Guru kelas XII dan X ??What ?? Itu reaksi pertamaku kala diminta mengajar sosiologi di sebuah SMA swasta di kota Salatiga tepat 6 bulan setelah lulus kuliah. Asal tahu saja, sekolah dimana aku mengajar terkenal di seantero kota sebagai sekolah yang murid-muridnya ndableg meski juga terkenal elite dan mampu dari segi ekonomi. Karuan saja muncul ketakutan di pikiranku terutama soal mengajar kelas XII. Kalau mengajar kelas X sih masih bisa diterima lah, toh aku dan mereka sama-sama “orang baru”, setidak-tidaknya masih punya modal wibawa jadi guru. Tapi kelas XII? Mereka kan sudah lebih “senior” daripada aku di sekolah itu. Tambahan lagi, aku tidak punya modal teknik mengajar sama sekali (kuliah aku S1 sosiologi dari FISIP bukan kuliah pendidikan) plus usia yang cuma terpaut 5 tahun dari rata-rata usia mereka. Secara fisik pun, banyak orang bilang kalau aku pakai seragam SMA masih pantes ditunjang dengan perawakan yang cungkring habiss...Makanya, hari pertama mengajar jadi “tanggal merah” yang sukses memaksaku melakukan sesuatu yang sudah amat jarang aku lakukan saat itu...Berdoa dan berpuasa..!!Hahaha...
Nah, “akhirnya datang juga” (bukan promosi acara tv lho..) hari pertama mengajar di kelas XII. Persis seperti tentara yang mau maju perang, segala kemungkinan juga sudah aku siapkan. Kalau tentara bersiap dengan senjata isi peluru, aku juga bersiap dengan senjata kata-kata kalau-kalau murid-murid itu menembaki aku dengan peluru cibiran plus berondongan kata-kata pedas. Pikirku, pengalaman jadi anak IPS semasa SMA bisa jadi modal buat menghadapi mereka. Mungkin secara psikologis ada kesamaan, meski toh rasa gugup juga tetap setia menemani hari itu.
Dan benar saja, cuma satu kata yang bisa dipakai buat menggambarkan situasi kelas saat itu...Gila !! Perawakan mereka yang “gede-gede” (mungkin itu indikasi perbaikan gizi anak Indonesia) awalnya membuatku agak gentar. Lagipula nampaknya mereka bukan hanya “biang ribut”, tapi sudah pada taraf “ahli ribut”. Aku ngomong dua kata, mereka ngomong empat kata. Aku ngomong satu kalimat, mereka ngomong satu paragraf. Pokoknya, mirip dengan konsep kelipatan di matematika. Bayangkan jika aku ngomong satu alinea, jangan-jangan mereka akan menyahut dengan omongan satu novel..wah!! Kritisnya bukan main, persis seperti yang disampaikan kepala sekolah tentang karakter anak-anak kelas XII IPS. Apalagi nampaknya mereka pikir sosiologi bukan pelajaran yang menarik, entah karena memang sudah antipati atau karena sosiologi yang mereka terima sebelumnya memang terasa membosankan (soal pengajaran sosiologi yang sering dianggap membosankan ini akan diulas di tulisan lain). Yang paling “menyakitkan”, fisikku yang junkies ini membuat mereka menyebut dan menarik kesimpulan bahwa aku ini seorang “pemakai” !! Yah, meski aku juga bukan orang yang “bener”, tapi satu kenakalan yang sama sekali tidak pernah aku sentuh adalah narkoba. Kontan saja rasa jengkel menyeruak di hati. Tapi entah kenapa, di bagian lain hati aku mengatakan bahwa ini tantangan yang harus dihadapi. Aku harus bisa “menguasai” mereka..!!
Pikiranku dikuasai kesadaran bahwa aku harus segera menemukan cara untuk menaklukkan mereka. Prosesor inti di otak pun segera mengolah data meski memori RAM dan memori harddisknya terbatas. Beruntunglah aku karena tidak pernah ada virus brontok atau worm yang bisa menyerang otak manusia. Sampai akhirnya muncul teori Weber tentang “empati” dan teori Gramsci tentang “hegemoni” yang dulu aku pelajari semasa kuliah. Dengan empati, maka aku mencoba menempatkan diri di posisi mereka, menyelami pikiran mereka, dan mencari tahu apa yang mereka inginkan dariku. Jika berpikir seperti mereka, aku jadi tahu apa yang mereka mau, dan aku pun bisa merumuskan cara apa yang cocok untuk menangani mereka. Ibaratnya, “pegang ekornya tapi lepaskan kepalanya”. Kuasai mereka tanpa mereka menyadari bahwa mereka dikuasai dan bahkan mereka menyerahkan diri untuk dikuasai. Itulah konsep hegemoni yang diungkap Gramsci. Maka kemudian aku katakan pada mereka bahwa di kelasku setiap orang tidak hanya punya kebebasan, tapi juga tanggungjawab masing-masing. Bagiku lebih menyenangkan “santai tapi serius” daripada “serius tapi santai”. Artinya aku membebaskan mereka untuk menikmati pelajaran dengan cara mereka. Jika merasa nyaman mengerjakan soal dengan mendengarkan musik, maka lakukanlah itu. Jika merasa haus atau mengantuk, maka mereka boleh keluar sejenak untuk minum ataupun cuci muka. Tetapi aku pun memberikan batasan-batasan yang harus mereka ikuti. Aku katakan pada mereka bahwa setiap pilihan dan tindakan mengandung konsekuensinya masing-masing. Misalnya mereka boleh protes dan mengkritik, tapi mereka juga harus bisa konsekuen dengan apa yang mereka kritisi dan ucapkan. Setiap pertanyaan dan sanggahan yang diajukan hendaknya dilakukan untuk membangun bukan menjatuhkan. Prinsip demokrasi menjadi landasan utama di kelas. Murid punya hak untuk salah, demikian juga guru tidak selalu benar.
Di luar dugaan, mereka mendengarkan aku. Tapi yang namanya ndableg, setelah itu mereka beramai-ramai mengangkat tangan dan mengatakan “pak, haus, beli minum sebentar ya ?”, “pak, ngantuk, ke belakang ya ?”, dan ini yang paling parah “pak, capek habis olahraga, boleh lesehan dan berbaring di lantai sebentar ?” Yah, masak mau menjilat ludah sendiri, akhirnya aku ijinkan dengan catatan kalau aku bilang “kita mulai” semua harus fokus pada pelajaran. “Sipplah pak” jawab mereka dengan senyum yang seolah-olah sudah menang. “Sialan” batinku, dikerjai murid sendiri di hari pertama mengajar. (ydk)
Friday, January 9, 2009
Guru Kagok
Labels:
diary
Guru Kagok
2009-01-09T00:29:00-08:00
yudha
diary|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)