Friday, February 13, 2009

CiNTa NggAk PerLu DiPiKir !!


Jatuh cinta…berjuta rasanya…itu katanya Tante..eh Mbah Titik Puspa. Kontan saja kita semua pasti manggut-manggut tanda setuju. Memang kalau lagi jatuh cinta rasanya berapi-api melulu, apalagi pas lagi anget-angetnya jadian, wuiihh...bulan madu terus. Bawaannya lengket kayak perangko. Awal mulanya memang indah, namun bila kita terlena, tanpa kita sadari rasa menggebu-gebu itu semakin lama surut dan semuanya menjadi tak lagi istimewa. Belaian sayang rasanya tak selembut belaian pertama yang kita terima, kecupan lembut rasanya tak seindah kecupan pertama. Semuanya menjadi begitu biasa…bahkan membosankan..Hingga pada akhirnya, orang banyak menggali dan mencari makna cinta. Pencarian akan makna cinta itulah, yang sebenarnya memicu antusiasme kita untuk merayakan hari valentine. Karena kita berpikir, hari valentine bisa menjadi momentum tepat untuk mengingatkan kita akan makna cinta, dan merangsang hati serta pikiran kita untuk terus menerus mengagungkan cinta. Tapi justru disitulah masalahnya, kita terlalu banyak berpikir soal cinta !!

Ketika hari valentine tiba, kita sibuk mempersiapkan segala hal yang terbaik bagi pasangan kita dan orang yang kita kasihi. Entah bagaimanapun caranya, bunga dan coklat menjadi sesuatu yang hukumnya wajib untuk kita berikan. Ucapan selamat dengan beragam untaian kata-kata indah nan puitis adalah sesuatu yang wajib keluar dari bibir kita. Lagu-lagu yang terngiang di telinga pun haruslah lagu-lagu yang lembut, melow dan berkesan romantis. Tidak ketinggalan pula puisi-puisi cinta bernada mesra yang ikut berseliweran melalui sms, surat ataupun email. Hari valentine seakan-akan menjadi hari yang “manis”, dimana setiap orang berpikir keras untuk menyenangkan hati orang yang dikasihinya. Tetapi sekali lagi, disitulah masalahnya, kita terlalu banyak berpikir soal cinta !!

Cinta pada hakekatnya adalah rasa, timbul dari perasaan ingin menyayangi, melindungi, memanjakan, dan memberikan yang terbaik. Artinya setiap orang yang memiliki rasa, maka ia juga memiliki cinta. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya kita tidak perlu mencari makna cinta, kita tidak perlu menggali arti cinta dan kita tidak perlu pula berpikir soal cinta. Mengapa ?? Karena cinta itu adalah kita ! Kita adalah makhluk cinta ! Kita tidak perlu bunga atau coklat untuk menunjukkan cinta yang kita miliki, karena cinta adalah bagian dari hakekat kita sebagai manusia. JIKA KITA INGIN MENUNJUKKAN CINTA, MAKA TUNJUKKANLAH DIRI KITA APA ADANYA !! Cinta yang kita tunjukkan tidak akan menjadi bermakna jika ia hanya disalut oleh topeng-topeng keromantisan yang tidak tulus. Karena dengan demikian, maka cinta yang menggebu-gebu itu hanya akan menjadi sesuatu yang sementara. Itulah mengapa banyak orang merasakan adanya perbedaan rasa cinta mula-mula dengan cinta yang sudah berjalan sekian lama. Karena ia tidak didasari dengan kejujuran dan ketulusan yang apa adanya, namun dibangun di atas pondasi keindahan dan keromantisan yang semu.

Jika ada yang bertanya pada saya tentang makna cinta, maka ini jawaban saya: Cinta adalah suatu wujud keinginan, dalam niat dan tindakan. Cinta harus menjadi sesuatu yang mendasari segala sesuatu, membuat segala sesuatu menjadi ringan dan memberi tanpa mengharapkan balasan. Cinta tidak berkata: "aku mencintaimu karena aku membutuhkanmu”, tetapi cinta berkata: "aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu". Cinta mengubah kekerasan hati menjadi kelembutan hati. Cinta bukan hanya saling memandang satu sama lain, namun bersama-sama melihat pada satu tujuan. Cinta bukanlah sesuatu yang tanpa masalah dan berani mengambil resiko. Cinta melengkapi ketidaksempurnaan yang muncul pada kita dan orang yang kita cintai. Cinta memerintah tanpa pedang dan mengikat tanpa tali. Dan cinta tidak hanya untuk dibayangkan atau dipikirkan, tetapi juga dilakukan.

Kembalikanlah cinta pada makna dan hakekatnya. Yakni rasa yang penuh kejujuran dan ketulusan. Kita tidak perlu merekayasa sesuatu untuk memberikan cinta. Kita tidak perlu bersembunyi di balik kata-kata indah untuk menyatakan cinta. Dan kita juga tidak perlu berpikir bagaimana caranya mencintai. Cinta ada untuk kita lakukan bukan hanya dipikirkan. Cukup menjadi diri kita sebagaimana adanya dan biarkan cinta itu sendiri yang menuntun kita. Cinta adalah bagian dari keistimewaan kita sebagai manusia. Dengan begitu maka cinta kita yang terlihat dan dirasakan orang lain adalah cinta yang jujur, tulus, penuh kesungguhan, dan tanpa rekayasa. Karena sesungguhnya, jika kita memberikan cinta pada orang yang mencintai kita, itu hal yang biasa. Tetapi jika kita memberikan cinta pada orang yang tidak mengenal kita atau bahkan membenci kita, itu hal yang luar biasa. Selamat Hari Valentine 2009.(ydk@0209)

You can Giving without Loving but You can't Loving without Giving

Selengkapnya...

Monday, February 9, 2009

Ada Gosip di Sekolah ?? Hmm...

Gosip ?? Itu konsumsi kita orang Indonesia. Melebihi menu wajib makan tiga kali sehari, acara tentang gosip di televisi bisa muncul lima sampai enam kali sehari. Belum lagi di koran, majalah, internet, sampai tabloid-tabloid yang memasang gosip sebagai jualan utamanya. Hebatnya, hampir semua orang tidak bisa lepas dari “candu” gosip ini. Bahkan orang yang antipati sekalipun, mau tidak mau harus mengkonsumsi gosip agar tidak dicap ketinggalan informasi dan “tidak gaul”. Apalagi mereka yang sudah menganggap gosip bagai “makanan pokok” sehari-hari. Tidak hanya jadi pendengar setia, terkadang mereka juga melakoni peran sebagai pembahas gosip, komentator gosip, atau bahkan penyebar gosip. Gosip bisa masuk ke segala ranah kehidupan. Dari keluarga, perkampungan, perkantoran, sampai sekolah. Gosip di sekolah ?? Hmm...

Wikipedia menulis bahwa gosip mempunyai makna “an idle talk or rumor, especially about the personal or private affairs of others. It forms one of the oldest and most common means of sharing (unproven) facts and views”. Atau bisa diterjemahkan secara bebas sebagai “sebuah pembicaraan mengenai kabar burung atau rumor, terutama mengenai persoalan pribadi seseorang yang bisa jadi menyangkut hubungannya dengan orang lain, dimana kebenarannya kebanyakan tidak dapat dibuktikan dengan fakta. Dalam sosiologi sendiri, gosip dapat digunakan untuk dua maksud. Yang pertama, gosip bisa digunakan untuk “menyerang” lawan ketika kita berada dalam situasi kontravensi (lebih dari persaingan tetapi belum/tidak menjadi konflik terbuka) dengan orang lain. Yang kedua, gosip bisa digunakan sebagai alat pengendalian sosial. Biasanya orang yang digosipin akan lebih berhati-hati dalam bertindak dan bertingkah laku. Disitu peranan gosip sebagai alat pengendalian sosial jadi terlihat jelas.

Dari definisinya dan pengalaman sehari-hari, meski bisa jadi benar, tapi kebanyakan gosip tidak didukung kevalidan data dan fakta. Namun masalahnya, gosip bisa menjadi demikian bombastis dan dramatis sehingga orang akan cenderung menikmatinya bahkan mempercayainya. Nah, di sekolah, gosip macam apa yang biasanya muncul ? Paling umum, gosip tentang guru. Biasanya segala berita tentang guru akan jadi santapan “lezat” bagi obrolan murid-murid. Dari hobi guru, kebiasaan guru, hubungan antar guru, status guru, sampai yang berkaitan dengan urusan cinta dan keluarga pun dibahas dalam “FGM” alias “Forum Gosip Murid” ini. Tapi jangan salah, kadangkala bukan hanya murid yang menggosipkan guru, guru pun juga bisa menggosipkan murid lho hahaha...Kalau guru digosipin, ada dua respon yang muncul. Bisa jadi guru yang bersangkutan akan hati-hati menjaga sikap dan cenderung jaim. Wajar kan, karena gosip tadi memang punya fungsi pengendalian sosial di masyarakat. Bisa jadi pula, guru itu akan cuek saja dan bersikap ndableg, terutama karena mereka sadar itu cuma gosip. Di lain sisi, kalau murid digosipkan oleh guru, biasanya cenderung cuek, bukan karena kebal, tapi lebih karena ketidaktahuan mereka bahwa mereka telah jadi bahan obrolan guru, hahaha...Tapi kalau umpama si murid tahu, dijamin pasti muncul rasa grogi yang kadarnya minta ampun di depan guru.

Gosip di sekolah bisa jadi sesuatu yang menyebalkan bagi pribadi yang menjadi objek gosip itu. Tetapi di sisi lain, yang namanya gosip terkadang bisa jadi bumbu penyedap yang akan membuat dinamika kehidupan sekolah menjadi lebih dan berasa. Entah berasa manis, asin, pahit, atau bahkan berasa rame. Gosip bisa menjadi sesuatu yang mewarnai kehidupan sekolah, asal tentu saja masih dalam batas yang wajar dan tidak merugikan orang lain. Kalau misalnya gosip sudah berubah menjadi fitnah, maka lain urusannya. Harus ada tindakan tegas bila gosip sudah berubah menjadi fitnah. Gosip adalah gosip, biarkan ia terus “mengambang”. Jangan pernah kita mempercayainya seratus persen, tetapi jangan pula kita menolaknya mentah-mentah. Karena gosip terkadang bisa bermetamorfosa menjadi kebenaran. Gosip adalah kabar burung, yang beterbangan dengan liar. Jangan kita menganggap dan merubahnya menjadi kabar ayam, kabar sapi, kabar kambing, atau kabar kuda..

So, langkah apa yang mesti kita lakukan kalau kita tahu kita sedang jadi bahan gosip di sekolah ??
1. PeDe saja, kalau kita digosipin berati kita orang yang istimewa, karena kita mampu menarik minat banyak orang untuk membicarakan kita.
2. Introspeksi diri, jangan-jangan gosip itu benar adanya, atau jangan-jangan kita melakukan kesalahan sehingga orang lain punya alasan untuk “menyerang” kita dengan gosip.
3. Cuek dan bersikap apa adanya, terutama kalau gosip itu tidak benar. Kalaupun benar, tetap saja bersikap cuek dan apa adanya, karena akan membantu kita terlihat “innocent” di depan orang lain haha..
4. Dilarang panik dan emosional !! Kita tidak perlu susah-susah mencari orang yang menyebarkan gosip dan melabraknya. Cukup buktikan dengan tindakan, tingkah laku dan sikap hidup kita. Gosip tidak perlu dilawan dengan emosi, tapi dengan pembuktian diri.
5. Berdoa saja, yakin dan percaya Tuhan akan membuka mata orang-orang akan kebenaran yang kita pertahankan. Syukur-syukur orang yang menggosipkan kita “bertobat” dan “kembali ke jalan yang benar”. Kalo tidak ?? lemah-lemah teles, ben Gusti Allah sing mbales...

Semoga langkah-langkah di atas tidak perlu kita lakukan sama sekali. Karena kalau kita melakukannya, berarti kita sedang digosipin kan ?? Hehe..Tapi sekali-kali digosipin boleh lah, biar kita tahu rasanya jadi artisss, hahaha...(ydk@0209)


Selengkapnya...

Sunday, February 8, 2009

Perubahan Sosial

Berikut adalah materi dan LKS mengenai Perubahan sosial. Download dengan cara mengklik judul di atas dan ikuti langkah selanjutnya. Jangan lupa cantumkan sumbernya dari blog ini ya..thanks.


Selengkapnya...

Friday, February 6, 2009

Mau Sukses Ujian ?? Yang Penting Tenang Bozz...

Suatu ketika di sebuah bengkel kayu, seorang pekerja sedang bertugas memasah balok kayu yang belum dibentuk. Untuk mempermudah pekerjaannya, ia melepas arloji kesayangan yang melingkar di tangannya dan meletakkannya di atas tumpukan kayu. Beberapa saat kemudian secara tidak sengaja pekerja itu menyenggol arlojinya hingga jatuh ke dalam tumpukan kayu. Ia pun bersama kawan-kawannya sesama pekerja beramai-ramai berusaha keras mencari arloji itu selama hampir dua jam, namun mereka tidak dapat menemukannya sama sekali. Hingga akhirnya pekerja itu beserta kawan-kawannya terduduk lelah dan mulai menyerah. Di luar bengkel itu ada seorang anak kecil yang sedang bermain. Ia mendengar keramaian para pekerja yang mencari arloji. Saat mereka lelah dan beristirahat, anak kecil itu memberanikan diri mencari arloji itu, dan hanya dalam waktu kurang dari lima menit ia berhasil menemukan arloji yang terjatuh dalam tumpukan kayu tersebut. Melihat itu para pekerja heran, dan mereka bertanya bagaimana caranya anak kecil itu mampu menemukan arloji yang dicari-cari ? Anak kecil itu menjawab “tidak ada yang istimewa, ketika anda semua beristirahat tadi, di dalam keheningan aku mendengarkan suara detak arloji sehingga aku tahu dimana ia jatuh “.
Tanpa kita sadari, kita sering bersikap seperti para pekerja itu dalam menghadapi segala sesuatu. Ketika kita harus menghadapi tantangan di depan mata, yang muncul di benak kita adalah ketakutan-ketakutan, kekuatiran-kekuatiran, kepanikan, dan segala macam pertimbangan yang berujung pada ketidakyakinan. Akibatnya kita jadi tidak bisa melihat inti sebenarnya dari apa yang kita hadapi dan otomatis kita juga tidak dapat menemukan solusinya. Secara psikologis, kita sering larut dalam tekanan permasalahan sehingga permasalahan itu justru mampu mengaburkan kemampuan kita dalam menghadapinya. Sigmund Freud yang membagi manusia menjadi tiga unsur, yakni “super ego” (unsur tertinggi yang berkaitan dengan pengendalian diri), “ego” (unsur kedua yang berkaitan dengan naluri alami tetapi dalam batas tertentu masih bisa dikendalikan), dan “id”(unsur ketiga yang berkaitan dengan nafsu dan naluri) menganggap bahwa ketika kita panik, maka unsur “id” yang sedang menguasai kita, dan unsur “super ego” menjadi tidak lagi terlihat. Maka kemudian pengendalian diri adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan. Itulah mengapa konsep berdoa, meditasi, berpuasa, atau laku prihatin dalam budaya kita menjadi sangat penting. Tujuannya adalah melatih kita untuk mengendalikan diri dan tenang dalam berbagai situasi.
Jika kita tenang, maka simpul yang rumit akan terlihat jalinannya. Sebaliknya bila kita panik, maka simpul itu akan terlihat seperti gerendel yang tak akan bisa dibuka. Jika kita tenang, kita akan bisa melihat solusi dan hikmat di balik masalah. Jika kita tenang dalam menghadapi ujian, maka soal yang sulit akan membuat kita terpacu untuk mengeluarkan potensi terbaik kita. Dan sebaliknya jika kita panik, tegang, dan nervous, maka soal yang mudah pun justru akan terlihat sulit di mata kita. Milikilah ketenangan dalam segala hal, maka kemenangan akan bersahabat dengan kita. So,mau sukses ujian ?? yang penting tenang bozz..(ydk@2008)


Selengkapnya...

Tuesday, February 3, 2009

Mengejar Kecantikan dengan Pemutih Kulit, Sebuah Wujud Cinderella Complex - by Yudha Kusniyanto, S.Sos

Seorang perempuan muda masuk ke dalam lift, dari permainan bola matanya tampak ia sangat berharap laki-laki di dekatnya melirik padanya. Laki-laki itu digambarkan sebagai pria metroseksual yang ideal. Gelisah bercampur harap mendominasi gerak-gerik sang perempuan. Tak dinyana, harapan tinggal harapan, kulitnya terlalu gelap untuk menarik perhatian sang lelaki. Alhasil, kulitnya yang gelap menempatkannya sebagai perempuan yang “kurang menarik” atau bahkan “tidak diinginkan”. Adegan berikutnya, perempuan tadi mengoleskan krim pemutih yang (katanya) bisa menjadikan kulitnya lebih putih dan bersih. Dan abrakadabra, beberapa minggu kemudian kulitnya menjadi putih.
Dalam pertemuan selanjutnya dengan sang lelaki, bak dongeng, sang lelaki pun dengan sukses meliriknya. Bukan itu saja, sang lelaki jatuh cinta pada sang perempuan yang beberapa minggu sebelumnya bukanlah siapa-siapa di matanya. Perempuan dalam iklan tadi di hadapan sang lelaki memperoleh nilai lebih setelah kulitnya “memutih”. Ia menjadi cantik dan menarik di mata sang lelaki. Dalam versi yang lain, seorang gadis bermain tenis dengan seorang gadis lain yang dikisahkan sebagai kawan karibnya. Si gadis mengamati kawannya itu dengan sorot mata penuh kekaguman. Bukan permainan tenisnya, tetapi lebih pada kulit putihnya yang menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Ada rasa minder dan kurang percaya diri menghinggapinya ketika mendapati kulitnya tidak seputih kawannya. Kemudian, si gadis tadi menggunakan krim kecantikan dengan label “whitening” (memutihkan). Beberapa minggu kemudian, kulit si gadis menjadi putih, ia pun menjadi percaya diri dan berimbas kepada prestasi dalam olahraga (tenis) yang digelutinya. Krim pemutih dalam iklan tersebut menjadi “doping” terampuh untuk mendongkrak kepercayaan diri si gadis yang tadinya merasa “kurang” karena kulitnya yang tidak putih. Artinya, ketika ketika ia putih maka sebagai perempuan ia menjadi “lebih”, ia merasa lebih cantik dan lebih menarik dibandingkan ketika ia kurang putih.
Contoh di atas merupakan genre iklan yang mendominasi slot iklan di media televisi akhir-akhir ini. Kulit putih, adalah komoditi yang ditawarkan lewat iklan tersebut. Ada kesamaan dalam setiap iklan tersebut, yakni bahwa dengan menjadi putih, seorang perempuan akan mempunyai nilai lebih dalam relasinya, bukan hanya dengan lawan jenis (laki-laki), tetapi juga dalam relasi antar perempuan itu sendiri. Dalam iklan-iklan itu, perempuan merasa lebih percaya diri karena ia dikatakan cantik ketika kulitnya putih. Akhirnya, secara eksplisit maupun implisit, kulit putih dideklarasikan sebagai (bagian dari) kecantikan. Dan bahkan lebih ekstrim lagi, bahwa yang cantik itulah yang putih dan yang putih itulah yang cantik. Contoh-contoh iklan di atas (lagi-lagi) berbicara demikian. Tanpa kulit putih sekalipun, secara natural sang model iklan adalah seorang yang cantik dan punya “feromon” tersendiri untuk menggetarkan naluri para lelaki, namun dalam iklan dikisahkan bahwa daya tarik sang model belum cukup menarik perhatian jika ia belum atau tidak putih. Artinya, iklan di atas mengatakan bila kulitnya belum (tidak) putih, ia belum layak untuk disebut “cantik” atau termasuk dalam kategori “cantik”. Pertanyaannya kini, apakah sebetulnya ‘kecantikan’ itu ?

Kecantikan, dari Plato hingga Sigmund Freud

Sulit kiranya bagi banyak orang untuk mendefinisikan kecantikan secara jelas. Apakah kecantikan itu milik Cinderella dan Putri Salju saja ? Bagaimanakah sesungguhnya ukuran mutlak dari kecantikan ? Banyak ahli filsafat dan pemikir berupaya menjawab pertanyaan ini.
Sebagian ahli berpendapat bahwa kecantikan bukan sekedar fisik, namun juga identik dengan kebahagiaan, cinta, kebaikan, hikmat dan kebenaran, serta pengetahuan (Synnott, 1993: 145). Dalam barisan filsuf yang mendukung pendapat ini ada Plato dan Socrates. Plato menegaskan bahwa kecantikan adalah proses pencarian dengan tujuan akhir adalah pengetahuan tentang apa itu kecantikan. Sedangkan Socrates menambahkan bahwa kecantikan adalah penghormatan berdasarkan kekuasaan dan kekuatan cinta .
Sementara itu, filsuf Yunani yang lain, Aristoteles, lebih mendefinisikan kecantikan berdasarkan struktur wajah, yakni yang teratur, simetri, “tertentu” serta proporsional (Synnott, 1993: 147). Pendapat ini diikuti diantaranya oleh para seniman seperti Praksiteles, Leonardo da Vinci, Durer, Vitruvius, dan Le Corbusier. Para seniman ini cenderung menguatkan definisi tersebut karena mereka mengekspresikan kecantikan dalam struktur karya-karya seni mereka. Seperti misalnya lukisan karya Leonardo da Vinci yang sangat terkenal, Monalisa.
Para astrolog pada jaman Renaissance melihat bahwa kecantikan lebih bersifat kosmik dan bersumber dari wajah (Synnott, 1993: 148). Sedangkan para filsuf aliran kristianitas lebih melihat kecantikan dari dua sisi, yakni sisi asketik dan sisi transenden (Synnott, 1993: 152 ; 159). Di kelompok pertama misalnya, ada Plotinos yang berpendapat bahwa kecantikan tercermin dari kebaikan. Di lain pihak, kelompok kedua, seperti misalnya Agustinus berpendapat bahwa kecantikan merefleksikan ALLAH, artinya Agustinus meyakini bahwa kecantikan atau keindahan adalah ALLAH, dan ALLAH adalah kecantikan atau keindahan. Hal ini tidak berbeda dengan khas pemikiran Renaissance yang sepakat bahwa kecantikan fisik disebabkan oleh kecantikan spiritual.
Bertolak belakang dengan itu, Sigmund Freud secara lugas menyatakan bahwa kecantikan identik dengan seksualitas, berakar di dalam kesenangan seksual, dan maknanya yang orisinil adalah “dirangsang secara seksual” (Synnott, 1993: 171). Freud tidak mengada-ada dalam merumuskan hal itu. Ia berangkat dari pemikiran dasar bahwa kecantikan hanya ada di dalam pikiran manusia. Pikiran tersebut menuntun manusia pada naluri alaminya, yakni kebutuhan akan seksualitas. Sebagai contoh, bila seorang laki-laki melihat seorang perempuan yang dianggapnya cantik, pikirannya akan mengasosiasikan diri untuk memiliki perempuan tersebut, dan naluri alaminya akan memunculkan keinginan untuk berhubungan seksual dengan perempuan tersebut. Sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa organ seksual manusia yang paling ampuh adalah pikiran manusia itu sendiri.
Kebanyakan filsuf dan pemikir diatas memiliki satu kesamaan dalam melukiskan kecantikan. Yakni kecantikan hanya dapat dirasakan oleh subjektivitas orang per orang. Dan subjektivitas itu bisa berbeda-beda dalam melukiskan kecantikan. Karena apa yang dilihat, dipikirkan, ataupun dirasakan oleh orang per orang tentu saja berbeda. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan pandangan Saussure (Berger, 2000: 12) maka kecantikan tak ubahnya semacam tanda yang mempunyai hubungan arbitrer (bebas) antara penanda dan petandanya.

Putih sebagai Simbol Kecantikan yang Dikonstruksikan
Jika para filsuf mengatakan bahwa makna kecantikan merupakan subjektivitas masing-masing individu, maka kecantikan itu lebih pada “rasa”. Namun kini kaum perempuan percaya pada konsep baru, bahwa kecantikan dapat dimiliki oleh setiap perempuan dengan penggunaan produk, mode pakaian atau terapi kecantikan tertentu (Tejamulya, 2006). Artinya makna kecantikan telah menyempit pada segi fisik. Kecantikan diukur berdasarkan kriteria-kriteria fisik tertentu. Salah satu kriteria yang banyak dikemukakan adalah putih tidaknya kulit seseorang. Putih tidaknya seorang perempuan menentukan kecantikannya dan penerimaan laki-laki terhadapnya. Hal ini setidak-tidaknya terlihat melalui iklan-iklan produk pemutih yang gencar ditayangkan di televisi.
Mengapa kulit putih bisa menjadi kriteria kecantikan ? Di Indonesia terutama, hal ini tidak bisa dilepaskan dari 3 faktor utama, yakni faktor sejarah, hegemoni media dan pemasaran produk pemutih kulit.
Prabasmoro (2003) yang melakukan analisa semiotika terhadap iklan sabun menyebut konstruksi putih itu cantik didasarkan pada obsesi laki-laki pada image perempuan indo (didefinisikan Prabasmoro sebagai keturunan campuran antara orang Indonesia etnis manapun dengan orang Eropa / Amerika berkulit putih). Mengapa indo ? Hal ini, menurut Prabasmoro berhubungan dengan faktor sejarah, yakni adanya kolonialisme dan imperialisme oleh bangsa barat (2003: 37). Dengan kolonialisme dan imperialisme, maka bangsa penjajah menduduki kelas tertinggi dalam masyarakat, dan sebaliknya pribumi menjadi kelas terendah. Maka kemudian figur dan personalitas bangsa penjajah dianggap unggul dan lebih tinggi dari bangsa pribumi. Demikian halnya dengan figur perempuan barat dianggap unggul, berkelas, lebih cantik, dan lebih mempunyai status sosial tinggi di mata masyarakat ketimbang figur perempuan pribumi. Oleh karenanya, perempuan barat atau keturunan barat (baca: indo) dianggap akan memberikan kebanggaan tersendiri bagi lelaki pribumi dan di satu sisi ikut menaikkan status sosial lelaki pribumi. Maka itu kemudian bukanlah hal aneh bila orientasi lelaki pribumi akan figur perempuan ideal ada pada figur perempuan indo. Hal ini kemudian memicu para perempuan pribumi mengidealkan dirinya pada figur perempuan indo agar mereka menarik di mata laki-laki.
Dalam perkembangannya kini, bukan hanya tipe perempuan indo saja yang menjadi kiblat kriteria kecantikan yang diidamkan, namun juga tipe perempuan oriental (Mandarin, Jepang, dan Korea). Hal itu merupakan imbas dari tayangan-tayangan televisi yang banyak digemari perempuan, yang kebetulan produksi dari negara-negara oriental. Secara fisik perempuan oriental yang menjadi bintang dalam tayangan-tayangan televisi tersebut berkulit putih. Sehingga kemudian tanpa disadari perempuan dan laki-laki Indonesia mengidentifikasikan profil seperti perempuan oriental sebagai perempuan yang cantik. Fenomena tersebut salah satu contoh dari faktor kedua, yakni pengaruh media massa, terutama televisi. Hal ini tidaklah mengherankan karena dewasa ini televisi telah menjadi sarana manusia menembus sekat-sekat antar negara. Meskipun apa yang baik bagi perempuan di satu negara belum tentu baik atau sesuai pula bagi perempuan di Indonesia.
Faktor ketiga yang juga semakin mengukuhkan konsep kecantikan berdasarkan putih tidaknya seorang perempuan adalah pemasaran produk-produk pemutih yang dilakukan oleh produsen melalui iklan-iklan di televisi. Para produsen, rupa-rupanya menangkap keinginan dari para perempuan untuk mempunyai kulit putih. Mereka kemudian memproduksi produk-produk pemutih kulit yang disertai dengan kampanye yang meyakinkan setiap perempuan bahwa untuk bisa disebut cantik seorang perempuan haruslah berkulit putih. Kampanye tersebut kemudian dimanifestasikan lewat slogan-slogan maupun iklan audio visual di televisi. Sasarannya bukan hanya kaum perempuan secara langsung, namun juga laki-laki yang diharapkan memercayai konsep tersebut sehingga orientasinya akan perempuan cantik mengarah pada perempuan yang berkulit putih. Para produsen tersebut tentunya mengharapkan keuntungan sebesar-besarnya dari penjualan produk pemutih. Dan itu artinya, semakin banyak orang terpengaruh konsep kecantikan berdasarkan putih tidaknya kulit, semakin banyak pula keuntungan yang akan didapatkan. Dan bagi perempuan sendiri hal itu berarti pemanfaatan perempuan bagi konsumtivisme (Murniati, 2004: 180).
Dari sini nampak bahwa kulit putih seolah-olah telah diidentikkan dengan kecantikan. Berangkat dari hasrat laki-laki terhadap figur perempuan cantik yang putih dan keinginan produsen produk pemutih kulit untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya maka kulit putih kemudian diletakkan sebagai penanda dari kecantikan. Di dalamnya tidak lagi hanya terkandung makna ras ataupun genetika namun terkandung pula makna status dan prestise. Artinya putih telah dikonstruksikan menjadi simbol dari kecantikan. Simbol tidak pernah benar-benar bersifat arbitrer (bebas), demikian diungkapkan Saussure (Berger, 2000: 23). Simbol mempunyai asosiasi tertentu dengan petanda yang tidak tergantikan. Asosiasi itu didasarkan atas kesepakatan. Dalam hal ini oleh kapitalis dan laki-laki, dan bahkan (mau tidak mau) disepakati oleh perempuan itu sendiri. Dengan kata lain putih dikonstruksikan menjadi simbol kecantikan sehingga bila seseorang berinteraksi dengan sesuatu yang putih, ia akan mengasosiasikannya dengan kecantikan. Konstruksi putih sebagai simbol kecantikan tersebut baik secara sadar maupun tidak telah menghegemoni kaum perempuan di Indonesia. Hegemoni, pada awalnya dikemukakan Gramsci (1891-1937) untuk menjelaskan penguasaan yang dilakukan kaum borjuis dan negara pada kaum proletar dengan menggunakan ideologi, bukan kekerasan (Simon, 1999: 20-23). Artinya, kapitalis menguasai buruh untuk keuntungannya, sedangkan kaum buruh sendiri tidak sadar bahwa mereka dikuasai karena mereka terbuai kenyamanan yang diberikan oleh kapitalis. Dewasa ini, konsep hegemoni Gramsci diterapkan dalam dominasi konsep dan realitas, dimana pandangan mereka yang didominasi diarahkan sesuai pandangan yang mendominasi, sehingga mempengaruhi kehidupan sosial dan pribadi pihak yang didominasi (Simon, 1999: xix). Dalam hal ini kemudian pandangan putih sebagai simbol kecantikan merupakan konsep laki-laki dan para produsen pemutih kulit yang ditujukan pada kaum perempuan. Harapannya tentu saja agar kaum perempuan berorientasi pada kulit putih sebagai simbol kecantikan.

Mengejar Kecantikan, Sebuah Usaha Perempuan Menegakkan Eksistensinya
Mengapa setiap perempuan ingin cantik? Wolf (2004) mengemukakan bahwa ada keinginan alami dari perempuan untuk tampil cantik, sedangkan di pihak lain setiap laki-laki juga punya keinginan alami untuk memiliki perempuan yang cantik (Wolf, 2004: 29). Tekanan dari rasa ingin memiliki ini dirasakan oleh perempuan, bukan laki-laki, sehingga kemudian menjelma dari usaha-usaha perempuan mempercantik dirinya. Perempuan menurut Freud, bahwasanya lebih mempunyai gejala narsisme, yang mengagumi diri sendiri dan ingin menampilkannya pada orang lain, sehingga orang lain dapat merasakan kekaguman itu (Tejamulya, 2006). Perempuan sejak usia dini terlatih untuk meneliti diri sendiri, sebagai preseden historis yang harus ditanggung sepanjang hayatnya. Perempuan melihat diri mereka sendiri sebagai obyek, dimana ketika lelaki melihat perempuan, perempuan melihat dirinya sendiri yang sedang dilihat oleh lelaki. Sesuatu yang disebut oleh Cooley sebagai looking-glass self (Soeprapto, 2002: 114). Hal ini ditegaskan pula oleh Mitchell (1993: 65), bahwa konstruksi seksualitas laki-laki dan perempuan direpresentasikan dalam harapan, hasrat, dan fantasi, dimana laki-laki mengkonstruksikan perempuan idealnya dan perempuan mengkonstruksikan dirinya agar ideal dan sepadan dengan ideal dalam konstruksi laki-laki.
Dari sini terlihat bahwa keinginan untuk tampil cantik tersebut bagi perempuan merupakan bagian dari usaha untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Yang pertama, perempuan ingin menunjukkan eksistensi dirinya di mata laki-laki. Bukan untuk menundukkan dan menguasai lelaki, tetapi lebih pada kebutuhan akan perlindungan dari lelaki. Bahkan ketika secara kasat mata seorang perempuan terlihat tegar dan bahkan berkuasa atas laki-laki, ia tidak bisa memungkiri kebutuhannya akan laki-laki. Hal ini disebut oleh Dowling (1989) sebagai Cinderella complex, yakni :

“…suatu jaringan sikap dan rasa takut yang sebagian besarnya tertekan sehingga wanita tidak bisa dan tidak berani memanfaatkan sepenuhnya kemampuan otak dan kreativitasnya. Sebagaimana halnya Cinderella yang terbaring di peti kaca menanti sang paneran membangkitkannya, demikianlah wanita masa kini masih menanti sesuatu yang berasal dari luar, untuk mengubah hidup mereka.” (1989: 17)

Sederhananya, Dowling mengatakan bahwa perempuan berada dalam situasi yang senantiasa ingin dilindungi dan punya kecenderungan untuk tergantung, dalam hal ini kepada laki-laki. Sekuat-kuatnya perempuan memperjuangkan dirinya, sekeras-kerasnya perempuan ingin menunjukkan dominasinya pada laki-laki, ada kebutuhan tersendiri pada perempuan akan perlindungan laki-laki yang muncul baik disadari maupun tidak. Hal ini tampak melalui slogan Girl Power dari lirik sebuah lagu berjudul sama yang dipelopori oleh grup musik perempuan dari Inggris, Spice Girls :

Be strong, be brave, be loud and control your own destiny. Believe that your self can do anything you want to do and be confident. We have to be independent, but it doesn’t mean that you don’t need a boy…”

Lagu tersebut ditujukan pada perempuan di seluruh dunia dan kemudian diadopsi oleh banyak majalah perempuan untuk mengajak perempuan menunjukkan kekuatan perempuan, namun (sekali lagi) bagaimanapun perempuan tetap membutuhkan laki-laki. Karena “kebutuhan” itulah, maka perempuan menghadapi kecemasan dan kegelisahan tersendiri. Ada keraguan akan diri sendiri yang dihadapi oleh perempuan, demikian hasil penelitian psikolog Judith Bardwick (Dowling, 1989: 25). Kurangnya rasa percaya diri itu, terutama mengenai bagaimana diri mereka di mata laki-laki mendorong perempuan merawat dirinya, memoles, bahkan merubah tubuhnya agar predikat “cantik” melekat pada dirinya agar mereka mendapatkan apa yang mereka butuhkan dari laki-laki.
Yang kedua, perempuan ingin menunjukkan eksistensi dirinya di mata masyarakat. Sementara masyarakat sendiri terkonsep untuk melihat perempuan dengan kacamata laki-laki karena sistem sosial di masyarakat pada dasarnya berorientasi pada laki-laki atau patriarkhi, demikian diungkapkan Walby (1993: 18). Walby juga menegaskan bahwa dominasi patriarkhi ini meliputi wilayah privat dan publik, dimana pada wilayah privat patriarkhi didasarkan pada keluarga dan rumah tangga, sedangkan pada wilayah publik patriarkhi diletakkan pada pekerjaan dan negara. Masyarakat, baik sadar maupun tidak, telah memosisikan perempuan sebagai “yang kedua” setelah laki-laki, seperti dinyatakan Simone de Beavoir dalam tulisannya The Second Sex (1949) :

One is not born, but rather becomes, a woman. No biological, psychological, or economic fate determines the figur that the human female present in society; it is civilization as a whole that produces this creature, intermediate between male and eunuch, which is described as feminine. Only in intervention of someone else can establish an individual as an other.” (Humm, 1992: 48)

Bahkan secara tegas de Beauvoir menyatakan bahwa masyarakat memosisikan laki-laki sebagai norma positif dan perempuan sebagai norma negatif, artinya perempuan didefinisikan sebagai “jenis kelamin yang kedua” setelah laki-laki, “… that society sets up the male as positive norm and a ‘woman’ as a negative, second sex, ‘other’…” (Humm, 1992: 44). Masyarakat jugalah yang kemudian melakukan seleksi pada perempuan dan membagi perempuan dalam kelas-kelas atau segmen-segmen tertentu. Dasar seleksi itu menurut Walby (1993: 19) diantaranya adalah seksualitas perempuan. Seksualitas perempuan dinilai berdasarkan standar-standar tertentu, dimana Irigaray menyebut standar-standar itu dikonseptualisasikan berdasarkan parameter laki-laki dan maskulinitas (Lechte, 2001: 249). Standar-standar itu diantaranya adalah bentuk fisik dan kecantikan yang disebut sebagai “ideal”. Standar “ideal” ini sebetulnya adalah produk dari genre kecantikan versi kontes-kontes kecantikan yang pertama kali digelar di Amerika Serikat tahun 1854, dimana lewat kontes-kontes kecantikan semacam ini, kecantikan versi kontes diinstitusionalisasikan ke seluruh dunia (Synnott, 1993: 141) sebagai salah satu bentuk kolonialisme pascakolonialisme (Loomba, 2003). Kulit putih mulus, kaki panjang lurus, kaki jenjang, payudara dan pantat padat berisi, dan paras jelita disebut Wolf (2004: 9-14) sebagai standar kecantikan hasil kontes kecantikan. Kecantikan versi kontes itu telah menjadi sebuah hiperrealitas, yang imajiner seolah- olah menjadi yang sebenarnya, demikian diungkapkan Baudrillard (Lechte, 2001: 357). Standar tersebut “menghipnotis” masyarakat dengan begitu kuatnya sehingga masyarakat menerima hiperrealitas itu menjadi sebuah realitas. Dan bahkan standar-standar itu diterapkan pada perempuan dalam bidang-bidang tertentu, seperti pekerjaan. Contohnya adalah Professional Beauty Qualification (PBQ) atau Kualifikasi Kecantikan Profesional yang diterapkan di Amerika Serikat dan Inggris (Wolf, 2004: 56-114). Pada lapangan kerja tertentu, seperti sekretaris atau resepsionis, pekerja perempuan dituntut untuk sesuai dengan standar kecantikan tertentu yang diterapkan oleh pihak perusahaan, dimana peraturan ini nyata-nyata menyiratkan diskriminasi dan segmentasi terhadap perempuan.
Di Indonesia sendiri, sudah menjadi rahasia umum bahwa profil pekerjaan tertentu, seperti sekretaris identik dengan standar kecantikan tertentu. Standar-standar inilah yang berusaha dimiliki oleh perempuan sehingga mereka bisa eksis di masyarakat. Perempuan menjadi takut dan cemas bila mereka tidak memenuhi standar-standar itu, mereka takkan dicintai, entah oleh pasangan ataupun lingkungannya (Tejamulya, 2006).
Artinya, ada kekuatiran bila seorang perempuan tidak memenuhi standar-standar kecantikan tersebut, ia akan kesulitan dalam membangun relasi interpersonal di masyarakat terutama dalam membangun hubungan yang didasarkan kebutuhan afeksi (hubungan romantis) dengan laki-laki. Hal ini tampak misalnya dari hasil polling yang dilakukan majalah Cosmopolitan pada periode maret-april 2001 terhadap 1105 responden laki-laki yang menyebutkan bahwa 67,7 % responden menilai penampilan fisik perempuan sebagai hal pertama yang menarik perhatiannya (Melliana, 2006: 15). Hasil polling tersebut menjadi salah satu bukti betapa penampilan fisik menjadi salah satu unsur penting bagi perempuan dalam membangun relasi interpersonal dengan laki-laki.
Dari apa yang telah diuraikan diatas tampak bahwa perempuan punya alasan yang cukup kuat untuk memutihkan kulit. Ketika putih tidaknya kulit diklaim sebagai kecantikan maka tidak mengherankan bila perempuan melakukan segala cara untuk memutihkan kulitnya. Harapannya tentu saja agar ia mampu menunjukkan eksistensinya di mata laki-laki dan masyarakat. Lebih spesifik lagi agar ia lebih mudah membangun relasi interpersonal dengan laki-laki karena penampilan fisiknya yang dianggap cantik berdasarkan standar “putih”.Bagaimana dengan anda ??(ydk@0209)


Selengkapnya...

Guru dan Murid Pacaran ?? Nah lho...

Guru pacaran dengan muridnya sendiri ? Hemm..saya tersenyum kecil ketika beberapa orang menanyakan pendapat saya tentang hal itu. Saya balik bertanya pada mereka apa tujuan mereka menanyakan hal itu pada saya. Jawabannya tepat seperti dugaan saya : karena sangat besar peluang dan kemungkinan untuk hal itu terjadi pada saya. Dasarnya adalah status sebagai guru muda dengan jarak usia yang tidak terlampau jauh dengan murid, plus habitat sekolah dimana saya mengajar yang dikenal mempunyai murid perempuan dengan “kualitas terjamin”. So, yang namanya cinta bisa tiba-tiba datang jika pelurunya sukses menembus hati, tanpa peduli siapa kita siapa dia. Nah lho...
Pertanyaannya adalah, darimana sebetulnya cinta itu muncul ?? “Teori” pertama datang dari mereka yang berpijak pada mitologi Yunani. Menurut mereka ini, dewa Cupid senantiasa berkeliling di antara manusia dan sekehendak hatinya menembakkan panah asmara di hati para laki-laki dan perempuan. Mereka yang terkena panah yang sama, otomatis akan saling jatuh cinta. Semua tergantung pada Cupid untuk menjodohkan manusia satu dengan manusia lainnya. Bagaimana dengan cinta sesama jenis ? Nah, ada yang bilang kalau Cupid tidak melihat bentuk fisik manusia, tetapi melihat hatinya. Sehingga sangat mungkin terjadi cinta sesama jenis karena Cupid menembakkan panah pada hati “perempuan” yang ternyata dibungkus dalam fisik laki-laki, dan sebaliknya ia bisa juga menembakkan panah pada hati “laki-laki” yang ternyata ada dalam fisik perempuan.
“Teori” yang kedua datang dari mereka yang berpegang pada peribahasa “cinta datang dari mata dan turun ke hati”. Dalam konsep ini, “cinta pada pandangan pertama” dan “kesan pertama” menjadi sangat penting. Karena cinta itu tumbuh melalui perspektif kita dalam memandang seseorang. Sejauh mana penampilan dan aura seseorang mampu melahirkan rasa simpati, tertarik, dan cinta di hati kita, itu kuncinya. Beberapa penelitian ilmiah mengatakan bahwa dalam tubuh manusia mengalir hormon feromon yang mampu memancing ketertarikan orang lain pada kita. So, bila modal feromon itu dikombinasikan dengan penampilan yang istimewa, maka tidaklah sulit untuk saling tertarik dan jatuh cinta dengan orang lain. Kelemahannya, cinta model ini ibarat iklan, tergantung pada bentuk, penampilan dan kemasan produk yang ditawarkan. Syukur-syukur kita dapatkan kemasan yang menarik plus isi yang berkualitas. Namun jika tidak ??
Yang ketiga, adalah “teori’ yang melandaskan diri pada pepatah jawa yang berbunyi “witing tresna jalaran saka kulina”. Ya, cinta datang dari kebiasaan dan frekuensi pertemuan antar manusia. Dari pertemuan-pertemuan itu biasanya muncul dinamika-dinamika yang berupa interaksi bahkan gesekan. Namun ujung-ujungnya adalah rasa tertarik satu sama lain. Tumbuhnya rasa tertarik itu terkadang tidak disadari, karena seolah-olah hubungan yang terjadi adalah hubungan yang “biasa”. Tetapi bila hubungan itu berubah menjadi “tidak biasa”, di situlah bibit-bibit cinta mulai tertabur di ladang hati. Cinta model ini mempunyai kelebihan terutama dalam hal sudah adanya pengenalan satu sama lain terlebih dulu sehingga meminimalkan kepura-puraan dan berimbas pada awetnya hubungan. Ibarat sepeda motor “Honda”, makin lama dipacu, mesin makin panas dan kuat daya tahannya. Masalahnya adalah bagaimana bila cinta yang datang karena sudah terbiasa itu semakin lama menjadi semakin “biasa’ dan tidak lagi “istimewa” ?? Akibatnya cinta seolah-olah akan bermetamorfosis menjadi kejenuhan dan kebosanan yang harus disingkirkan.
Dari tiga “teori” di atas, manakah yang menjadi pemicu utama hubungan cinta antara guru dan murid ? Jawaban saya : ketiga-tiganya !! Yang namanya cinta memang tidak dapat diduga darimana datangnya. Ia tidak pilih siapa dan rupa. Cinta juga tidak memilih status, agama, latar belakang budaya, ataupun usia. Cinta tidak peduli pada siapa ia menjatuhkan pilihan, sekalipun ia harus berhadapan dengan nilai dan norma. “Love is love”. Cinta adalah cinta. Hakekatnya adalah “rasa”. Sehingga jangan heran bila tidak hanya guru laki-laki yang bisa jatuh cinta dengan murid perempuan, sebaliknya guru yang perempuan pun bisa juga menjalin hubungan dengan muridnya laki-laki. Ketika panah Cupid menembus hati, maka segala tata cara dan tetek bengek norma dunia tidak akan lagi bermakna. Tentu saja,unsur feromon dan penampilan juga ikut berperan. Pastilah ada sesuatu yang istimewa di pihak guru, dan juga ada yang spesial di pihak murid sehingga mereka bisa saling jatuh cinta satu sama lain. Dan yang paling penting, jelas cinta itu juga datang karena frekuensi pertemuan yang tinggi antara guru dan murid tersebut. Ingat, di dalam sebuah pertemuan tidak hanya terkandung kata-kata, tetapi juga ada kontak mata, kontak hati dan pikiran, bahkan bahasa tubuh pun berbicara. Kesemuanya itu akan memancing cinta untuk keluar dari sarang hati yang terdalam. Efeknya ?? Tentu saja mereka akan mengorbankan banyak hal untuk menempuh resiko menjalani salah satu bentuk hubungan yang (menurut saya) adalah salah satu hubungan cinta “tergila” yang pernah ada di masyarakat. Melawan norma, berhadapan dengan dunia, dan bermain peran sedemikian rupa agar hubungan itu tetap “aman” adalah bagian dari resiko, tantangan sekaligus sensasi yang dirasakan oleh para pelaku dalam hubungan cinta antar guru-murid ini.
Kalau kita bicara dalam perspektif sosiologi, hubungan cinta antar guru-murid bisa dikategorikan dalam perilaku menyimpang. Karena perilaku menyimpang tidak hanya berarti perilaku yang melanggar nilai dan norma, tetapi juga perilaku yang berbeda dengan perilaku masyarakat pada umumnya dan tidak lazim. Tetapi salahkah itu ?? Menurut saya tidak sama sekali !! Dalam hal cinta, ada unsur kebebasan disana. Sehingga apapun pilihan cinta, kita harus menghormatinya sebagai manusia. Karenanya bagi saya, hubungan cinta antar guru-murid ini adalah bentuk perilaku menyimpang primer yang positif. Meski bisa menguncang psikologis masyarakat, namun di dalamnya tidak terkandung maksud mengganggu dan merusak tatanan masyarakat secara keseluruhan.
Tetapi sekali lagi, kebebasan itu juga harus diimbangi dengan dua hal yang terpenting, yakni kesadaran dan obyektivitas. Kesadaran itu berarti sadar akan pilihan dan resiko yang harus dihadapi dengan hubungan cinta antar guru-murid ini. Guru dan murid itu juga harus bisa cerdas dalam menempatkan diri baik di sekolah maupun di masyarakat. Sehingga dalam perjalanannya tidak akan merugikan dua belah pihak. Dan yang kedua, obyektivitas profesional juga tetap harus dijaga. Universitas London pernah melakukan penelitian mengenai efek jatuh cinta. Hasilnya, diketahui bahwa ketika sedang jatuh cinta bagian otak manusia yang mengontrol pikiran-pikiran kritis akan terganggu. akibatnya, terjadi peningkatan aktivitas di bagian otak yang merespon terhadap reward atau hal-hal baik. Sementara bagian otak yang biasa membuat penilaian-penilaian negatif mengalami penurunan aktivitas. Artinya, mereka yang jatuh cinta seakan dibutakan cinta sehingga penilaian tentang pasangan mereka tak seobyektif biasanya. Penilaian terhadap orang yang dicintai lebih cenderung ke penilaian yang bersifat positif. Sedangkan hal-hal negatif atau kesalahan pasangan kerap terlewatkan. Disini jelas guru harus tetap obyektif. Jangan lantas karena murid itu pasangannya, ia tidak obyektif dalam hal pelajaran dan penilaian. Harus bisa dibedakan antara hubungan cinta dengan hubungan profesional antara guru dan murid. Jangan sampai permasalahan dalam hubungan cinta merembet dalam hubungan profesional di sekolah. Di balik cinta antara pria dan wanita yang muncul, guru tetaplah seorang guru, murid tetaplah seorang murid. (ydk@2009)
Selengkapnya...

Monday, February 2, 2009

Soal Try Out UN Sosiologi_4

berikut adalah soal try out UN Sosiologi untuk SMA. download dengan meng-klik pada judul di atas.maturtengkyu. Selengkapnya...

 


Design by: Pocket
This template is brought to you by : allblogtools.com Blogger Templates