikiran curiga dan negatif tentangnya. Ketakutan dan kecurigaan itu akan senantiasa membayangi hidup kita. Dan saya jamin tidaklah mengenakkan jika hidup dengan pikiran-pikiran negatif, ketakutan atau kecurigaan dengan orang lain. Pikiran-pikiran itu lambat laun akan membuat kita frustasi, tanpa kita sadari kita akan kehilangan sifat asli dan jati diri kita. Yang ada setiap langkah kita akan dikendalikan oleh kemarahan yang dipicu oleh ketakutan, kecurigaan dan bayangan-bayangan negatif itu. Ketenangan hidup lama-lama akan menjauh dari kita, dan pelan-pelan bahkan akan membuat kita kehilangan banyak hal yang kita anggap berharga, atau yang terekstrim akan juga membawa kehancuran bagi kita.
Jika kita menjadi orang yang dipercaya, maka tantangan kita adalah untuk menjaga kepercayaan itu, sekalipun kita jatuh, tapi kebangkitan adalah sebuah keharusan. Karenanya ketika kita tidak dipercaya, kita punya tanggungjawab untuk membuktikan diri..itu yang susah kan ??
Nah, tidak percaya membuat hidup kita tidak tenang, meski di satu sisi kita aman karena kita tidak menghadapi banyak resiko. Tetapi pondasi sosial kita lemah karena bagaimanapun hubungan horisontal dan vertikal membutuhkan timbal balik dalam bentuk kepercayaan. Sebaliknya, percaya membuat kita menjadi kuat sekaligus lemah. Percaya membuat kita mempunyai harapan, sandaran dan kekuatan. Sementara juga ketika kita percaya maka itu berarti kita mempunyai peluang untuk terluka, kecewa maupun mengalami kepahitan ketika kepercayaan itu rusak. So, manakah yang anda pilih, percaya atau tidak percaya ?? (ydk)
Selengkapnya...

Wednesday, December 8, 2010

"Sesuatu" Yang Membuat Saya Kembali..


“Sadarkah kita terbawa arus dunia, nilai kehidupan seakan terlupakan..kekayaan tahta keangkuhan perlahan jauhkan kita manusia dariNya Sang Pencipta..” (Kembali by GMB)
Apa kabar sahabat bloggers ?? Sekian lama kita tidak bersua..Tentu saja saya punya cerita hasil dari “mati suri” saya selama ini :). Berhubungan dengan sepenggal lagu di atas ?? Tentu saja !! Kata demi kata dari lagu itu perlahan-lahan membangkitkan “sesuatu” yang telah lama terkubur di dasar hati saya. “Sesuatu” itu selama ini saya kubur hidup-hidup. Tujuannya sederhana, agar ia mati, entah cepat atau lambat. Saya menggantinya dengan apa yang dianggap oleh setiap manusia sebagai kewajaran dunia. Kesuksesan, karir yang menanjak, uang, dan tentu saja wanita. Bagi saya, ambisi untuk mencapai semua itu jauh lebih penting dari apa yang sudah tersedia dan apa yang sudah ada. Saya meletakkan ego pribadi di atas segala-galanya. Saya membuang segala yang berharga yang sudah saya punya selama ini. Sahabat-sahabat terbaik, pendamping yang setia dan tentu saja Tuhan Sang Pencipta. Saya melupakan itu semua, termasuk juga melupakan keinginan menulis dan menyapa anda semua. Hingga akhirnya blog ini tentu saja menjadi sangat ditelantarkan (bahkan mungkin lebih tepatnya dimatikan hehehe..).
Nah, apa yang saya dapat ?? Sebagaimana manusia pada umumnya, saya ingin semua berjalan lancar. Karir sukses, uang di tangan dan tentu saja dipuja banyak wanita. Awalnya terasa indah, terasa nikmat, meski jauh di lubuk hati “sesuatu” itu terus berteriak untuk keluar. Di mata orang saya dapatkan kesuksesan, kepercayaan dan nama baik. Saya dapatkan semua kenikmatan yang saya inginkan. Untuk mencapainya bahkan saya rela menyakiti dan “membunuh” banyak orang. Ada banyak hati yang terluka dan saya korbankan begitu saja. Apa peduli saya ?? Yang penting ambisi saya terwujud. Lagipula jelas jika orang lain ada di posisi saya, mereka akan melakukan hal yang sama. Ya, homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi sesamanya, itu pikiran saya.
Seperti halnya jalan tol khas Indonesia, sepertinya kisah saya akan berjalan mulus tanpa hambatan, namun ternyata banyak lubang di perjalanan yang membuat saya terjatuh. Buat saya, kejatuhan itu adalah hal yang biasa. Sesaat saya terpukul, dan “sesuatu” itu seolah memiliki harapan untuk keluar, namun kemudian saya tetap memilih untuk meneruskan ambisi dan kenakalan saya, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Sampai akhirnya saya sadar bahwa pijakan jalan yang saya lalui selama ini goyah !!
Saya mencoba menyelidiki apa yang salah dengan pijakan saya. Dan jawabannya sederhana, pondasi dari apa yang saya bangun itu ternyata adalah air, lebih tepatnya air mata !! Ya, air mata dari apa yang telah saya buang selama ini, air mata dari mereka yang telah tersakiti selama ini, air mata dari mereka yang saya korbankan selama ini. Saat tersadar, sepertinya semua terlambat. Saya sudah terlanjur tenggelam. Apa yang saya perjuangkan selama ini tidaklah mampu menolong saya, mereka yang saya anggap sahabat meninggalkan saya, dan yang saya pikir saya cintai mengkhianati saya. Bodohnya saya, berpikir bahwa orang yang dekat pada saya saat saya sukses dipenuhi dengan ketulusan. Itu fenomena umum manusia, jadi berhati-hatilah jika anda saat ini sedang sukses atau menanjak, salah-salah anda bisa bernasib seperti saya.
Saat hampir habis detak jantung saya, “sesuatu” yang terkubur itu muncul. Air rupanya mendesak barikade yang saya pasang untuknya dan memberinya jalan untuk keluar. “Sesuatu” itu mengangkat saya, membawa saya menepi dari kepayahan saya. Ia membersihkan luka-luka saya, meski tidak langsung menyembuhkan, tapi dia mampu memulihkannya perlahan-lahan secara ajaib. Ia memberi saya mata untuk melihat, telinga untuk mendengar dan hati yang baru untuk merasakannya lagi. Ia membuat saya bersyukur bahwa ternyata saya masih punya harapan. Bahwa ternyata selama ini saya mencari yang indah tanpa menyadari yang saya miliki adalah yang terindah dari yang terindah. Ia memberi saya perspektif yang berbeda dan tekad untuk membangun kehidupan saya lagi. Dan disinilah saya bersama anda. Mencoba untuk membangun dari reruntuhan nampaknya hanya akan membuat saya terjebak pada masa lalu dan kenangan-kenangan yang menyakitkan. Jadi lebih baik saya membangun yang baru dengan bahan-bahan yang baru pula, bersama anda dan semua orang yang ketulusannya telah menguatkan saya.
“Sesuatu” itu membuat saya kembali,,”Sesuatu” itu adalah..NURANI..(ydk)
Selengkapnya...

Monday, November 9, 2009

Eittss...Sosiologi bukan Hapalan Lho...


Suatu ketika, sesudah saya membagikan hasil evaluasi (ulangan) pada siswa, seorang siswa mendatangi saya di kantor. Ia datang sambil membawa dua lembar kertas. Rupa-rupanya ia ingin mempertanyakan nilainya. Ia berkata “pak, kok nilai saya untuk soal-soal ini hanya segini, padahal saya menjawabnya sama persis dengan apa yang ada di buku dan catatan, sedangkan teman saya ini jawabannya tidak sama dengan catatan, kenapa nilainya bisa lebih baik dari saya ?”. Saya memperhatikannya sejenak, kemudian saya bertanya “fokus permasalahan Sosiologi itu intinya mengenai apa ?”. Ia menjawab “interaksi dan realitas sosial di masyarakat pak”. “Lalu, apa yang saya mau kamu lakukan dengan interaksi dan realitas sosial itu ?” tanya saya lagi. Anak yang secara akademik terkenal pintar di kelas itu menjawab lagi “menganalisa pak”. “Nah itu dia, analisa membutuhkan ketajaman nalar, logika, pemahaman konsep, dan argumentasi, bukan pengetahuan yang sama persis dengan buku atau catatan. Jadi maaf saja, Sosiologi bukan hapalan “sahut saya sambil tersenyum.

Di kalangan pelajar, Sosiologi kerap menjadi mata pelajaran yang membosankan. Siswa dituntut untuk menghapal materi dan teori-teori tanpa mereka memahami apa yang sesungguhnya menjadi “roh” dari ilmu Sosiologi. Pada akhirnya, Sosiologi menjadi pelajaran yang kurang populer di mata siswa. Bahkan ada stigma yang menyamakan Sosiologi dengan PPKn, agama, sejarah, ataupun pendidikan moral. Hal itu tidak sepenuhnya salah, karena di dalam Sosiologi memang terkandung hal-hal yang bersinggungan dengan PPKn, agama, sejarah, ataupun moral. Namun sekali lagi, Sosiologi tidaklah sama dan serupa dengan bidang-bidang ilmu tersebut. Logikanya, jika sama dengan PPKn, agama, sejarah, atau pendidikan moral dan budi pekerti, buat apa ada ilmu yang bernama “Sosiologi” ? Ya to ?

Ketika pertama kali Auguste Comte memproklamirkan Sosiologi sebagai ilmu, ia berpijak pada ketertarikannya pada pergerakan struktur masyarakat yang tidak ubahnya sebuah sistem organisme hidup. Ia melihat bahwa pergerakan itu pada akhirnya mampu membentuk sebuah pola-pola tertentu. Ketika ada pola yang jelas, maka secara ilmiah sesuatu hal bisa dianalisa. Karena ada pola tertentu yang bisa dilihat dan diperkirakan itulah, maka Comte memandang perlu ada ilmu tersendiri yang mempelajari masyarakat. Dari situlah kemudian lahir ilmu yang kita kenal sebagai “Sosiologi”. Dan nampak-nampaknya ilmu ala Comte ini menarik para ahli untuk berbicara dan berdebat lebih dalam mengenai masyarakat serta ilmu Sosiologi sendiri. Hingga kita kenal tokoh-tokoh Sosiologi dengan bermacam aliran pemikiran seperti Max Weber, Karl Marx, Frederick Engels, Emile Durkheim, Herbert Spencer, Peter Berger, dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh tersebut mewarnai perkembangan Sosiologi untuk menjadi ilmu yang mandiri dan memiliki ciri khas.

Pertanyaannya adalah, apa yang sebetulnya menjadi ciri khas objek dan kajian dari Sosiologi ? Bukankah sudah banyak ilmu yang berbicara dan bersinggungan dengan masyarakat ? Ekonomi tidak bisa lepas dari masyarakat, Sejarah tidak bisa lepas dari masyarakat, Agama tidak bisa lepas dari masyarakat, bahkan sudah ada Psikologi yang lebih spesifik membahas tentang manusia sebagai bagian inti dari masyarakat. Lalu apa yang membedakan Sosiologi dengan bidang ilmu yang lain ? Soerjono Soekanto, seorang tokoh Sosiologi Indonesia mengatakan bahwa Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat secara keseluruhan melalui hubungan individu-individu yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Jadi intinya, keistimewaan Sosiologi terletak pada interaksi antar manusia sebagai fokusnya. Interaksi sosial adalah objek ilmu yang menjadi ciri khas dalam Sosiologi. Sehingga tidak heran jika wilayah garapan Sosiologi bisa melebar hingga bersentuhan dengan ilmu-ilmu yang lain, karena yang namanya interaksi sosial selalu terjadi dalam segala aspek kehidupan. Maka jika saya ditanya apa itu Sosiologi, saya akan menjawab Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat dengan interaksi sosial sebagai objek kajian utamanya.

Nah, apa yang harus kita lakukan supaya kita mudah untuk menikmati dan mempelajari Sosiologi ? Langkah-langkah berikut ada baiknya untuk kita terapkan :

1.Jangan menghapalkan materi tetapi biasakan untuk memahami materi !! Tidak perlu kita berkomat-kamit sehari semalam untuk menghapalkan materi. Biasakan untuk memahami inti dan ciri khas dari sebuah konsep. Jika perlu berikan definisi pada konsep tersebut sesuai pemahaman kita sendiri dan dengn kalimat kita sendiri, asalkan tidak melenceng dari makna intinya. Jika kita sudah paham, maka materi dan konsep tersebut akan lebih melekat di memori kita.
2.Berusahalah menemukan hubungan-hubungan antar konsep dalam materi Sosiologi. Karena semua konsep dalam Sosiologi saling berhubungan satu sama lain. Salah satu caranya adalah dengan membuat peta konsep atau skema hubungan.
3.Teliti baik-baik setiap kalimat dalam konsep Sosiologi. Jangan terburu-buru, karena terkadang hal kecil yang kita lewatkan bisa sangat berarti besar.
4.Cobalah melihat realitas sosial tidak hanya dari satu sudut pandang saja. Arahkan pikiran kita pada perspektif dunia yang luas. Ibaratnya jangan pakai kacamata kuda dalam melihat realitas sosial. Hal ini akan membantu kita dalam menganalisa dan membuat kesimpulan.
5.Biasakan untuk tidak mudah percaya pada “filsafat katanya”. Punyai data, bukti dan informasi sebelum kita menganalisa dan memberikan argumentasi atas sebuah realita dan fenomena sosial.
6.Jangan melihat masyarakat dan manusia sebagai unit yang terpisah. Pahami bahwa perilaku masyarakat mempengaruhi perilaku manusia, sebaliknya perilaku manusia juga mempengaruhi perilaku masyarakat. Bahasa kerennya, individu selalu berada dalam konteks sosial, dan fenomena sosial selalu berada dalam konteks global.
7.Jangan terjebak untuk menggunakan standar moralitas dalam memberikan penilaian pada suatu realitas sosial, meski kita hisup dalam standar itu. Ingat bahwa Sosiologi mempunyai posisi sebagai “pengamat” bukan “eksekutor”. Artinya bahwa Sosiologi mempunyai bagian untuk memandang dan menganalisa suatu realita dan fenomena, bukan memberikan penilaian benar dan salah. Prinsip dasarnya adalah SOSIOLOGI MEMAHAMI DAN BUKAN MENGHAKIMI.

Sehingga kemudian jika kita mempelajari Sosiologi, tugas kita bukanlah menghapalkan teori ataupun materi. Tetapi mempertemukan teori itu dengan kenyataan dan realitas sosial di masyarakat. Dengan kata lain, kita menggunakan teori-teori itu sebagai “pisau” untuk menganalisa dan membedah sebuah realitas sosial. Bukan untuk menghakimi realitas sosial itu, tetapi untuk memahaminya secara utuh. Jadi sekali lagi kesimpulannya, Sosiologi bukan pelajaran hapalan !! (ydk@0209)


Selengkapnya...

Friday, May 8, 2009

Pentingnya Bimbingan Konseling untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan di Indonesia


Pendahuluan
Pendidikan adalah salah satu pijakan penting dalam kehidupan, baik dalam lingkup kehidupan personal maupun sosial. Hal ini juga disadari sepenuhnya oelh para founding father negara kita. Kesadaran tersebut diwujudkan dalam pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45), yang meneguhkan pentingnya pendidikan bagi setiap pribadi yang hidup di bumi pertiwi. Sudah 63 tahun berlalu sejak cita-cita pendidikan Indonesia dirumuskan, bagaimana kondisi kekinian pendidikan Indonesia ? Jika kita melihat dengan kacamata objektivitas, maka akan muncul satu kesimpulan bahwa pendidikan di Indonesia belumlah optimal dan masih sangat jauh dari yang diharapkan oleh para founding father negara ini. Wim Tangkilisan, pemimpin umum harian ”Suara Pembaruan” dalam tulisannya di http://www.koranindonesia.com/ menyajikan beberapa data statistik mengenai pendidikan Indonesia. Di antaranya laporan United Nation Educational, Scientific, and Cultural (UNESC), November 2007, yang menyebutkan, bahwa peringkat Indonesia di bidang pendidikan turun dari 58 ke 62. Selain itu, daya saing Indonesia menurut World Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7. Hal ini sebetulnya menunjukkan indikasi adanya ketertinggalan pendidikan kita dari pendidikan negara-negara lain, baik di kawasan regional maupun di kawasan global. Bahkan secara khusus Bank Dunia (World Bank) mempublikasikan laporan mengenai adanya peningkatan kuantitas pendidikan dan anak yang bersekolah di Indonesia, namun tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan (http://siteresources.worldbank.org). Kualitas pendidikan tersebut di antaranya dinilai dari daya saing manusia Indonesia, seperti yang dipaparkan di atas. Sehingga, meskipun banyak di antara anak negeri kerap memenangi berbagai ajang olimpiade akademik, juga banyak di antara anak negeri yang mempunyai posisi penting di beberapa perusahaan global, tetapi prestasi tersebut lebih disebabkan karena faktor individual, bukan hasil dari program yang dijalankan secara nasional.
Secara faktual, tujuan pendidikan Indonesia sering dibiaskan seturut dengan pandangan umum; demi mutu keberhasilan akademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai ebtanas murni, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri. Satu hal yang sering dilupakan adalah proses pembentukan pribadi, proses pendampingan pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian (cura personalis) siswa (Kartono,2007). Akibatnya adalah banyak penilaian yang menganggap bahwa secara hard skills siswa Indonesia tidak kalah dengan negara lain, tetapi secara soft skills (di antaranya EQ, karakter, kedisiplinan, semangat juang, dsb), siswa Indonesia masih harus banyak belajar dari negara-negara lain. Mengingat proses pembentukan, pendampingan, dan pemeliharaan pribadi, terutama di sekolah, adalah bagian dari peran bimbingan dan konseling, maka perlu disadari bahwa sebetulnya bimbingan dan konseling memegang peran yang cukup menentukan dalam peningkatan kualitas pendidikan di sekolah, dan tentu saja berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Dari sini kemudian muncul satu pertanyaan mendasar, dalam hal apakah dan bagaimanakah bimbingan konseling berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan ? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah yang menjadi pokok utama dalam makalah ini. Namun sebelumnya perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep bimbingan konseling dan penerapannya di sekolah Indonesia secara faktual dan aktual pada masa kini.

Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Shertzer dan Stone (1981) mengemukakan bahwa bimbingan (guidance) adalah suatu proses membantu orang-perseorangan untuk memahami dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya (Winkel, 2005: 1). Dalam kerangka ini, maka bimbingan bisa diartikan sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku (Prayitno, 2004: 99). Senada dengan itu, Djumhur dan Moh. Surya (1975:15), berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat. Definisi bimbingan di atas dideskripsikan Moegiadi (1970) dalam beberapa bentuk kegiatan berikut (Winkel, 2005: 29), yakni : (1) suatu usaha untuk melengkapi individu dengan pengetahuan, pengalaman dan informasi tentang dirinya sendiri, (2) suatu cara untuk memberikan bantuan kepada individu untuk memahami dan mempergunakan secara efisien dan efektif segala kesempatan yang dimiliki untuk perkembangan pribadinya, (3) sejenis pelayanan kepada individu-individu agar mereka dapat menentukan pilihan, menetapkan tujuan dengan tepat dan menyusun rencana yang realistis, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan memuaskan diri dalam lingkungan dimana mereka hidup, (4) suatu proses pemberian bantuan atau pertolongan kepada individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan dari lingkungannya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa bimbingan adalah kegiatan yang pada pokoknya memberikan bantuan pada individu untuk menentukan arah, menemukan jalan ataupun mengambil keputusan bagi dirinya sesuai dengan apa yang diidealkan baik oleh dirinya sendiri maupun oleh lingkungannya.
Sedangkan konseling (counseling) didefinisikan oleh Prayitno dan Erman Amti sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien atau konseli) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien (2004: 105). Senada dengan itu, Mappiare (1984) mendefinisikan konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus (Winkel, 2005: 35). Dari sini kemudian bisa disimpulkan bahwa konseling adalah usaha membantu konseli atau klien dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus yang dihadapinya dan berujung pada pemecahan masalah tersebut. Jika diambil benang merah antara bimbingan (guidance) dan konseling (counseling), maka bisa dikatakan bahwa masing-masing mempunyai peranan yang khas namun saling melengkapi satu sama lain. Bimbingan lebih bersifat membantu secara preventif (menentukan langkah atau mengambil keputusan ke depan untuk menghindari munculnya masalah atau problem), sedangkan konseling merupakan bantuan yang lebih bersifat represif (mengupayakan solusi setelah mengalami masalah atau problem).
Jika dikaitkan dengan implementasi bimbingan konseling dalam institusi pendidikan, bagaimanakah proses bimbingan konseling yang terjadi di sekolah-sekolah ? Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa menjadi sangat beragam dan relatif. Di satu sisi, bisa disebut bimbingan konseling di sekolah dan pendidikan Indonesia sudah terakomodasi dengan baik. Pemerintah melalui UU no 20 th 2003 tentang pendidikan nasional menegaskan pentingnya bimbingan konseling yang tersirat dalam makna pendidikan dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Selain itu, Departemen Pendidiikan juga mengeluarkan petunjuk pelaksanaan bimbingan konseling di sekolah (1994). Hal ini menunjukkan adanya kepedulian pemerintah terhadap implementasi bimbingan konseling di sekolah. Sehingga ketika ada campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan bimbingan konseling di sekolah, bisa dikatakan ada dukungan kuat, karena dalam penerapan bimbingan konseling di sekolah, peran serta pemerintah dan pihak yang berwenang adalah sesuatu yang penting (Tan, 2004: 232).
Akan tetapi, di sisi lain, secara faktual dan aktual, implementasi bimbingan konseling di sekolah belumlah seperti yang diharapkan dan diidealkan. Adanya sasaran utama pencapaian standar akademik semisal ujian nasional ataupun kompetensi kognitif lain, terkadang mengabaikan peranan bimbingan konseling. Bahkan dalam pengalaman penulis, dalam mengejar target kelulusan, ada beberapa sekolah yang meniadakan jam pelajaran untuk bimbingan konseling di kelas. Sementara di lain pihak, ada kecenderungan umum bahwa terjadi kerancuan peran bimbingan konseling di sekolah. Peran pembimbing dan konselor dengan lembaga bimbingan konseling (BK) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi, ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner siswa. Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi label BK di banyak sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai “musuh” bagi siswa bermasalah atau nakal (Kartono,2007). Seolah-olah terjadi dikotomi antara keberhasilan akademik dengan pembentukan kepribadian. Hal ini kemudian menimbulkan kegelisahan tersendiri, karena sebetulnya bimbingan konseling mempunyai peran penting dalam meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri.

Pentingnya Bimbingan Konseling dalam Peningkatan Mutu Pendidikan
Dalam hal apa dan bagaimanakah bimbingan konseling bisa berperan dalam peningkatan mutu pendidikan ? Jawabannya harus dimulai dari tiga hal yang bisa menjadi indikator dari kesuksesan pendidikan itu sendiri, yakni administrasi sekolah, pengajaran dan pembelajaran yang dilakukan, dan tentu saja hasil yang diperoleh oleh siswa. Secara nyata, bimbingan konseling mempunyai kaitan erat dengan ketiga hal ini, sehingga bisa dilihat peran bimbingan konseling dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pertama, kaitan antara bimbingan konseling dengan administrasi sekolah, dimana yang dimaksud dengan administrasi sekolah bukanlah aspek tata usaha, melainkan lebih pada aspek manajerial dan kepemimpinan sekolah. Tan (2004: 232) menyebutkan bahwa kesuksesan bimbingan konseling juga sangat tergantung pada administrasi, kepemimpinan di sekolah, dan seluruh sumber daya yang ada di sekolah. Secara khusus bimbingan konseling dan administrasi sekolah mempunyai hubungan yang bersifat mutualistik. Administrasi sekolah membutuhkan bimbingan konseling dalam hal masukan, saran-saran, dam laporan-laporan yang terutama berkaitan dengan kebutuhan siswa, tujuannya adalah supaya terjadi peningkatan mutu dan layanan yang diberikan pihak sekolah terhadap siswa (Winkel, 2005: 85). Dengan melakukan bimbingan dan konseling pada siswa, pihak BK diharapkan mengerti dan memahami apa yang menjadi kebutuhan siswa secara komperehensif untuk disampaikan pada pihak sekolah. Sedangkan bimbingan konseling juga terutama membutuhkan dukungan dan antusiasme dari pihak administrator sekolah baik dalam segi moral, etika, fasilitas, maupun profesionalitas. Dua kaitan ini sebenarnya mengindikasikan diperlukannya bimbingan konseling dalam hal meningkatkan kualitas layanan sekolah bagi siswa, baik dalam hal pendidikan maupun aspek pelayanan yang lainnya (afektif, psiko-sosial,dsb).
Kedua, kaitan antara bimbingan konseling dengan aspek pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Aspek pengajaran dan pembelajaran di sekolah identik dengan kurikulum yang ada, dimana kemudian tujuannya adalah menyediakan pengalaman belajar bagi siswa. Sedangkan bimbingan konseling membantu siswa untuk meresapi pengalaman belajar tersebut. Dengan kata lain, bidang pengajaran menyajikan pengalaman belajar, sedangkan bimbingan konseling mengajak siswa untuk merefleksikan pengalaman belajar itu dalam konteks personal dan sosialnya (Winkel, 2005: 89). Artinya dengan masukan dari bimbingan konseling, kurikulum bisa menjadi lebih personal bagi siswa. Bimbingan konseling juga dapat membantu peningkatan aspek pengajaran dan pembelajaran dalam hal pengembangan kurikulum (agar sesuai dengan kebutuhan dan kapabilitas siswa) dan juga dalam penentuan penjurusan siswa, terutama agar penjurusan siswa tidak hanya didasarkan pada hasil tes IQ semata, tetapi juga memperhitungkan aspek minat, bakat, psikologis, dan kompetensi siswa.
Ketiga, keterkaitan antara bimbingan konseling dengan siswa. Dimana sesungguhnya, bimbingan konseling punya peran besar dalam meningkatkan kualitas siswa. Hal ini sejalan dengan tujuan utama dari bimbingan dan konseling di sekolah yakni untuk membantu individu (siswa) mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya (seperti: kemampuan dasar dan bakat-bakatnya), berbagai latar belakang yang ada (seperti: latar belakang keluarga, pendidikan, status sosial ekonomi) serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya. Dalam kaitan ini bimbingan dan konseling membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam hidupnya yang memiliki wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian dan keterampilan yang tepat berkenaan dengan diri sendiri dan lingkungannya (Prayitno, 2004: 114). Bimbingan konseling bertugas untuk membantu siswa dalam hal perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis), mengenal diri sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu, serta mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah atau hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup (Kartono, 2007). Dengan mengenal dan memahami siswa secara personal, psikologis maupun sosial, maka bimbingan konseling mengakomodasi keberagaman siswa, serta membantu siswa untuk mengalami pembelajaran yang terkait dan relevan dengan kehidupan mereka, dimana hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang kontekstual (Johnson, 2008: 21). Bimbingan konseling juga membantu siswa menemukan kapabilitas dan kecerdasannya masing-masing tanpa diukur hanya dari IQ sebagai harga mati. Karena di dalam masing-masing siswa setidaknya tersimpan delapan kecerdasan dasar yang bisa dioptimalkan dengan bantuan bimbingan konseling. Kedelapan kecerdasan itu di antaranya kecerdasan linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetis-jasmani, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan kecerdasan naturalis (Armstrong, 2004: 2-4). Bimbingan konseling juga dapat membantu siswa mengatasi permasalahannya dengan melakukan pemeliharaan pribadi dan mewujudkan prinsip keseimbangan. Bimbingan konseling menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa untuk datang membuka diri tanpa waswas akan privacy-nya. Di sana menjadi tempat setiap persoalan diadukan, setiap problem dibantu untuk diuraikan, sekaligus setiap kebanggaan diri diteguhkan. Bahkan orangtua siswa juga dapat mengambil manfaat dari bimbingan konseling di sekolah, dalam rangka untuk lebih mengerti akan pribadi, kebutuhan, dan pergumulan anak mereka (Kartono, 2007).

Kesimpulan
Bimbingan konseling adalah sebuah layanan yang berorientasi pada siswa. Bimbingan konseling berusaha memahami keberadaan dan kebutuhan siswa, serta membantu siswa dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Dari pemahaman akan kebutuhan siswa itulah, maka aspek pendidikan yang lain seperti administrasi dan kurikulum sekolah dibangun. Pijakannya sekali lagi adalah melayani siswa. Bahkan jika kebijakan yang dibuat pemerintah dalam bidang pendidikan juga merujuk pada pemahaman akan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi siswa, maka pendidikan Indonesia akan menjadi pendidikan yang tidak hanya bersifat top down, tetapi lebih bottom up dan berorientasi pada peningkatan kualitas siswa secara menyeluruh dan utuh, baik aspek akademis, psikologis, personal, maupun sosialnya. Jika aspek psikologis, personal dan sosiologis dari siswa bisa terlayani dengan baik, maka akan berimbas pada pencapaian akademik mereka. Namun sekali lagi, hal ini juga bergantung pada sinergi seluruh stakeholder pendidikan, mulai dari pembuat kebijakan, administrator sekolah, guru, dan implementasi dari bimbingan konseling itu sendiri, yang sudah seharusnya tidak menjadi “polisi sekolah” tetapi menjadi “gembala siswa”.

DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Thomas, 2004. Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences dalam Pendidikan. Bandung: Kaifa.
Djumhar dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance & Counseling). Bandung : CV Ilmu.
Johnson, Elaine B, 2006. Contextual Teaching and Learning. Bandung: MLC.
Prayitno, & Erman Amti, 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta.
Tan, Esther, 2004. Counselling in Schools: Theories, Processes dan Techniques. Singapore: McGraw Hill.
Winkel, W.S. & M.M. Sri Hastuti, 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi.
Anonim, 2002. ”Laporan Peningkatan Kualitas Pendidikan”. World Bank (online). Tersedia: http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/
Kartono, ST, 2007. ”Perlunya Bimbingan Konseling”. Didaktika (online). Tersedia: http://qodrat.wordpress.com/2007/10/03/pentingnya-bimbingan-konseling-oleh-st-kartono-dalam-didaktika/
Prayitno. 2008. ”Jenis-jenis Layanan dalam Bimbingan Konseling”. Konselingindonesia (online). Tersedia: http://konselingindonesia.com/
Tangkilisan, Wim, 2008. ” Conscientizacao Paulo Freire dan Mutu Pendidikan Kita”. Suara Pembaruan(online).Tersedia: http://www.koranindonesia.com/2008/10/17/conscientizacao-paulo-freire-dan-mutu-pendidikan-kita/



Selengkapnya...

Friday, February 13, 2009

CiNTa NggAk PerLu DiPiKir !!


Jatuh cinta…berjuta rasanya…itu katanya Tante..eh Mbah Titik Puspa. Kontan saja kita semua pasti manggut-manggut tanda setuju. Memang kalau lagi jatuh cinta rasanya berapi-api melulu, apalagi pas lagi anget-angetnya jadian, wuiihh...bulan madu terus. Bawaannya lengket kayak perangko. Awal mulanya memang indah, namun bila kita terlena, tanpa kita sadari rasa menggebu-gebu itu semakin lama surut dan semuanya menjadi tak lagi istimewa. Belaian sayang rasanya tak selembut belaian pertama yang kita terima, kecupan lembut rasanya tak seindah kecupan pertama. Semuanya menjadi begitu biasa…bahkan membosankan..Hingga pada akhirnya, orang banyak menggali dan mencari makna cinta. Pencarian akan makna cinta itulah, yang sebenarnya memicu antusiasme kita untuk merayakan hari valentine. Karena kita berpikir, hari valentine bisa menjadi momentum tepat untuk mengingatkan kita akan makna cinta, dan merangsang hati serta pikiran kita untuk terus menerus mengagungkan cinta. Tapi justru disitulah masalahnya, kita terlalu banyak berpikir soal cinta !!

Ketika hari valentine tiba, kita sibuk mempersiapkan segala hal yang terbaik bagi pasangan kita dan orang yang kita kasihi. Entah bagaimanapun caranya, bunga dan coklat menjadi sesuatu yang hukumnya wajib untuk kita berikan. Ucapan selamat dengan beragam untaian kata-kata indah nan puitis adalah sesuatu yang wajib keluar dari bibir kita. Lagu-lagu yang terngiang di telinga pun haruslah lagu-lagu yang lembut, melow dan berkesan romantis. Tidak ketinggalan pula puisi-puisi cinta bernada mesra yang ikut berseliweran melalui sms, surat ataupun email. Hari valentine seakan-akan menjadi hari yang “manis”, dimana setiap orang berpikir keras untuk menyenangkan hati orang yang dikasihinya. Tetapi sekali lagi, disitulah masalahnya, kita terlalu banyak berpikir soal cinta !!

Cinta pada hakekatnya adalah rasa, timbul dari perasaan ingin menyayangi, melindungi, memanjakan, dan memberikan yang terbaik. Artinya setiap orang yang memiliki rasa, maka ia juga memiliki cinta. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya kita tidak perlu mencari makna cinta, kita tidak perlu menggali arti cinta dan kita tidak perlu pula berpikir soal cinta. Mengapa ?? Karena cinta itu adalah kita ! Kita adalah makhluk cinta ! Kita tidak perlu bunga atau coklat untuk menunjukkan cinta yang kita miliki, karena cinta adalah bagian dari hakekat kita sebagai manusia. JIKA KITA INGIN MENUNJUKKAN CINTA, MAKA TUNJUKKANLAH DIRI KITA APA ADANYA !! Cinta yang kita tunjukkan tidak akan menjadi bermakna jika ia hanya disalut oleh topeng-topeng keromantisan yang tidak tulus. Karena dengan demikian, maka cinta yang menggebu-gebu itu hanya akan menjadi sesuatu yang sementara. Itulah mengapa banyak orang merasakan adanya perbedaan rasa cinta mula-mula dengan cinta yang sudah berjalan sekian lama. Karena ia tidak didasari dengan kejujuran dan ketulusan yang apa adanya, namun dibangun di atas pondasi keindahan dan keromantisan yang semu.

Jika ada yang bertanya pada saya tentang makna cinta, maka ini jawaban saya: Cinta adalah suatu wujud keinginan, dalam niat dan tindakan. Cinta harus menjadi sesuatu yang mendasari segala sesuatu, membuat segala sesuatu menjadi ringan dan memberi tanpa mengharapkan balasan. Cinta tidak berkata: "aku mencintaimu karena aku membutuhkanmu”, tetapi cinta berkata: "aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu". Cinta mengubah kekerasan hati menjadi kelembutan hati. Cinta bukan hanya saling memandang satu sama lain, namun bersama-sama melihat pada satu tujuan. Cinta bukanlah sesuatu yang tanpa masalah dan berani mengambil resiko. Cinta melengkapi ketidaksempurnaan yang muncul pada kita dan orang yang kita cintai. Cinta memerintah tanpa pedang dan mengikat tanpa tali. Dan cinta tidak hanya untuk dibayangkan atau dipikirkan, tetapi juga dilakukan.

Kembalikanlah cinta pada makna dan hakekatnya. Yakni rasa yang penuh kejujuran dan ketulusan. Kita tidak perlu merekayasa sesuatu untuk memberikan cinta. Kita tidak perlu bersembunyi di balik kata-kata indah untuk menyatakan cinta. Dan kita juga tidak perlu berpikir bagaimana caranya mencintai. Cinta ada untuk kita lakukan bukan hanya dipikirkan. Cukup menjadi diri kita sebagaimana adanya dan biarkan cinta itu sendiri yang menuntun kita. Cinta adalah bagian dari keistimewaan kita sebagai manusia. Dengan begitu maka cinta kita yang terlihat dan dirasakan orang lain adalah cinta yang jujur, tulus, penuh kesungguhan, dan tanpa rekayasa. Karena sesungguhnya, jika kita memberikan cinta pada orang yang mencintai kita, itu hal yang biasa. Tetapi jika kita memberikan cinta pada orang yang tidak mengenal kita atau bahkan membenci kita, itu hal yang luar biasa. Selamat Hari Valentine 2009.(ydk@0209)

You can Giving without Loving but You can't Loving without Giving

Selengkapnya...

Monday, February 9, 2009

Ada Gosip di Sekolah ?? Hmm...

Gosip ?? Itu konsumsi kita orang Indonesia. Melebihi menu wajib makan tiga kali sehari, acara tentang gosip di televisi bisa muncul lima sampai enam kali sehari. Belum lagi di koran, majalah, internet, sampai tabloid-tabloid yang memasang gosip sebagai jualan utamanya. Hebatnya, hampir semua orang tidak bisa lepas dari “candu” gosip ini. Bahkan orang yang antipati sekalipun, mau tidak mau harus mengkonsumsi gosip agar tidak dicap ketinggalan informasi dan “tidak gaul”. Apalagi mereka yang sudah menganggap gosip bagai “makanan pokok” sehari-hari. Tidak hanya jadi pendengar setia, terkadang mereka juga melakoni peran sebagai pembahas gosip, komentator gosip, atau bahkan penyebar gosip. Gosip bisa masuk ke segala ranah kehidupan. Dari keluarga, perkampungan, perkantoran, sampai sekolah. Gosip di sekolah ?? Hmm...

Wikipedia menulis bahwa gosip mempunyai makna “an idle talk or rumor, especially about the personal or private affairs of others. It forms one of the oldest and most common means of sharing (unproven) facts and views”. Atau bisa diterjemahkan secara bebas sebagai “sebuah pembicaraan mengenai kabar burung atau rumor, terutama mengenai persoalan pribadi seseorang yang bisa jadi menyangkut hubungannya dengan orang lain, dimana kebenarannya kebanyakan tidak dapat dibuktikan dengan fakta. Dalam sosiologi sendiri, gosip dapat digunakan untuk dua maksud. Yang pertama, gosip bisa digunakan untuk “menyerang” lawan ketika kita berada dalam situasi kontravensi (lebih dari persaingan tetapi belum/tidak menjadi konflik terbuka) dengan orang lain. Yang kedua, gosip bisa digunakan sebagai alat pengendalian sosial. Biasanya orang yang digosipin akan lebih berhati-hati dalam bertindak dan bertingkah laku. Disitu peranan gosip sebagai alat pengendalian sosial jadi terlihat jelas.

Dari definisinya dan pengalaman sehari-hari, meski bisa jadi benar, tapi kebanyakan gosip tidak didukung kevalidan data dan fakta. Namun masalahnya, gosip bisa menjadi demikian bombastis dan dramatis sehingga orang akan cenderung menikmatinya bahkan mempercayainya. Nah, di sekolah, gosip macam apa yang biasanya muncul ? Paling umum, gosip tentang guru. Biasanya segala berita tentang guru akan jadi santapan “lezat” bagi obrolan murid-murid. Dari hobi guru, kebiasaan guru, hubungan antar guru, status guru, sampai yang berkaitan dengan urusan cinta dan keluarga pun dibahas dalam “FGM” alias “Forum Gosip Murid” ini. Tapi jangan salah, kadangkala bukan hanya murid yang menggosipkan guru, guru pun juga bisa menggosipkan murid lho hahaha...Kalau guru digosipin, ada dua respon yang muncul. Bisa jadi guru yang bersangkutan akan hati-hati menjaga sikap dan cenderung jaim. Wajar kan, karena gosip tadi memang punya fungsi pengendalian sosial di masyarakat. Bisa jadi pula, guru itu akan cuek saja dan bersikap ndableg, terutama karena mereka sadar itu cuma gosip. Di lain sisi, kalau murid digosipkan oleh guru, biasanya cenderung cuek, bukan karena kebal, tapi lebih karena ketidaktahuan mereka bahwa mereka telah jadi bahan obrolan guru, hahaha...Tapi kalau umpama si murid tahu, dijamin pasti muncul rasa grogi yang kadarnya minta ampun di depan guru.

Gosip di sekolah bisa jadi sesuatu yang menyebalkan bagi pribadi yang menjadi objek gosip itu. Tetapi di sisi lain, yang namanya gosip terkadang bisa jadi bumbu penyedap yang akan membuat dinamika kehidupan sekolah menjadi lebih dan berasa. Entah berasa manis, asin, pahit, atau bahkan berasa rame. Gosip bisa menjadi sesuatu yang mewarnai kehidupan sekolah, asal tentu saja masih dalam batas yang wajar dan tidak merugikan orang lain. Kalau misalnya gosip sudah berubah menjadi fitnah, maka lain urusannya. Harus ada tindakan tegas bila gosip sudah berubah menjadi fitnah. Gosip adalah gosip, biarkan ia terus “mengambang”. Jangan pernah kita mempercayainya seratus persen, tetapi jangan pula kita menolaknya mentah-mentah. Karena gosip terkadang bisa bermetamorfosa menjadi kebenaran. Gosip adalah kabar burung, yang beterbangan dengan liar. Jangan kita menganggap dan merubahnya menjadi kabar ayam, kabar sapi, kabar kambing, atau kabar kuda..

So, langkah apa yang mesti kita lakukan kalau kita tahu kita sedang jadi bahan gosip di sekolah ??
1. PeDe saja, kalau kita digosipin berati kita orang yang istimewa, karena kita mampu menarik minat banyak orang untuk membicarakan kita.
2. Introspeksi diri, jangan-jangan gosip itu benar adanya, atau jangan-jangan kita melakukan kesalahan sehingga orang lain punya alasan untuk “menyerang” kita dengan gosip.
3. Cuek dan bersikap apa adanya, terutama kalau gosip itu tidak benar. Kalaupun benar, tetap saja bersikap cuek dan apa adanya, karena akan membantu kita terlihat “innocent” di depan orang lain haha..
4. Dilarang panik dan emosional !! Kita tidak perlu susah-susah mencari orang yang menyebarkan gosip dan melabraknya. Cukup buktikan dengan tindakan, tingkah laku dan sikap hidup kita. Gosip tidak perlu dilawan dengan emosi, tapi dengan pembuktian diri.
5. Berdoa saja, yakin dan percaya Tuhan akan membuka mata orang-orang akan kebenaran yang kita pertahankan. Syukur-syukur orang yang menggosipkan kita “bertobat” dan “kembali ke jalan yang benar”. Kalo tidak ?? lemah-lemah teles, ben Gusti Allah sing mbales...

Semoga langkah-langkah di atas tidak perlu kita lakukan sama sekali. Karena kalau kita melakukannya, berarti kita sedang digosipin kan ?? Hehe..Tapi sekali-kali digosipin boleh lah, biar kita tahu rasanya jadi artisss, hahaha...(ydk@0209)


Selengkapnya...

Sunday, February 8, 2009

Perubahan Sosial

Berikut adalah materi dan LKS mengenai Perubahan sosial. Download dengan cara mengklik judul di atas dan ikuti langkah selanjutnya. Jangan lupa cantumkan sumbernya dari blog ini ya..thanks.


Selengkapnya...

Friday, February 6, 2009

Mau Sukses Ujian ?? Yang Penting Tenang Bozz...

Suatu ketika di sebuah bengkel kayu, seorang pekerja sedang bertugas memasah balok kayu yang belum dibentuk. Untuk mempermudah pekerjaannya, ia melepas arloji kesayangan yang melingkar di tangannya dan meletakkannya di atas tumpukan kayu. Beberapa saat kemudian secara tidak sengaja pekerja itu menyenggol arlojinya hingga jatuh ke dalam tumpukan kayu. Ia pun bersama kawan-kawannya sesama pekerja beramai-ramai berusaha keras mencari arloji itu selama hampir dua jam, namun mereka tidak dapat menemukannya sama sekali. Hingga akhirnya pekerja itu beserta kawan-kawannya terduduk lelah dan mulai menyerah. Di luar bengkel itu ada seorang anak kecil yang sedang bermain. Ia mendengar keramaian para pekerja yang mencari arloji. Saat mereka lelah dan beristirahat, anak kecil itu memberanikan diri mencari arloji itu, dan hanya dalam waktu kurang dari lima menit ia berhasil menemukan arloji yang terjatuh dalam tumpukan kayu tersebut. Melihat itu para pekerja heran, dan mereka bertanya bagaimana caranya anak kecil itu mampu menemukan arloji yang dicari-cari ? Anak kecil itu menjawab “tidak ada yang istimewa, ketika anda semua beristirahat tadi, di dalam keheningan aku mendengarkan suara detak arloji sehingga aku tahu dimana ia jatuh “.
Tanpa kita sadari, kita sering bersikap seperti para pekerja itu dalam menghadapi segala sesuatu. Ketika kita harus menghadapi tantangan di depan mata, yang muncul di benak kita adalah ketakutan-ketakutan, kekuatiran-kekuatiran, kepanikan, dan segala macam pertimbangan yang berujung pada ketidakyakinan. Akibatnya kita jadi tidak bisa melihat inti sebenarnya dari apa yang kita hadapi dan otomatis kita juga tidak dapat menemukan solusinya. Secara psikologis, kita sering larut dalam tekanan permasalahan sehingga permasalahan itu justru mampu mengaburkan kemampuan kita dalam menghadapinya. Sigmund Freud yang membagi manusia menjadi tiga unsur, yakni “super ego” (unsur tertinggi yang berkaitan dengan pengendalian diri), “ego” (unsur kedua yang berkaitan dengan naluri alami tetapi dalam batas tertentu masih bisa dikendalikan), dan “id”(unsur ketiga yang berkaitan dengan nafsu dan naluri) menganggap bahwa ketika kita panik, maka unsur “id” yang sedang menguasai kita, dan unsur “super ego” menjadi tidak lagi terlihat. Maka kemudian pengendalian diri adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan. Itulah mengapa konsep berdoa, meditasi, berpuasa, atau laku prihatin dalam budaya kita menjadi sangat penting. Tujuannya adalah melatih kita untuk mengendalikan diri dan tenang dalam berbagai situasi.
Jika kita tenang, maka simpul yang rumit akan terlihat jalinannya. Sebaliknya bila kita panik, maka simpul itu akan terlihat seperti gerendel yang tak akan bisa dibuka. Jika kita tenang, kita akan bisa melihat solusi dan hikmat di balik masalah. Jika kita tenang dalam menghadapi ujian, maka soal yang sulit akan membuat kita terpacu untuk mengeluarkan potensi terbaik kita. Dan sebaliknya jika kita panik, tegang, dan nervous, maka soal yang mudah pun justru akan terlihat sulit di mata kita. Milikilah ketenangan dalam segala hal, maka kemenangan akan bersahabat dengan kita. So,mau sukses ujian ?? yang penting tenang bozz..(ydk@2008)


Selengkapnya...

Tuesday, February 3, 2009

Mengejar Kecantikan dengan Pemutih Kulit, Sebuah Wujud Cinderella Complex - by Yudha Kusniyanto, S.Sos

Seorang perempuan muda masuk ke dalam lift, dari permainan bola matanya tampak ia sangat berharap laki-laki di dekatnya melirik padanya. Laki-laki itu digambarkan sebagai pria metroseksual yang ideal. Gelisah bercampur harap mendominasi gerak-gerik sang perempuan. Tak dinyana, harapan tinggal harapan, kulitnya terlalu gelap untuk menarik perhatian sang lelaki. Alhasil, kulitnya yang gelap menempatkannya sebagai perempuan yang “kurang menarik” atau bahkan “tidak diinginkan”. Adegan berikutnya, perempuan tadi mengoleskan krim pemutih yang (katanya) bisa menjadikan kulitnya lebih putih dan bersih. Dan abrakadabra, beberapa minggu kemudian kulitnya menjadi putih.
Dalam pertemuan selanjutnya dengan sang lelaki, bak dongeng, sang lelaki pun dengan sukses meliriknya. Bukan itu saja, sang lelaki jatuh cinta pada sang perempuan yang beberapa minggu sebelumnya bukanlah siapa-siapa di matanya. Perempuan dalam iklan tadi di hadapan sang lelaki memperoleh nilai lebih setelah kulitnya “memutih”. Ia menjadi cantik dan menarik di mata sang lelaki. Dalam versi yang lain, seorang gadis bermain tenis dengan seorang gadis lain yang dikisahkan sebagai kawan karibnya. Si gadis mengamati kawannya itu dengan sorot mata penuh kekaguman. Bukan permainan tenisnya, tetapi lebih pada kulit putihnya yang menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Ada rasa minder dan kurang percaya diri menghinggapinya ketika mendapati kulitnya tidak seputih kawannya. Kemudian, si gadis tadi menggunakan krim kecantikan dengan label “whitening” (memutihkan). Beberapa minggu kemudian, kulit si gadis menjadi putih, ia pun menjadi percaya diri dan berimbas kepada prestasi dalam olahraga (tenis) yang digelutinya. Krim pemutih dalam iklan tersebut menjadi “doping” terampuh untuk mendongkrak kepercayaan diri si gadis yang tadinya merasa “kurang” karena kulitnya yang tidak putih. Artinya, ketika ketika ia putih maka sebagai perempuan ia menjadi “lebih”, ia merasa lebih cantik dan lebih menarik dibandingkan ketika ia kurang putih.
Contoh di atas merupakan genre iklan yang mendominasi slot iklan di media televisi akhir-akhir ini. Kulit putih, adalah komoditi yang ditawarkan lewat iklan tersebut. Ada kesamaan dalam setiap iklan tersebut, yakni bahwa dengan menjadi putih, seorang perempuan akan mempunyai nilai lebih dalam relasinya, bukan hanya dengan lawan jenis (laki-laki), tetapi juga dalam relasi antar perempuan itu sendiri. Dalam iklan-iklan itu, perempuan merasa lebih percaya diri karena ia dikatakan cantik ketika kulitnya putih. Akhirnya, secara eksplisit maupun implisit, kulit putih dideklarasikan sebagai (bagian dari) kecantikan. Dan bahkan lebih ekstrim lagi, bahwa yang cantik itulah yang putih dan yang putih itulah yang cantik. Contoh-contoh iklan di atas (lagi-lagi) berbicara demikian. Tanpa kulit putih sekalipun, secara natural sang model iklan adalah seorang yang cantik dan punya “feromon” tersendiri untuk menggetarkan naluri para lelaki, namun dalam iklan dikisahkan bahwa daya tarik sang model belum cukup menarik perhatian jika ia belum atau tidak putih. Artinya, iklan di atas mengatakan bila kulitnya belum (tidak) putih, ia belum layak untuk disebut “cantik” atau termasuk dalam kategori “cantik”. Pertanyaannya kini, apakah sebetulnya ‘kecantikan’ itu ?

Kecantikan, dari Plato hingga Sigmund Freud

Sulit kiranya bagi banyak orang untuk mendefinisikan kecantikan secara jelas. Apakah kecantikan itu milik Cinderella dan Putri Salju saja ? Bagaimanakah sesungguhnya ukuran mutlak dari kecantikan ? Banyak ahli filsafat dan pemikir berupaya menjawab pertanyaan ini.
Sebagian ahli berpendapat bahwa kecantikan bukan sekedar fisik, namun juga identik dengan kebahagiaan, cinta, kebaikan, hikmat dan kebenaran, serta pengetahuan (Synnott, 1993: 145). Dalam barisan filsuf yang mendukung pendapat ini ada Plato dan Socrates. Plato menegaskan bahwa kecantikan adalah proses pencarian dengan tujuan akhir adalah pengetahuan tentang apa itu kecantikan. Sedangkan Socrates menambahkan bahwa kecantikan adalah penghormatan berdasarkan kekuasaan dan kekuatan cinta .
Sementara itu, filsuf Yunani yang lain, Aristoteles, lebih mendefinisikan kecantikan berdasarkan struktur wajah, yakni yang teratur, simetri, “tertentu” serta proporsional (Synnott, 1993: 147). Pendapat ini diikuti diantaranya oleh para seniman seperti Praksiteles, Leonardo da Vinci, Durer, Vitruvius, dan Le Corbusier. Para seniman ini cenderung menguatkan definisi tersebut karena mereka mengekspresikan kecantikan dalam struktur karya-karya seni mereka. Seperti misalnya lukisan karya Leonardo da Vinci yang sangat terkenal, Monalisa.
Para astrolog pada jaman Renaissance melihat bahwa kecantikan lebih bersifat kosmik dan bersumber dari wajah (Synnott, 1993: 148). Sedangkan para filsuf aliran kristianitas lebih melihat kecantikan dari dua sisi, yakni sisi asketik dan sisi transenden (Synnott, 1993: 152 ; 159). Di kelompok pertama misalnya, ada Plotinos yang berpendapat bahwa kecantikan tercermin dari kebaikan. Di lain pihak, kelompok kedua, seperti misalnya Agustinus berpendapat bahwa kecantikan merefleksikan ALLAH, artinya Agustinus meyakini bahwa kecantikan atau keindahan adalah ALLAH, dan ALLAH adalah kecantikan atau keindahan. Hal ini tidak berbeda dengan khas pemikiran Renaissance yang sepakat bahwa kecantikan fisik disebabkan oleh kecantikan spiritual.
Bertolak belakang dengan itu, Sigmund Freud secara lugas menyatakan bahwa kecantikan identik dengan seksualitas, berakar di dalam kesenangan seksual, dan maknanya yang orisinil adalah “dirangsang secara seksual” (Synnott, 1993: 171). Freud tidak mengada-ada dalam merumuskan hal itu. Ia berangkat dari pemikiran dasar bahwa kecantikan hanya ada di dalam pikiran manusia. Pikiran tersebut menuntun manusia pada naluri alaminya, yakni kebutuhan akan seksualitas. Sebagai contoh, bila seorang laki-laki melihat seorang perempuan yang dianggapnya cantik, pikirannya akan mengasosiasikan diri untuk memiliki perempuan tersebut, dan naluri alaminya akan memunculkan keinginan untuk berhubungan seksual dengan perempuan tersebut. Sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa organ seksual manusia yang paling ampuh adalah pikiran manusia itu sendiri.
Kebanyakan filsuf dan pemikir diatas memiliki satu kesamaan dalam melukiskan kecantikan. Yakni kecantikan hanya dapat dirasakan oleh subjektivitas orang per orang. Dan subjektivitas itu bisa berbeda-beda dalam melukiskan kecantikan. Karena apa yang dilihat, dipikirkan, ataupun dirasakan oleh orang per orang tentu saja berbeda. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan pandangan Saussure (Berger, 2000: 12) maka kecantikan tak ubahnya semacam tanda yang mempunyai hubungan arbitrer (bebas) antara penanda dan petandanya.

Putih sebagai Simbol Kecantikan yang Dikonstruksikan
Jika para filsuf mengatakan bahwa makna kecantikan merupakan subjektivitas masing-masing individu, maka kecantikan itu lebih pada “rasa”. Namun kini kaum perempuan percaya pada konsep baru, bahwa kecantikan dapat dimiliki oleh setiap perempuan dengan penggunaan produk, mode pakaian atau terapi kecantikan tertentu (Tejamulya, 2006). Artinya makna kecantikan telah menyempit pada segi fisik. Kecantikan diukur berdasarkan kriteria-kriteria fisik tertentu. Salah satu kriteria yang banyak dikemukakan adalah putih tidaknya kulit seseorang. Putih tidaknya seorang perempuan menentukan kecantikannya dan penerimaan laki-laki terhadapnya. Hal ini setidak-tidaknya terlihat melalui iklan-iklan produk pemutih yang gencar ditayangkan di televisi.
Mengapa kulit putih bisa menjadi kriteria kecantikan ? Di Indonesia terutama, hal ini tidak bisa dilepaskan dari 3 faktor utama, yakni faktor sejarah, hegemoni media dan pemasaran produk pemutih kulit.
Prabasmoro (2003) yang melakukan analisa semiotika terhadap iklan sabun menyebut konstruksi putih itu cantik didasarkan pada obsesi laki-laki pada image perempuan indo (didefinisikan Prabasmoro sebagai keturunan campuran antara orang Indonesia etnis manapun dengan orang Eropa / Amerika berkulit putih). Mengapa indo ? Hal ini, menurut Prabasmoro berhubungan dengan faktor sejarah, yakni adanya kolonialisme dan imperialisme oleh bangsa barat (2003: 37). Dengan kolonialisme dan imperialisme, maka bangsa penjajah menduduki kelas tertinggi dalam masyarakat, dan sebaliknya pribumi menjadi kelas terendah. Maka kemudian figur dan personalitas bangsa penjajah dianggap unggul dan lebih tinggi dari bangsa pribumi. Demikian halnya dengan figur perempuan barat dianggap unggul, berkelas, lebih cantik, dan lebih mempunyai status sosial tinggi di mata masyarakat ketimbang figur perempuan pribumi. Oleh karenanya, perempuan barat atau keturunan barat (baca: indo) dianggap akan memberikan kebanggaan tersendiri bagi lelaki pribumi dan di satu sisi ikut menaikkan status sosial lelaki pribumi. Maka itu kemudian bukanlah hal aneh bila orientasi lelaki pribumi akan figur perempuan ideal ada pada figur perempuan indo. Hal ini kemudian memicu para perempuan pribumi mengidealkan dirinya pada figur perempuan indo agar mereka menarik di mata laki-laki.
Dalam perkembangannya kini, bukan hanya tipe perempuan indo saja yang menjadi kiblat kriteria kecantikan yang diidamkan, namun juga tipe perempuan oriental (Mandarin, Jepang, dan Korea). Hal itu merupakan imbas dari tayangan-tayangan televisi yang banyak digemari perempuan, yang kebetulan produksi dari negara-negara oriental. Secara fisik perempuan oriental yang menjadi bintang dalam tayangan-tayangan televisi tersebut berkulit putih. Sehingga kemudian tanpa disadari perempuan dan laki-laki Indonesia mengidentifikasikan profil seperti perempuan oriental sebagai perempuan yang cantik. Fenomena tersebut salah satu contoh dari faktor kedua, yakni pengaruh media massa, terutama televisi. Hal ini tidaklah mengherankan karena dewasa ini televisi telah menjadi sarana manusia menembus sekat-sekat antar negara. Meskipun apa yang baik bagi perempuan di satu negara belum tentu baik atau sesuai pula bagi perempuan di Indonesia.
Faktor ketiga yang juga semakin mengukuhkan konsep kecantikan berdasarkan putih tidaknya seorang perempuan adalah pemasaran produk-produk pemutih yang dilakukan oleh produsen melalui iklan-iklan di televisi. Para produsen, rupa-rupanya menangkap keinginan dari para perempuan untuk mempunyai kulit putih. Mereka kemudian memproduksi produk-produk pemutih kulit yang disertai dengan kampanye yang meyakinkan setiap perempuan bahwa untuk bisa disebut cantik seorang perempuan haruslah berkulit putih. Kampanye tersebut kemudian dimanifestasikan lewat slogan-slogan maupun iklan audio visual di televisi. Sasarannya bukan hanya kaum perempuan secara langsung, namun juga laki-laki yang diharapkan memercayai konsep tersebut sehingga orientasinya akan perempuan cantik mengarah pada perempuan yang berkulit putih. Para produsen tersebut tentunya mengharapkan keuntungan sebesar-besarnya dari penjualan produk pemutih. Dan itu artinya, semakin banyak orang terpengaruh konsep kecantikan berdasarkan putih tidaknya kulit, semakin banyak pula keuntungan yang akan didapatkan. Dan bagi perempuan sendiri hal itu berarti pemanfaatan perempuan bagi konsumtivisme (Murniati, 2004: 180).
Dari sini nampak bahwa kulit putih seolah-olah telah diidentikkan dengan kecantikan. Berangkat dari hasrat laki-laki terhadap figur perempuan cantik yang putih dan keinginan produsen produk pemutih kulit untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya maka kulit putih kemudian diletakkan sebagai penanda dari kecantikan. Di dalamnya tidak lagi hanya terkandung makna ras ataupun genetika namun terkandung pula makna status dan prestise. Artinya putih telah dikonstruksikan menjadi simbol dari kecantikan. Simbol tidak pernah benar-benar bersifat arbitrer (bebas), demikian diungkapkan Saussure (Berger, 2000: 23). Simbol mempunyai asosiasi tertentu dengan petanda yang tidak tergantikan. Asosiasi itu didasarkan atas kesepakatan. Dalam hal ini oleh kapitalis dan laki-laki, dan bahkan (mau tidak mau) disepakati oleh perempuan itu sendiri. Dengan kata lain putih dikonstruksikan menjadi simbol kecantikan sehingga bila seseorang berinteraksi dengan sesuatu yang putih, ia akan mengasosiasikannya dengan kecantikan. Konstruksi putih sebagai simbol kecantikan tersebut baik secara sadar maupun tidak telah menghegemoni kaum perempuan di Indonesia. Hegemoni, pada awalnya dikemukakan Gramsci (1891-1937) untuk menjelaskan penguasaan yang dilakukan kaum borjuis dan negara pada kaum proletar dengan menggunakan ideologi, bukan kekerasan (Simon, 1999: 20-23). Artinya, kapitalis menguasai buruh untuk keuntungannya, sedangkan kaum buruh sendiri tidak sadar bahwa mereka dikuasai karena mereka terbuai kenyamanan yang diberikan oleh kapitalis. Dewasa ini, konsep hegemoni Gramsci diterapkan dalam dominasi konsep dan realitas, dimana pandangan mereka yang didominasi diarahkan sesuai pandangan yang mendominasi, sehingga mempengaruhi kehidupan sosial dan pribadi pihak yang didominasi (Simon, 1999: xix). Dalam hal ini kemudian pandangan putih sebagai simbol kecantikan merupakan konsep laki-laki dan para produsen pemutih kulit yang ditujukan pada kaum perempuan. Harapannya tentu saja agar kaum perempuan berorientasi pada kulit putih sebagai simbol kecantikan.

Mengejar Kecantikan, Sebuah Usaha Perempuan Menegakkan Eksistensinya
Mengapa setiap perempuan ingin cantik? Wolf (2004) mengemukakan bahwa ada keinginan alami dari perempuan untuk tampil cantik, sedangkan di pihak lain setiap laki-laki juga punya keinginan alami untuk memiliki perempuan yang cantik (Wolf, 2004: 29). Tekanan dari rasa ingin memiliki ini dirasakan oleh perempuan, bukan laki-laki, sehingga kemudian menjelma dari usaha-usaha perempuan mempercantik dirinya. Perempuan menurut Freud, bahwasanya lebih mempunyai gejala narsisme, yang mengagumi diri sendiri dan ingin menampilkannya pada orang lain, sehingga orang lain dapat merasakan kekaguman itu (Tejamulya, 2006). Perempuan sejak usia dini terlatih untuk meneliti diri sendiri, sebagai preseden historis yang harus ditanggung sepanjang hayatnya. Perempuan melihat diri mereka sendiri sebagai obyek, dimana ketika lelaki melihat perempuan, perempuan melihat dirinya sendiri yang sedang dilihat oleh lelaki. Sesuatu yang disebut oleh Cooley sebagai looking-glass self (Soeprapto, 2002: 114). Hal ini ditegaskan pula oleh Mitchell (1993: 65), bahwa konstruksi seksualitas laki-laki dan perempuan direpresentasikan dalam harapan, hasrat, dan fantasi, dimana laki-laki mengkonstruksikan perempuan idealnya dan perempuan mengkonstruksikan dirinya agar ideal dan sepadan dengan ideal dalam konstruksi laki-laki.
Dari sini terlihat bahwa keinginan untuk tampil cantik tersebut bagi perempuan merupakan bagian dari usaha untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Yang pertama, perempuan ingin menunjukkan eksistensi dirinya di mata laki-laki. Bukan untuk menundukkan dan menguasai lelaki, tetapi lebih pada kebutuhan akan perlindungan dari lelaki. Bahkan ketika secara kasat mata seorang perempuan terlihat tegar dan bahkan berkuasa atas laki-laki, ia tidak bisa memungkiri kebutuhannya akan laki-laki. Hal ini disebut oleh Dowling (1989) sebagai Cinderella complex, yakni :

“…suatu jaringan sikap dan rasa takut yang sebagian besarnya tertekan sehingga wanita tidak bisa dan tidak berani memanfaatkan sepenuhnya kemampuan otak dan kreativitasnya. Sebagaimana halnya Cinderella yang terbaring di peti kaca menanti sang paneran membangkitkannya, demikianlah wanita masa kini masih menanti sesuatu yang berasal dari luar, untuk mengubah hidup mereka.” (1989: 17)

Sederhananya, Dowling mengatakan bahwa perempuan berada dalam situasi yang senantiasa ingin dilindungi dan punya kecenderungan untuk tergantung, dalam hal ini kepada laki-laki. Sekuat-kuatnya perempuan memperjuangkan dirinya, sekeras-kerasnya perempuan ingin menunjukkan dominasinya pada laki-laki, ada kebutuhan tersendiri pada perempuan akan perlindungan laki-laki yang muncul baik disadari maupun tidak. Hal ini tampak melalui slogan Girl Power dari lirik sebuah lagu berjudul sama yang dipelopori oleh grup musik perempuan dari Inggris, Spice Girls :

Be strong, be brave, be loud and control your own destiny. Believe that your self can do anything you want to do and be confident. We have to be independent, but it doesn’t mean that you don’t need a boy…”

Lagu tersebut ditujukan pada perempuan di seluruh dunia dan kemudian diadopsi oleh banyak majalah perempuan untuk mengajak perempuan menunjukkan kekuatan perempuan, namun (sekali lagi) bagaimanapun perempuan tetap membutuhkan laki-laki. Karena “kebutuhan” itulah, maka perempuan menghadapi kecemasan dan kegelisahan tersendiri. Ada keraguan akan diri sendiri yang dihadapi oleh perempuan, demikian hasil penelitian psikolog Judith Bardwick (Dowling, 1989: 25). Kurangnya rasa percaya diri itu, terutama mengenai bagaimana diri mereka di mata laki-laki mendorong perempuan merawat dirinya, memoles, bahkan merubah tubuhnya agar predikat “cantik” melekat pada dirinya agar mereka mendapatkan apa yang mereka butuhkan dari laki-laki.
Yang kedua, perempuan ingin menunjukkan eksistensi dirinya di mata masyarakat. Sementara masyarakat sendiri terkonsep untuk melihat perempuan dengan kacamata laki-laki karena sistem sosial di masyarakat pada dasarnya berorientasi pada laki-laki atau patriarkhi, demikian diungkapkan Walby (1993: 18). Walby juga menegaskan bahwa dominasi patriarkhi ini meliputi wilayah privat dan publik, dimana pada wilayah privat patriarkhi didasarkan pada keluarga dan rumah tangga, sedangkan pada wilayah publik patriarkhi diletakkan pada pekerjaan dan negara. Masyarakat, baik sadar maupun tidak, telah memosisikan perempuan sebagai “yang kedua” setelah laki-laki, seperti dinyatakan Simone de Beavoir dalam tulisannya The Second Sex (1949) :

One is not born, but rather becomes, a woman. No biological, psychological, or economic fate determines the figur that the human female present in society; it is civilization as a whole that produces this creature, intermediate between male and eunuch, which is described as feminine. Only in intervention of someone else can establish an individual as an other.” (Humm, 1992: 48)

Bahkan secara tegas de Beauvoir menyatakan bahwa masyarakat memosisikan laki-laki sebagai norma positif dan perempuan sebagai norma negatif, artinya perempuan didefinisikan sebagai “jenis kelamin yang kedua” setelah laki-laki, “… that society sets up the male as positive norm and a ‘woman’ as a negative, second sex, ‘other’…” (Humm, 1992: 44). Masyarakat jugalah yang kemudian melakukan seleksi pada perempuan dan membagi perempuan dalam kelas-kelas atau segmen-segmen tertentu. Dasar seleksi itu menurut Walby (1993: 19) diantaranya adalah seksualitas perempuan. Seksualitas perempuan dinilai berdasarkan standar-standar tertentu, dimana Irigaray menyebut standar-standar itu dikonseptualisasikan berdasarkan parameter laki-laki dan maskulinitas (Lechte, 2001: 249). Standar-standar itu diantaranya adalah bentuk fisik dan kecantikan yang disebut sebagai “ideal”. Standar “ideal” ini sebetulnya adalah produk dari genre kecantikan versi kontes-kontes kecantikan yang pertama kali digelar di Amerika Serikat tahun 1854, dimana lewat kontes-kontes kecantikan semacam ini, kecantikan versi kontes diinstitusionalisasikan ke seluruh dunia (Synnott, 1993: 141) sebagai salah satu bentuk kolonialisme pascakolonialisme (Loomba, 2003). Kulit putih mulus, kaki panjang lurus, kaki jenjang, payudara dan pantat padat berisi, dan paras jelita disebut Wolf (2004: 9-14) sebagai standar kecantikan hasil kontes kecantikan. Kecantikan versi kontes itu telah menjadi sebuah hiperrealitas, yang imajiner seolah- olah menjadi yang sebenarnya, demikian diungkapkan Baudrillard (Lechte, 2001: 357). Standar tersebut “menghipnotis” masyarakat dengan begitu kuatnya sehingga masyarakat menerima hiperrealitas itu menjadi sebuah realitas. Dan bahkan standar-standar itu diterapkan pada perempuan dalam bidang-bidang tertentu, seperti pekerjaan. Contohnya adalah Professional Beauty Qualification (PBQ) atau Kualifikasi Kecantikan Profesional yang diterapkan di Amerika Serikat dan Inggris (Wolf, 2004: 56-114). Pada lapangan kerja tertentu, seperti sekretaris atau resepsionis, pekerja perempuan dituntut untuk sesuai dengan standar kecantikan tertentu yang diterapkan oleh pihak perusahaan, dimana peraturan ini nyata-nyata menyiratkan diskriminasi dan segmentasi terhadap perempuan.
Di Indonesia sendiri, sudah menjadi rahasia umum bahwa profil pekerjaan tertentu, seperti sekretaris identik dengan standar kecantikan tertentu. Standar-standar inilah yang berusaha dimiliki oleh perempuan sehingga mereka bisa eksis di masyarakat. Perempuan menjadi takut dan cemas bila mereka tidak memenuhi standar-standar itu, mereka takkan dicintai, entah oleh pasangan ataupun lingkungannya (Tejamulya, 2006).
Artinya, ada kekuatiran bila seorang perempuan tidak memenuhi standar-standar kecantikan tersebut, ia akan kesulitan dalam membangun relasi interpersonal di masyarakat terutama dalam membangun hubungan yang didasarkan kebutuhan afeksi (hubungan romantis) dengan laki-laki. Hal ini tampak misalnya dari hasil polling yang dilakukan majalah Cosmopolitan pada periode maret-april 2001 terhadap 1105 responden laki-laki yang menyebutkan bahwa 67,7 % responden menilai penampilan fisik perempuan sebagai hal pertama yang menarik perhatiannya (Melliana, 2006: 15). Hasil polling tersebut menjadi salah satu bukti betapa penampilan fisik menjadi salah satu unsur penting bagi perempuan dalam membangun relasi interpersonal dengan laki-laki.
Dari apa yang telah diuraikan diatas tampak bahwa perempuan punya alasan yang cukup kuat untuk memutihkan kulit. Ketika putih tidaknya kulit diklaim sebagai kecantikan maka tidak mengherankan bila perempuan melakukan segala cara untuk memutihkan kulitnya. Harapannya tentu saja agar ia mampu menunjukkan eksistensinya di mata laki-laki dan masyarakat. Lebih spesifik lagi agar ia lebih mudah membangun relasi interpersonal dengan laki-laki karena penampilan fisiknya yang dianggap cantik berdasarkan standar “putih”.Bagaimana dengan anda ??(ydk@0209)


Selengkapnya...

 


Design by: Pocket
This template is brought to you by : allblogtools.com Blogger Templates