Tuesday, February 3, 2009

Mengejar Kecantikan dengan Pemutih Kulit, Sebuah Wujud Cinderella Complex - by Yudha Kusniyanto, S.Sos

Seorang perempuan muda masuk ke dalam lift, dari permainan bola matanya tampak ia sangat berharap laki-laki di dekatnya melirik padanya. Laki-laki itu digambarkan sebagai pria metroseksual yang ideal. Gelisah bercampur harap mendominasi gerak-gerik sang perempuan. Tak dinyana, harapan tinggal harapan, kulitnya terlalu gelap untuk menarik perhatian sang lelaki. Alhasil, kulitnya yang gelap menempatkannya sebagai perempuan yang “kurang menarik” atau bahkan “tidak diinginkan”. Adegan berikutnya, perempuan tadi mengoleskan krim pemutih yang (katanya) bisa menjadikan kulitnya lebih putih dan bersih. Dan abrakadabra, beberapa minggu kemudian kulitnya menjadi putih.
Dalam pertemuan selanjutnya dengan sang lelaki, bak dongeng, sang lelaki pun dengan sukses meliriknya. Bukan itu saja, sang lelaki jatuh cinta pada sang perempuan yang beberapa minggu sebelumnya bukanlah siapa-siapa di matanya. Perempuan dalam iklan tadi di hadapan sang lelaki memperoleh nilai lebih setelah kulitnya “memutih”. Ia menjadi cantik dan menarik di mata sang lelaki. Dalam versi yang lain, seorang gadis bermain tenis dengan seorang gadis lain yang dikisahkan sebagai kawan karibnya. Si gadis mengamati kawannya itu dengan sorot mata penuh kekaguman. Bukan permainan tenisnya, tetapi lebih pada kulit putihnya yang menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Ada rasa minder dan kurang percaya diri menghinggapinya ketika mendapati kulitnya tidak seputih kawannya. Kemudian, si gadis tadi menggunakan krim kecantikan dengan label “whitening” (memutihkan). Beberapa minggu kemudian, kulit si gadis menjadi putih, ia pun menjadi percaya diri dan berimbas kepada prestasi dalam olahraga (tenis) yang digelutinya. Krim pemutih dalam iklan tersebut menjadi “doping” terampuh untuk mendongkrak kepercayaan diri si gadis yang tadinya merasa “kurang” karena kulitnya yang tidak putih. Artinya, ketika ketika ia putih maka sebagai perempuan ia menjadi “lebih”, ia merasa lebih cantik dan lebih menarik dibandingkan ketika ia kurang putih.
Contoh di atas merupakan genre iklan yang mendominasi slot iklan di media televisi akhir-akhir ini. Kulit putih, adalah komoditi yang ditawarkan lewat iklan tersebut. Ada kesamaan dalam setiap iklan tersebut, yakni bahwa dengan menjadi putih, seorang perempuan akan mempunyai nilai lebih dalam relasinya, bukan hanya dengan lawan jenis (laki-laki), tetapi juga dalam relasi antar perempuan itu sendiri. Dalam iklan-iklan itu, perempuan merasa lebih percaya diri karena ia dikatakan cantik ketika kulitnya putih. Akhirnya, secara eksplisit maupun implisit, kulit putih dideklarasikan sebagai (bagian dari) kecantikan. Dan bahkan lebih ekstrim lagi, bahwa yang cantik itulah yang putih dan yang putih itulah yang cantik. Contoh-contoh iklan di atas (lagi-lagi) berbicara demikian. Tanpa kulit putih sekalipun, secara natural sang model iklan adalah seorang yang cantik dan punya “feromon” tersendiri untuk menggetarkan naluri para lelaki, namun dalam iklan dikisahkan bahwa daya tarik sang model belum cukup menarik perhatian jika ia belum atau tidak putih. Artinya, iklan di atas mengatakan bila kulitnya belum (tidak) putih, ia belum layak untuk disebut “cantik” atau termasuk dalam kategori “cantik”. Pertanyaannya kini, apakah sebetulnya ‘kecantikan’ itu ?

Kecantikan, dari Plato hingga Sigmund Freud

Sulit kiranya bagi banyak orang untuk mendefinisikan kecantikan secara jelas. Apakah kecantikan itu milik Cinderella dan Putri Salju saja ? Bagaimanakah sesungguhnya ukuran mutlak dari kecantikan ? Banyak ahli filsafat dan pemikir berupaya menjawab pertanyaan ini.
Sebagian ahli berpendapat bahwa kecantikan bukan sekedar fisik, namun juga identik dengan kebahagiaan, cinta, kebaikan, hikmat dan kebenaran, serta pengetahuan (Synnott, 1993: 145). Dalam barisan filsuf yang mendukung pendapat ini ada Plato dan Socrates. Plato menegaskan bahwa kecantikan adalah proses pencarian dengan tujuan akhir adalah pengetahuan tentang apa itu kecantikan. Sedangkan Socrates menambahkan bahwa kecantikan adalah penghormatan berdasarkan kekuasaan dan kekuatan cinta .
Sementara itu, filsuf Yunani yang lain, Aristoteles, lebih mendefinisikan kecantikan berdasarkan struktur wajah, yakni yang teratur, simetri, “tertentu” serta proporsional (Synnott, 1993: 147). Pendapat ini diikuti diantaranya oleh para seniman seperti Praksiteles, Leonardo da Vinci, Durer, Vitruvius, dan Le Corbusier. Para seniman ini cenderung menguatkan definisi tersebut karena mereka mengekspresikan kecantikan dalam struktur karya-karya seni mereka. Seperti misalnya lukisan karya Leonardo da Vinci yang sangat terkenal, Monalisa.
Para astrolog pada jaman Renaissance melihat bahwa kecantikan lebih bersifat kosmik dan bersumber dari wajah (Synnott, 1993: 148). Sedangkan para filsuf aliran kristianitas lebih melihat kecantikan dari dua sisi, yakni sisi asketik dan sisi transenden (Synnott, 1993: 152 ; 159). Di kelompok pertama misalnya, ada Plotinos yang berpendapat bahwa kecantikan tercermin dari kebaikan. Di lain pihak, kelompok kedua, seperti misalnya Agustinus berpendapat bahwa kecantikan merefleksikan ALLAH, artinya Agustinus meyakini bahwa kecantikan atau keindahan adalah ALLAH, dan ALLAH adalah kecantikan atau keindahan. Hal ini tidak berbeda dengan khas pemikiran Renaissance yang sepakat bahwa kecantikan fisik disebabkan oleh kecantikan spiritual.
Bertolak belakang dengan itu, Sigmund Freud secara lugas menyatakan bahwa kecantikan identik dengan seksualitas, berakar di dalam kesenangan seksual, dan maknanya yang orisinil adalah “dirangsang secara seksual” (Synnott, 1993: 171). Freud tidak mengada-ada dalam merumuskan hal itu. Ia berangkat dari pemikiran dasar bahwa kecantikan hanya ada di dalam pikiran manusia. Pikiran tersebut menuntun manusia pada naluri alaminya, yakni kebutuhan akan seksualitas. Sebagai contoh, bila seorang laki-laki melihat seorang perempuan yang dianggapnya cantik, pikirannya akan mengasosiasikan diri untuk memiliki perempuan tersebut, dan naluri alaminya akan memunculkan keinginan untuk berhubungan seksual dengan perempuan tersebut. Sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa organ seksual manusia yang paling ampuh adalah pikiran manusia itu sendiri.
Kebanyakan filsuf dan pemikir diatas memiliki satu kesamaan dalam melukiskan kecantikan. Yakni kecantikan hanya dapat dirasakan oleh subjektivitas orang per orang. Dan subjektivitas itu bisa berbeda-beda dalam melukiskan kecantikan. Karena apa yang dilihat, dipikirkan, ataupun dirasakan oleh orang per orang tentu saja berbeda. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan pandangan Saussure (Berger, 2000: 12) maka kecantikan tak ubahnya semacam tanda yang mempunyai hubungan arbitrer (bebas) antara penanda dan petandanya.

Putih sebagai Simbol Kecantikan yang Dikonstruksikan
Jika para filsuf mengatakan bahwa makna kecantikan merupakan subjektivitas masing-masing individu, maka kecantikan itu lebih pada “rasa”. Namun kini kaum perempuan percaya pada konsep baru, bahwa kecantikan dapat dimiliki oleh setiap perempuan dengan penggunaan produk, mode pakaian atau terapi kecantikan tertentu (Tejamulya, 2006). Artinya makna kecantikan telah menyempit pada segi fisik. Kecantikan diukur berdasarkan kriteria-kriteria fisik tertentu. Salah satu kriteria yang banyak dikemukakan adalah putih tidaknya kulit seseorang. Putih tidaknya seorang perempuan menentukan kecantikannya dan penerimaan laki-laki terhadapnya. Hal ini setidak-tidaknya terlihat melalui iklan-iklan produk pemutih yang gencar ditayangkan di televisi.
Mengapa kulit putih bisa menjadi kriteria kecantikan ? Di Indonesia terutama, hal ini tidak bisa dilepaskan dari 3 faktor utama, yakni faktor sejarah, hegemoni media dan pemasaran produk pemutih kulit.
Prabasmoro (2003) yang melakukan analisa semiotika terhadap iklan sabun menyebut konstruksi putih itu cantik didasarkan pada obsesi laki-laki pada image perempuan indo (didefinisikan Prabasmoro sebagai keturunan campuran antara orang Indonesia etnis manapun dengan orang Eropa / Amerika berkulit putih). Mengapa indo ? Hal ini, menurut Prabasmoro berhubungan dengan faktor sejarah, yakni adanya kolonialisme dan imperialisme oleh bangsa barat (2003: 37). Dengan kolonialisme dan imperialisme, maka bangsa penjajah menduduki kelas tertinggi dalam masyarakat, dan sebaliknya pribumi menjadi kelas terendah. Maka kemudian figur dan personalitas bangsa penjajah dianggap unggul dan lebih tinggi dari bangsa pribumi. Demikian halnya dengan figur perempuan barat dianggap unggul, berkelas, lebih cantik, dan lebih mempunyai status sosial tinggi di mata masyarakat ketimbang figur perempuan pribumi. Oleh karenanya, perempuan barat atau keturunan barat (baca: indo) dianggap akan memberikan kebanggaan tersendiri bagi lelaki pribumi dan di satu sisi ikut menaikkan status sosial lelaki pribumi. Maka itu kemudian bukanlah hal aneh bila orientasi lelaki pribumi akan figur perempuan ideal ada pada figur perempuan indo. Hal ini kemudian memicu para perempuan pribumi mengidealkan dirinya pada figur perempuan indo agar mereka menarik di mata laki-laki.
Dalam perkembangannya kini, bukan hanya tipe perempuan indo saja yang menjadi kiblat kriteria kecantikan yang diidamkan, namun juga tipe perempuan oriental (Mandarin, Jepang, dan Korea). Hal itu merupakan imbas dari tayangan-tayangan televisi yang banyak digemari perempuan, yang kebetulan produksi dari negara-negara oriental. Secara fisik perempuan oriental yang menjadi bintang dalam tayangan-tayangan televisi tersebut berkulit putih. Sehingga kemudian tanpa disadari perempuan dan laki-laki Indonesia mengidentifikasikan profil seperti perempuan oriental sebagai perempuan yang cantik. Fenomena tersebut salah satu contoh dari faktor kedua, yakni pengaruh media massa, terutama televisi. Hal ini tidaklah mengherankan karena dewasa ini televisi telah menjadi sarana manusia menembus sekat-sekat antar negara. Meskipun apa yang baik bagi perempuan di satu negara belum tentu baik atau sesuai pula bagi perempuan di Indonesia.
Faktor ketiga yang juga semakin mengukuhkan konsep kecantikan berdasarkan putih tidaknya seorang perempuan adalah pemasaran produk-produk pemutih yang dilakukan oleh produsen melalui iklan-iklan di televisi. Para produsen, rupa-rupanya menangkap keinginan dari para perempuan untuk mempunyai kulit putih. Mereka kemudian memproduksi produk-produk pemutih kulit yang disertai dengan kampanye yang meyakinkan setiap perempuan bahwa untuk bisa disebut cantik seorang perempuan haruslah berkulit putih. Kampanye tersebut kemudian dimanifestasikan lewat slogan-slogan maupun iklan audio visual di televisi. Sasarannya bukan hanya kaum perempuan secara langsung, namun juga laki-laki yang diharapkan memercayai konsep tersebut sehingga orientasinya akan perempuan cantik mengarah pada perempuan yang berkulit putih. Para produsen tersebut tentunya mengharapkan keuntungan sebesar-besarnya dari penjualan produk pemutih. Dan itu artinya, semakin banyak orang terpengaruh konsep kecantikan berdasarkan putih tidaknya kulit, semakin banyak pula keuntungan yang akan didapatkan. Dan bagi perempuan sendiri hal itu berarti pemanfaatan perempuan bagi konsumtivisme (Murniati, 2004: 180).
Dari sini nampak bahwa kulit putih seolah-olah telah diidentikkan dengan kecantikan. Berangkat dari hasrat laki-laki terhadap figur perempuan cantik yang putih dan keinginan produsen produk pemutih kulit untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya maka kulit putih kemudian diletakkan sebagai penanda dari kecantikan. Di dalamnya tidak lagi hanya terkandung makna ras ataupun genetika namun terkandung pula makna status dan prestise. Artinya putih telah dikonstruksikan menjadi simbol dari kecantikan. Simbol tidak pernah benar-benar bersifat arbitrer (bebas), demikian diungkapkan Saussure (Berger, 2000: 23). Simbol mempunyai asosiasi tertentu dengan petanda yang tidak tergantikan. Asosiasi itu didasarkan atas kesepakatan. Dalam hal ini oleh kapitalis dan laki-laki, dan bahkan (mau tidak mau) disepakati oleh perempuan itu sendiri. Dengan kata lain putih dikonstruksikan menjadi simbol kecantikan sehingga bila seseorang berinteraksi dengan sesuatu yang putih, ia akan mengasosiasikannya dengan kecantikan. Konstruksi putih sebagai simbol kecantikan tersebut baik secara sadar maupun tidak telah menghegemoni kaum perempuan di Indonesia. Hegemoni, pada awalnya dikemukakan Gramsci (1891-1937) untuk menjelaskan penguasaan yang dilakukan kaum borjuis dan negara pada kaum proletar dengan menggunakan ideologi, bukan kekerasan (Simon, 1999: 20-23). Artinya, kapitalis menguasai buruh untuk keuntungannya, sedangkan kaum buruh sendiri tidak sadar bahwa mereka dikuasai karena mereka terbuai kenyamanan yang diberikan oleh kapitalis. Dewasa ini, konsep hegemoni Gramsci diterapkan dalam dominasi konsep dan realitas, dimana pandangan mereka yang didominasi diarahkan sesuai pandangan yang mendominasi, sehingga mempengaruhi kehidupan sosial dan pribadi pihak yang didominasi (Simon, 1999: xix). Dalam hal ini kemudian pandangan putih sebagai simbol kecantikan merupakan konsep laki-laki dan para produsen pemutih kulit yang ditujukan pada kaum perempuan. Harapannya tentu saja agar kaum perempuan berorientasi pada kulit putih sebagai simbol kecantikan.

Mengejar Kecantikan, Sebuah Usaha Perempuan Menegakkan Eksistensinya
Mengapa setiap perempuan ingin cantik? Wolf (2004) mengemukakan bahwa ada keinginan alami dari perempuan untuk tampil cantik, sedangkan di pihak lain setiap laki-laki juga punya keinginan alami untuk memiliki perempuan yang cantik (Wolf, 2004: 29). Tekanan dari rasa ingin memiliki ini dirasakan oleh perempuan, bukan laki-laki, sehingga kemudian menjelma dari usaha-usaha perempuan mempercantik dirinya. Perempuan menurut Freud, bahwasanya lebih mempunyai gejala narsisme, yang mengagumi diri sendiri dan ingin menampilkannya pada orang lain, sehingga orang lain dapat merasakan kekaguman itu (Tejamulya, 2006). Perempuan sejak usia dini terlatih untuk meneliti diri sendiri, sebagai preseden historis yang harus ditanggung sepanjang hayatnya. Perempuan melihat diri mereka sendiri sebagai obyek, dimana ketika lelaki melihat perempuan, perempuan melihat dirinya sendiri yang sedang dilihat oleh lelaki. Sesuatu yang disebut oleh Cooley sebagai looking-glass self (Soeprapto, 2002: 114). Hal ini ditegaskan pula oleh Mitchell (1993: 65), bahwa konstruksi seksualitas laki-laki dan perempuan direpresentasikan dalam harapan, hasrat, dan fantasi, dimana laki-laki mengkonstruksikan perempuan idealnya dan perempuan mengkonstruksikan dirinya agar ideal dan sepadan dengan ideal dalam konstruksi laki-laki.
Dari sini terlihat bahwa keinginan untuk tampil cantik tersebut bagi perempuan merupakan bagian dari usaha untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Yang pertama, perempuan ingin menunjukkan eksistensi dirinya di mata laki-laki. Bukan untuk menundukkan dan menguasai lelaki, tetapi lebih pada kebutuhan akan perlindungan dari lelaki. Bahkan ketika secara kasat mata seorang perempuan terlihat tegar dan bahkan berkuasa atas laki-laki, ia tidak bisa memungkiri kebutuhannya akan laki-laki. Hal ini disebut oleh Dowling (1989) sebagai Cinderella complex, yakni :

“…suatu jaringan sikap dan rasa takut yang sebagian besarnya tertekan sehingga wanita tidak bisa dan tidak berani memanfaatkan sepenuhnya kemampuan otak dan kreativitasnya. Sebagaimana halnya Cinderella yang terbaring di peti kaca menanti sang paneran membangkitkannya, demikianlah wanita masa kini masih menanti sesuatu yang berasal dari luar, untuk mengubah hidup mereka.” (1989: 17)

Sederhananya, Dowling mengatakan bahwa perempuan berada dalam situasi yang senantiasa ingin dilindungi dan punya kecenderungan untuk tergantung, dalam hal ini kepada laki-laki. Sekuat-kuatnya perempuan memperjuangkan dirinya, sekeras-kerasnya perempuan ingin menunjukkan dominasinya pada laki-laki, ada kebutuhan tersendiri pada perempuan akan perlindungan laki-laki yang muncul baik disadari maupun tidak. Hal ini tampak melalui slogan Girl Power dari lirik sebuah lagu berjudul sama yang dipelopori oleh grup musik perempuan dari Inggris, Spice Girls :

Be strong, be brave, be loud and control your own destiny. Believe that your self can do anything you want to do and be confident. We have to be independent, but it doesn’t mean that you don’t need a boy…”

Lagu tersebut ditujukan pada perempuan di seluruh dunia dan kemudian diadopsi oleh banyak majalah perempuan untuk mengajak perempuan menunjukkan kekuatan perempuan, namun (sekali lagi) bagaimanapun perempuan tetap membutuhkan laki-laki. Karena “kebutuhan” itulah, maka perempuan menghadapi kecemasan dan kegelisahan tersendiri. Ada keraguan akan diri sendiri yang dihadapi oleh perempuan, demikian hasil penelitian psikolog Judith Bardwick (Dowling, 1989: 25). Kurangnya rasa percaya diri itu, terutama mengenai bagaimana diri mereka di mata laki-laki mendorong perempuan merawat dirinya, memoles, bahkan merubah tubuhnya agar predikat “cantik” melekat pada dirinya agar mereka mendapatkan apa yang mereka butuhkan dari laki-laki.
Yang kedua, perempuan ingin menunjukkan eksistensi dirinya di mata masyarakat. Sementara masyarakat sendiri terkonsep untuk melihat perempuan dengan kacamata laki-laki karena sistem sosial di masyarakat pada dasarnya berorientasi pada laki-laki atau patriarkhi, demikian diungkapkan Walby (1993: 18). Walby juga menegaskan bahwa dominasi patriarkhi ini meliputi wilayah privat dan publik, dimana pada wilayah privat patriarkhi didasarkan pada keluarga dan rumah tangga, sedangkan pada wilayah publik patriarkhi diletakkan pada pekerjaan dan negara. Masyarakat, baik sadar maupun tidak, telah memosisikan perempuan sebagai “yang kedua” setelah laki-laki, seperti dinyatakan Simone de Beavoir dalam tulisannya The Second Sex (1949) :

One is not born, but rather becomes, a woman. No biological, psychological, or economic fate determines the figur that the human female present in society; it is civilization as a whole that produces this creature, intermediate between male and eunuch, which is described as feminine. Only in intervention of someone else can establish an individual as an other.” (Humm, 1992: 48)

Bahkan secara tegas de Beauvoir menyatakan bahwa masyarakat memosisikan laki-laki sebagai norma positif dan perempuan sebagai norma negatif, artinya perempuan didefinisikan sebagai “jenis kelamin yang kedua” setelah laki-laki, “… that society sets up the male as positive norm and a ‘woman’ as a negative, second sex, ‘other’…” (Humm, 1992: 44). Masyarakat jugalah yang kemudian melakukan seleksi pada perempuan dan membagi perempuan dalam kelas-kelas atau segmen-segmen tertentu. Dasar seleksi itu menurut Walby (1993: 19) diantaranya adalah seksualitas perempuan. Seksualitas perempuan dinilai berdasarkan standar-standar tertentu, dimana Irigaray menyebut standar-standar itu dikonseptualisasikan berdasarkan parameter laki-laki dan maskulinitas (Lechte, 2001: 249). Standar-standar itu diantaranya adalah bentuk fisik dan kecantikan yang disebut sebagai “ideal”. Standar “ideal” ini sebetulnya adalah produk dari genre kecantikan versi kontes-kontes kecantikan yang pertama kali digelar di Amerika Serikat tahun 1854, dimana lewat kontes-kontes kecantikan semacam ini, kecantikan versi kontes diinstitusionalisasikan ke seluruh dunia (Synnott, 1993: 141) sebagai salah satu bentuk kolonialisme pascakolonialisme (Loomba, 2003). Kulit putih mulus, kaki panjang lurus, kaki jenjang, payudara dan pantat padat berisi, dan paras jelita disebut Wolf (2004: 9-14) sebagai standar kecantikan hasil kontes kecantikan. Kecantikan versi kontes itu telah menjadi sebuah hiperrealitas, yang imajiner seolah- olah menjadi yang sebenarnya, demikian diungkapkan Baudrillard (Lechte, 2001: 357). Standar tersebut “menghipnotis” masyarakat dengan begitu kuatnya sehingga masyarakat menerima hiperrealitas itu menjadi sebuah realitas. Dan bahkan standar-standar itu diterapkan pada perempuan dalam bidang-bidang tertentu, seperti pekerjaan. Contohnya adalah Professional Beauty Qualification (PBQ) atau Kualifikasi Kecantikan Profesional yang diterapkan di Amerika Serikat dan Inggris (Wolf, 2004: 56-114). Pada lapangan kerja tertentu, seperti sekretaris atau resepsionis, pekerja perempuan dituntut untuk sesuai dengan standar kecantikan tertentu yang diterapkan oleh pihak perusahaan, dimana peraturan ini nyata-nyata menyiratkan diskriminasi dan segmentasi terhadap perempuan.
Di Indonesia sendiri, sudah menjadi rahasia umum bahwa profil pekerjaan tertentu, seperti sekretaris identik dengan standar kecantikan tertentu. Standar-standar inilah yang berusaha dimiliki oleh perempuan sehingga mereka bisa eksis di masyarakat. Perempuan menjadi takut dan cemas bila mereka tidak memenuhi standar-standar itu, mereka takkan dicintai, entah oleh pasangan ataupun lingkungannya (Tejamulya, 2006).
Artinya, ada kekuatiran bila seorang perempuan tidak memenuhi standar-standar kecantikan tersebut, ia akan kesulitan dalam membangun relasi interpersonal di masyarakat terutama dalam membangun hubungan yang didasarkan kebutuhan afeksi (hubungan romantis) dengan laki-laki. Hal ini tampak misalnya dari hasil polling yang dilakukan majalah Cosmopolitan pada periode maret-april 2001 terhadap 1105 responden laki-laki yang menyebutkan bahwa 67,7 % responden menilai penampilan fisik perempuan sebagai hal pertama yang menarik perhatiannya (Melliana, 2006: 15). Hasil polling tersebut menjadi salah satu bukti betapa penampilan fisik menjadi salah satu unsur penting bagi perempuan dalam membangun relasi interpersonal dengan laki-laki.
Dari apa yang telah diuraikan diatas tampak bahwa perempuan punya alasan yang cukup kuat untuk memutihkan kulit. Ketika putih tidaknya kulit diklaim sebagai kecantikan maka tidak mengherankan bila perempuan melakukan segala cara untuk memutihkan kulitnya. Harapannya tentu saja agar ia mampu menunjukkan eksistensinya di mata laki-laki dan masyarakat. Lebih spesifik lagi agar ia lebih mudah membangun relasi interpersonal dengan laki-laki karena penampilan fisiknya yang dianggap cantik berdasarkan standar “putih”.Bagaimana dengan anda ??(ydk@0209)


 


Design by: Pocket
This template is brought to you by : allblogtools.com Blogger Templates