Tuesday, February 3, 2009

Guru dan Murid Pacaran ?? Nah lho...

Guru pacaran dengan muridnya sendiri ? Hemm..saya tersenyum kecil ketika beberapa orang menanyakan pendapat saya tentang hal itu. Saya balik bertanya pada mereka apa tujuan mereka menanyakan hal itu pada saya. Jawabannya tepat seperti dugaan saya : karena sangat besar peluang dan kemungkinan untuk hal itu terjadi pada saya. Dasarnya adalah status sebagai guru muda dengan jarak usia yang tidak terlampau jauh dengan murid, plus habitat sekolah dimana saya mengajar yang dikenal mempunyai murid perempuan dengan “kualitas terjamin”. So, yang namanya cinta bisa tiba-tiba datang jika pelurunya sukses menembus hati, tanpa peduli siapa kita siapa dia. Nah lho...
Pertanyaannya adalah, darimana sebetulnya cinta itu muncul ?? “Teori” pertama datang dari mereka yang berpijak pada mitologi Yunani. Menurut mereka ini, dewa Cupid senantiasa berkeliling di antara manusia dan sekehendak hatinya menembakkan panah asmara di hati para laki-laki dan perempuan. Mereka yang terkena panah yang sama, otomatis akan saling jatuh cinta. Semua tergantung pada Cupid untuk menjodohkan manusia satu dengan manusia lainnya. Bagaimana dengan cinta sesama jenis ? Nah, ada yang bilang kalau Cupid tidak melihat bentuk fisik manusia, tetapi melihat hatinya. Sehingga sangat mungkin terjadi cinta sesama jenis karena Cupid menembakkan panah pada hati “perempuan” yang ternyata dibungkus dalam fisik laki-laki, dan sebaliknya ia bisa juga menembakkan panah pada hati “laki-laki” yang ternyata ada dalam fisik perempuan.
“Teori” yang kedua datang dari mereka yang berpegang pada peribahasa “cinta datang dari mata dan turun ke hati”. Dalam konsep ini, “cinta pada pandangan pertama” dan “kesan pertama” menjadi sangat penting. Karena cinta itu tumbuh melalui perspektif kita dalam memandang seseorang. Sejauh mana penampilan dan aura seseorang mampu melahirkan rasa simpati, tertarik, dan cinta di hati kita, itu kuncinya. Beberapa penelitian ilmiah mengatakan bahwa dalam tubuh manusia mengalir hormon feromon yang mampu memancing ketertarikan orang lain pada kita. So, bila modal feromon itu dikombinasikan dengan penampilan yang istimewa, maka tidaklah sulit untuk saling tertarik dan jatuh cinta dengan orang lain. Kelemahannya, cinta model ini ibarat iklan, tergantung pada bentuk, penampilan dan kemasan produk yang ditawarkan. Syukur-syukur kita dapatkan kemasan yang menarik plus isi yang berkualitas. Namun jika tidak ??
Yang ketiga, adalah “teori’ yang melandaskan diri pada pepatah jawa yang berbunyi “witing tresna jalaran saka kulina”. Ya, cinta datang dari kebiasaan dan frekuensi pertemuan antar manusia. Dari pertemuan-pertemuan itu biasanya muncul dinamika-dinamika yang berupa interaksi bahkan gesekan. Namun ujung-ujungnya adalah rasa tertarik satu sama lain. Tumbuhnya rasa tertarik itu terkadang tidak disadari, karena seolah-olah hubungan yang terjadi adalah hubungan yang “biasa”. Tetapi bila hubungan itu berubah menjadi “tidak biasa”, di situlah bibit-bibit cinta mulai tertabur di ladang hati. Cinta model ini mempunyai kelebihan terutama dalam hal sudah adanya pengenalan satu sama lain terlebih dulu sehingga meminimalkan kepura-puraan dan berimbas pada awetnya hubungan. Ibarat sepeda motor “Honda”, makin lama dipacu, mesin makin panas dan kuat daya tahannya. Masalahnya adalah bagaimana bila cinta yang datang karena sudah terbiasa itu semakin lama menjadi semakin “biasa’ dan tidak lagi “istimewa” ?? Akibatnya cinta seolah-olah akan bermetamorfosis menjadi kejenuhan dan kebosanan yang harus disingkirkan.
Dari tiga “teori” di atas, manakah yang menjadi pemicu utama hubungan cinta antara guru dan murid ? Jawaban saya : ketiga-tiganya !! Yang namanya cinta memang tidak dapat diduga darimana datangnya. Ia tidak pilih siapa dan rupa. Cinta juga tidak memilih status, agama, latar belakang budaya, ataupun usia. Cinta tidak peduli pada siapa ia menjatuhkan pilihan, sekalipun ia harus berhadapan dengan nilai dan norma. “Love is love”. Cinta adalah cinta. Hakekatnya adalah “rasa”. Sehingga jangan heran bila tidak hanya guru laki-laki yang bisa jatuh cinta dengan murid perempuan, sebaliknya guru yang perempuan pun bisa juga menjalin hubungan dengan muridnya laki-laki. Ketika panah Cupid menembus hati, maka segala tata cara dan tetek bengek norma dunia tidak akan lagi bermakna. Tentu saja,unsur feromon dan penampilan juga ikut berperan. Pastilah ada sesuatu yang istimewa di pihak guru, dan juga ada yang spesial di pihak murid sehingga mereka bisa saling jatuh cinta satu sama lain. Dan yang paling penting, jelas cinta itu juga datang karena frekuensi pertemuan yang tinggi antara guru dan murid tersebut. Ingat, di dalam sebuah pertemuan tidak hanya terkandung kata-kata, tetapi juga ada kontak mata, kontak hati dan pikiran, bahkan bahasa tubuh pun berbicara. Kesemuanya itu akan memancing cinta untuk keluar dari sarang hati yang terdalam. Efeknya ?? Tentu saja mereka akan mengorbankan banyak hal untuk menempuh resiko menjalani salah satu bentuk hubungan yang (menurut saya) adalah salah satu hubungan cinta “tergila” yang pernah ada di masyarakat. Melawan norma, berhadapan dengan dunia, dan bermain peran sedemikian rupa agar hubungan itu tetap “aman” adalah bagian dari resiko, tantangan sekaligus sensasi yang dirasakan oleh para pelaku dalam hubungan cinta antar guru-murid ini.
Kalau kita bicara dalam perspektif sosiologi, hubungan cinta antar guru-murid bisa dikategorikan dalam perilaku menyimpang. Karena perilaku menyimpang tidak hanya berarti perilaku yang melanggar nilai dan norma, tetapi juga perilaku yang berbeda dengan perilaku masyarakat pada umumnya dan tidak lazim. Tetapi salahkah itu ?? Menurut saya tidak sama sekali !! Dalam hal cinta, ada unsur kebebasan disana. Sehingga apapun pilihan cinta, kita harus menghormatinya sebagai manusia. Karenanya bagi saya, hubungan cinta antar guru-murid ini adalah bentuk perilaku menyimpang primer yang positif. Meski bisa menguncang psikologis masyarakat, namun di dalamnya tidak terkandung maksud mengganggu dan merusak tatanan masyarakat secara keseluruhan.
Tetapi sekali lagi, kebebasan itu juga harus diimbangi dengan dua hal yang terpenting, yakni kesadaran dan obyektivitas. Kesadaran itu berarti sadar akan pilihan dan resiko yang harus dihadapi dengan hubungan cinta antar guru-murid ini. Guru dan murid itu juga harus bisa cerdas dalam menempatkan diri baik di sekolah maupun di masyarakat. Sehingga dalam perjalanannya tidak akan merugikan dua belah pihak. Dan yang kedua, obyektivitas profesional juga tetap harus dijaga. Universitas London pernah melakukan penelitian mengenai efek jatuh cinta. Hasilnya, diketahui bahwa ketika sedang jatuh cinta bagian otak manusia yang mengontrol pikiran-pikiran kritis akan terganggu. akibatnya, terjadi peningkatan aktivitas di bagian otak yang merespon terhadap reward atau hal-hal baik. Sementara bagian otak yang biasa membuat penilaian-penilaian negatif mengalami penurunan aktivitas. Artinya, mereka yang jatuh cinta seakan dibutakan cinta sehingga penilaian tentang pasangan mereka tak seobyektif biasanya. Penilaian terhadap orang yang dicintai lebih cenderung ke penilaian yang bersifat positif. Sedangkan hal-hal negatif atau kesalahan pasangan kerap terlewatkan. Disini jelas guru harus tetap obyektif. Jangan lantas karena murid itu pasangannya, ia tidak obyektif dalam hal pelajaran dan penilaian. Harus bisa dibedakan antara hubungan cinta dengan hubungan profesional antara guru dan murid. Jangan sampai permasalahan dalam hubungan cinta merembet dalam hubungan profesional di sekolah. Di balik cinta antara pria dan wanita yang muncul, guru tetaplah seorang guru, murid tetaplah seorang murid. (ydk@2009)

 


Design by: Pocket
This template is brought to you by : allblogtools.com Blogger Templates