Friday, January 9, 2009

Rajawali vs Emprit

Kira-kira hal apa yang menjadi “momok” buat anak kelas XII (3 SMA) ? Ya, nampaknya tidak salah kalau kita menjawab Ujian Nasional (UN) sebagai sesuatu yang paling menakutkan buat anak kelas XII. Bagaimana tidak, vonis atas kelulusan mereka tergantung pada beberapa mata pelajaran yang diujikan hanya dalam tiga hari. Buat mereka, bisa lulus artinya seperti lolos dari gua singa dan tidak lulus artinya terperangkap dalam kegagalan dan rasa malu. Mencontek judul film yang dibintangi Nicholas Saputra, UN itu bagaikan “tiga hari untuk selamanya”. Nah, hari-hari yang terlewati sejak aku masuk pertama kali di kelas XII sebetulnya menjadi hari-hari yang cukup menyenangkan. Aku jadi melihat bahwa di balik setiap tindakan dan kenakalan mereka, mereka mempunyai latar belakang dan alasan yang bermacam-macam. Istilahnya, aku jadi melihat kemanusiaan mereka yang sebetulnya jauh berbeda dari yang aku bayangkan. Mereka adalah anak-anak muda yang membutuhkan “sesuatu”. “Sesuatu” itu bisa berarti teman, sahabat, teladan, panutan, dukungan, atau bahkan sandaran. Secara sederhana, aku jadi merasa punya ikatan dan tanggungjawab terhadap mereka (sesuatu yang sebelumnya selalu aku hindari). Ikatan dan tanggungjawab itu menjadi semakin kuat ketika “momok” bernama ujian nasional mulai menghantui mereka.
Kalau mau jujur, sebetulnya bagi murid-muridku, menghadapi UN ibarat menghadapi sebuah pertandingan final. Tentu saja tidak semua orang akan memilih peranan yang sama dalam pertandingan itu. Imbasnya, secara garis besar ada empat peranan yang muncul dari murid-muridku. Yang pertama, mereka yang memilih untuk berperan sebagai “pemain”. Mereka-mereka yang masuk kelompok ini umumnya mempersiapkan diri dengan keras. Bahkan tidak jarang mereka menambah porsi “latihan”, misalnya dengan mengikuti les ataupun setia mendatangi guru mapel buat konsultasi. Tidak semua anak yang masuk kelompok ini adalah anak yang dikenal pintar di kelas, tetapi juga anak-anak yang dikenal lemah dalam pelajaran. Bukan apa-apa, alasan utama mereka memilih jadi “pemain” sebetulnya adalah ketakutan dan kekhawatiran apakah dengan kecerdasan yang “pas-pasan” (ini menurut mereka lho..) mereka bisa lulus. Tapi yang jelas, mereka yang ada di kelompok ini patut diacungi jempol karena semangat dan kemauannya yang besar.
Yang kedua, adalah mereka yang memilih untuk jadi “komentator”. Mereka tahu bahwa “final” itu harus dimenangi. Mereka juga tahu bahwa untuk menang harus berlatih dan mempersiapkan diri dengan baik. Tapi sayangnya, mereka tidak mau bersusah-susah untuk itu. Tahu bagaimana caranya tetapi tidak mau melakoni usahanya. Ingin hasilnya tetapi takut untuk menjalani prosesnya. Murid-murid yang masuk di kelompok ini umumnya selalu berusaha “melarikan diri” dengan melakukan refreshing sebanyak-banyaknya atau dengan ucapan “santai saja, jangan dibuat ngoyo”. Yang gawat, mereka sering berlindung di balik kata “percaya” dan “iman” bahwa mereka pasti lulus. Percaya dan iman sih memang perlu, tapi kalau tanpa usaha sama sekali ? Bahkan burung-burung di udara yang dipelihara Tuhan pun harus terbang kesana kemari dan berusaha keras untuk mendapatkan makanan kan ? Yang jelas, setahuku Tuhan tidak pernah memberikan makanan untuk burung-burung langsung dari langit dan sekaligus menyuapkannya ke paruh mereka. Nah lho..!!
Kelompok yang ketiga, adalah mereka yang memilih jadi “suporter”. Artinya mereka adalah kelompok yang mengekor apapun hasil yang didapat “pemain”. Dengan kata lain mereka yang di kelompok ini cenderung bergantung pada teman-temannya yang jadi “pemain”. Syukur-syukur “pemain” menang, sehingga mereka pun ikut menang. Mereka menanti limpahan jawaban sebagai bentuk “kemurahan hati” dan “belas kasihan”. Otomatis, bagi kelompok ini posisi tempat duduk di waktu ujian menjadi penentu keberhasilan mereka. Kalau dapat tempat duduk dekat si bintang kelas, mereka ibarat duduk di kursi VVIP. Yah, sial-sialnya dapat tempat duduk kelas festival alias dekat dengan anak yang niat meski tidak pintar-pintar amat. Seenggak-enggaknya bisa dapat jawaban meski belum tentu benar.
Yang terakhir, sebuah pertandingan olahraga biasanya tidak lepas dari pertaruhan atau judi. Nah, kelompok petaruh ini biasanya menempuh banyak cara yang umumnya tidak jujur. Yang penting menang. Mereka tahu bahwa UN itu adalah “final” yang harus dimenangi. Tapi mereka juga tidak yakin diri mereka mampu untuk memenanginya dengan jujur. Akhirnya mereka menggunakan semua sumber daya terutama ekonomi yang mereka miliki. Berusaha kesana kemari mendapatkan dan membeli bocoran dengan harga yang kadang tidak masuk akal dibanding dengan kadar kebenarannya, atau memberikan imbalan uang pada teman yang mau memberikan jawaban. Mereka yang masuk kelompok ini bahkan tidak hanya mereka yang memang mampu secara finansial, tetapi mereka juga yang keuangannya pas-pasan. Jual handphone sampai korupsi uang spp pun terpaksa dilakoni demi menempuh jalur “petaruh” ini.
Pertanyaannya, kira-kira dari empat kelompok tadi mana yang paling besar persentase keberhasilannya ? Wallahualam..Susah untuk dipastikan !! Ujung-ujungnya semuanya kembali pada rahasia dan kemurahan hati Sang Khalik. Banyak cerita bahwa anak pintar belum tentu lulus UN, sebaliknya anak bodoh belum tentu tidak lulus UN. Hebatnya, semua murid-murid aku menyadari hal itu..!! Mereka tahu bahwa selalu ada faktor x yang tidak bisa diprediksi, dan itu jadi wilayah Tuhan. Jadinya selain mempraktekkan cara-cara di atas, mereka juga beramai-ramai mencari Tuhan. Yang biasanya cuma nongkrong di masjid, menjelang UN mulailah mereka sholat tahajud. Yang biasanya ke gereja kalau sempat, menjelang UN mereka nyempet-nyempetin diri ke gereja. Yang biasanya sebelum makan saja emoh berdoa, menjelang UN sebelum dan sesudah makan pun berdoa. Kalau mereka yang termasuk kelompok “pemain” sih agaknya memang sudah pas dan wajar kalau selain berusaha mereka juga berdoa. Lah kalau kelompok “komentator”, “suporter” dan “petaruh” ?Agaknya dialog berikut bisa menggambarkan jawabannya. “Tuhan kan melarang kita berbuat yang tidak jujur. Lha kamu mau berbuat curang, terus ngapain kamu berdoa ? itu kan aneh ?” tanya si Paidi pada Darmo. Darmo menjawab “lho, curang itu kan tergantung dari mana kita melihatnya. Kalau buat aku itu bentuk kreativitas dan usaha supaya berhasil. Makanya minta ijin sama Tuhan, seenggak-nggaknya biar nggak ketahuan sama pengawas..”. Itulah realitas kita, berbuat salah pun masih mencari pembelaan dan pembenaran. Jangan-jangan jika karena curang terus kemudian mereka lulus, itu pun dianggap sebagai kewajaran ? Wah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya mereka setelah lulus UN nanti. Jadi rajawali, atau sekedar emprit ?? (ydk)

 


Design by: Pocket
This template is brought to you by : allblogtools.com Blogger Templates