Tuesday, February 3, 2009

Guru dan Murid Pacaran ?? Nah lho...

Guru pacaran dengan muridnya sendiri ? Hemm..saya tersenyum kecil ketika beberapa orang menanyakan pendapat saya tentang hal itu. Saya balik bertanya pada mereka apa tujuan mereka menanyakan hal itu pada saya. Jawabannya tepat seperti dugaan saya : karena sangat besar peluang dan kemungkinan untuk hal itu terjadi pada saya. Dasarnya adalah status sebagai guru muda dengan jarak usia yang tidak terlampau jauh dengan murid, plus habitat sekolah dimana saya mengajar yang dikenal mempunyai murid perempuan dengan “kualitas terjamin”. So, yang namanya cinta bisa tiba-tiba datang jika pelurunya sukses menembus hati, tanpa peduli siapa kita siapa dia. Nah lho...
Pertanyaannya adalah, darimana sebetulnya cinta itu muncul ?? “Teori” pertama datang dari mereka yang berpijak pada mitologi Yunani. Menurut mereka ini, dewa Cupid senantiasa berkeliling di antara manusia dan sekehendak hatinya menembakkan panah asmara di hati para laki-laki dan perempuan. Mereka yang terkena panah yang sama, otomatis akan saling jatuh cinta. Semua tergantung pada Cupid untuk menjodohkan manusia satu dengan manusia lainnya. Bagaimana dengan cinta sesama jenis ? Nah, ada yang bilang kalau Cupid tidak melihat bentuk fisik manusia, tetapi melihat hatinya. Sehingga sangat mungkin terjadi cinta sesama jenis karena Cupid menembakkan panah pada hati “perempuan” yang ternyata dibungkus dalam fisik laki-laki, dan sebaliknya ia bisa juga menembakkan panah pada hati “laki-laki” yang ternyata ada dalam fisik perempuan.
“Teori” yang kedua datang dari mereka yang berpegang pada peribahasa “cinta datang dari mata dan turun ke hati”. Dalam konsep ini, “cinta pada pandangan pertama” dan “kesan pertama” menjadi sangat penting. Karena cinta itu tumbuh melalui perspektif kita dalam memandang seseorang. Sejauh mana penampilan dan aura seseorang mampu melahirkan rasa simpati, tertarik, dan cinta di hati kita, itu kuncinya. Beberapa penelitian ilmiah mengatakan bahwa dalam tubuh manusia mengalir hormon feromon yang mampu memancing ketertarikan orang lain pada kita. So, bila modal feromon itu dikombinasikan dengan penampilan yang istimewa, maka tidaklah sulit untuk saling tertarik dan jatuh cinta dengan orang lain. Kelemahannya, cinta model ini ibarat iklan, tergantung pada bentuk, penampilan dan kemasan produk yang ditawarkan. Syukur-syukur kita dapatkan kemasan yang menarik plus isi yang berkualitas. Namun jika tidak ??
Yang ketiga, adalah “teori’ yang melandaskan diri pada pepatah jawa yang berbunyi “witing tresna jalaran saka kulina”. Ya, cinta datang dari kebiasaan dan frekuensi pertemuan antar manusia. Dari pertemuan-pertemuan itu biasanya muncul dinamika-dinamika yang berupa interaksi bahkan gesekan. Namun ujung-ujungnya adalah rasa tertarik satu sama lain. Tumbuhnya rasa tertarik itu terkadang tidak disadari, karena seolah-olah hubungan yang terjadi adalah hubungan yang “biasa”. Tetapi bila hubungan itu berubah menjadi “tidak biasa”, di situlah bibit-bibit cinta mulai tertabur di ladang hati. Cinta model ini mempunyai kelebihan terutama dalam hal sudah adanya pengenalan satu sama lain terlebih dulu sehingga meminimalkan kepura-puraan dan berimbas pada awetnya hubungan. Ibarat sepeda motor “Honda”, makin lama dipacu, mesin makin panas dan kuat daya tahannya. Masalahnya adalah bagaimana bila cinta yang datang karena sudah terbiasa itu semakin lama menjadi semakin “biasa’ dan tidak lagi “istimewa” ?? Akibatnya cinta seolah-olah akan bermetamorfosis menjadi kejenuhan dan kebosanan yang harus disingkirkan.
Dari tiga “teori” di atas, manakah yang menjadi pemicu utama hubungan cinta antara guru dan murid ? Jawaban saya : ketiga-tiganya !! Yang namanya cinta memang tidak dapat diduga darimana datangnya. Ia tidak pilih siapa dan rupa. Cinta juga tidak memilih status, agama, latar belakang budaya, ataupun usia. Cinta tidak peduli pada siapa ia menjatuhkan pilihan, sekalipun ia harus berhadapan dengan nilai dan norma. “Love is love”. Cinta adalah cinta. Hakekatnya adalah “rasa”. Sehingga jangan heran bila tidak hanya guru laki-laki yang bisa jatuh cinta dengan murid perempuan, sebaliknya guru yang perempuan pun bisa juga menjalin hubungan dengan muridnya laki-laki. Ketika panah Cupid menembus hati, maka segala tata cara dan tetek bengek norma dunia tidak akan lagi bermakna. Tentu saja,unsur feromon dan penampilan juga ikut berperan. Pastilah ada sesuatu yang istimewa di pihak guru, dan juga ada yang spesial di pihak murid sehingga mereka bisa saling jatuh cinta satu sama lain. Dan yang paling penting, jelas cinta itu juga datang karena frekuensi pertemuan yang tinggi antara guru dan murid tersebut. Ingat, di dalam sebuah pertemuan tidak hanya terkandung kata-kata, tetapi juga ada kontak mata, kontak hati dan pikiran, bahkan bahasa tubuh pun berbicara. Kesemuanya itu akan memancing cinta untuk keluar dari sarang hati yang terdalam. Efeknya ?? Tentu saja mereka akan mengorbankan banyak hal untuk menempuh resiko menjalani salah satu bentuk hubungan yang (menurut saya) adalah salah satu hubungan cinta “tergila” yang pernah ada di masyarakat. Melawan norma, berhadapan dengan dunia, dan bermain peran sedemikian rupa agar hubungan itu tetap “aman” adalah bagian dari resiko, tantangan sekaligus sensasi yang dirasakan oleh para pelaku dalam hubungan cinta antar guru-murid ini.
Kalau kita bicara dalam perspektif sosiologi, hubungan cinta antar guru-murid bisa dikategorikan dalam perilaku menyimpang. Karena perilaku menyimpang tidak hanya berarti perilaku yang melanggar nilai dan norma, tetapi juga perilaku yang berbeda dengan perilaku masyarakat pada umumnya dan tidak lazim. Tetapi salahkah itu ?? Menurut saya tidak sama sekali !! Dalam hal cinta, ada unsur kebebasan disana. Sehingga apapun pilihan cinta, kita harus menghormatinya sebagai manusia. Karenanya bagi saya, hubungan cinta antar guru-murid ini adalah bentuk perilaku menyimpang primer yang positif. Meski bisa menguncang psikologis masyarakat, namun di dalamnya tidak terkandung maksud mengganggu dan merusak tatanan masyarakat secara keseluruhan.
Tetapi sekali lagi, kebebasan itu juga harus diimbangi dengan dua hal yang terpenting, yakni kesadaran dan obyektivitas. Kesadaran itu berarti sadar akan pilihan dan resiko yang harus dihadapi dengan hubungan cinta antar guru-murid ini. Guru dan murid itu juga harus bisa cerdas dalam menempatkan diri baik di sekolah maupun di masyarakat. Sehingga dalam perjalanannya tidak akan merugikan dua belah pihak. Dan yang kedua, obyektivitas profesional juga tetap harus dijaga. Universitas London pernah melakukan penelitian mengenai efek jatuh cinta. Hasilnya, diketahui bahwa ketika sedang jatuh cinta bagian otak manusia yang mengontrol pikiran-pikiran kritis akan terganggu. akibatnya, terjadi peningkatan aktivitas di bagian otak yang merespon terhadap reward atau hal-hal baik. Sementara bagian otak yang biasa membuat penilaian-penilaian negatif mengalami penurunan aktivitas. Artinya, mereka yang jatuh cinta seakan dibutakan cinta sehingga penilaian tentang pasangan mereka tak seobyektif biasanya. Penilaian terhadap orang yang dicintai lebih cenderung ke penilaian yang bersifat positif. Sedangkan hal-hal negatif atau kesalahan pasangan kerap terlewatkan. Disini jelas guru harus tetap obyektif. Jangan lantas karena murid itu pasangannya, ia tidak obyektif dalam hal pelajaran dan penilaian. Harus bisa dibedakan antara hubungan cinta dengan hubungan profesional antara guru dan murid. Jangan sampai permasalahan dalam hubungan cinta merembet dalam hubungan profesional di sekolah. Di balik cinta antara pria dan wanita yang muncul, guru tetaplah seorang guru, murid tetaplah seorang murid. (ydk@2009)
Selengkapnya...

Monday, February 2, 2009

Soal Try Out UN Sosiologi_4

berikut adalah soal try out UN Sosiologi untuk SMA. download dengan meng-klik pada judul di atas.maturtengkyu. Selengkapnya...

Monday, January 12, 2009

the other side of me-1


Selengkapnya...

Sunday, January 11, 2009

Soal Try Out UN Sosiologi-3

Butuh soal-soal try out UN SOsiologi ? Download aja dengan cara klik pada judul di atas dan gunakan sebagai bahan persiapan UN... Selengkapnya...

Soal Try Out UN Sosiologi-2

Soal-soal berikut bisa membantu dalam persiapan Ujian Nasional mapel Sosiologi. Download dengan cara klik pada judul di atas dan tinggalkan komentar anda... Selengkapnya...

Soal Try Out UN Sosiologi-1

Berikut adalah salah satu soal try out UN Sosiologi. Bisa digunakan untuk latihan soal anak IPS dalam persiapan UN. Download aja disini dengan cara meng-klik judul di atas dan tinggalkan komentar anda sebagai masukan bagi saya... Selengkapnya...

Saturday, January 10, 2009

Filosofi Penelitian Sosial

Materi ini salah satu bagian mengenai dasar-dasar penelitian sosial. Bisa didownload dan digunakan sebagai sumber yang memperkaya bahan ajar.. Selengkapnya...

Friday, January 9, 2009

Astrologi dalam Perspektif Paul Thagard, Science atau Pseudoscience ? - oleh Yudha Kusniyanto, S.Sos

Karl Popper dalam esainya “Science: Conjectures and Refutations” memberikan batasan dan kriteria-kriteria ilmu (Klemke,dkk(ed), 1980: 19-34). Dimana kemudian kriteria-kriteria tersebut digunakan untuk mengklasifikasi sebuah pengetahuan sebagai ilmu (science) atau bukan ilmu (non-science). Popper juga menyinggung astrologi sebagai pengetahuan yang tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu (1980: 23). Penjelasan berkaitan dengan klaim Popper tersebut diuraikan Paul Thagard dalam esainya “Why Astrology is a Pseudoscience” (1980:66-75). Thagard secara khusus memberikan alasan-alasan di balik penyebutan astrologi sebagai ilmu semu atau pseudoscience. Perbedaan yang nampak adalah jika Popper secara hitam putih menyebut astrologi sebagai bukan ilmu, Thagard menyebutnya sebagai ilmu semu. Mengapa Thagard “hanya” menyebut astrologi sebagai “ilmu semu” dan bukan “bukan ilmu” ? Berpijak pada esai yang ditulis Paul Thagard, makalah ini bertujuan untuk berupaya memberikan penjelasan atas pertanyaan tersebut. Untuk lebih memahami konteks dari bahasan utama dalam makalah ini, perlu diuraikan terlebih dahulu definisi pseudoscience dan definisi astrologi. Kemudian dalam bagian selanjutnya diuraikan bagaimana posisi astrologi dalam science menurut Thagard, dan pada bagian akhir disampaikan kesimpulan dari makalah ini.

Apa itu Pseudoscience ?
Dalam Wikipedia English – a Free Encyclopedia, pseudoscience didefinisikan sebagai “...a body of knowledge, methodology, belief, or practice that is claimed to be scientific or made to appear scientific, but does not adhere to the scientific method, lacks supporting evidence or plausibility, or otherwise lacks scientific status”. Dengan kata lain, pseudoscience adalah sebuah pengetahuan, metodologi, praktek, ataupun keyakinan yang diklaim sebagai sebuah kebenaran yang ilmiah, tetapi tidak didasarkan pada metode ilmiah, minim bukti ataupun sesuatu yang masuk akal, dan pada akhirnya tidak cukup layak untuk disebut sebagai sesuatu yang ilmiah.
Istilah pseudoscience berasal dari kata dalam bahasa yunani “pseudo” yang berarti tiruan, tidak nyata, atau kepura-puraan serta kata dalam bahasa latin “scientia” yang berarti ilmu atau pengetahuan. Secara bebas pseudoscience bisa diartikan sebagai “ilmu yang bukan ilmu” atau “ilmu semu”. Pseudoscience pertama kali dicetuskan pada tahun 1843 oleh fisiologis Perancis, Francois Magendie, yang dikenal sebagai pelopor dalam fisiologi eksperimental.
Karakteristik yang umumnya bisa digunakan untuk menandai pseudoscience diantaranya adalah penggunaan klaim yang samar-samar atau ambigu (vague), klaim kebenaran yang dilebih-lebihkan tanpa teruji kebenarannya (exaggerated and untestable), sangat mengutamakan dukungan daripada penyangkalan terhadap klaim kebenaran yang diberikan (over-reliance in confirmation rather than refutations), kurang terbuka terhadap kemungkinan untuk diuji oleh pihak lain (lack of openness to testing by other experts), dan minimnya kemajuan dalam pengembangan teori yang dilakukan (lack of progress in theory development).

Apa itu Astrologi
Thagard (1980: 66-68) mengungkapkan bahwa seringkali terjadi kesalahan persepsi mengenai astrologi yang terjadi di masyarakat, terutama karena astrologi dikenal masyarakat melalui ramalan-ramalan bintang yang ada di dalam koran atau majalah populer. Astrologi yang umumnya ada dalam koran atau majalah tersebut biasanya melakukan penandaan dengan hanya didasarkan pada pergerakan matahari. Sedangkan astrologi yang sesungguhnya juga memperhitungkan keberadaan bulan, planet-planet, maupun material lain yang ada di semesta. Astrologi membagi langit berdasarkan dua belas region yang kita kenal sebagai zodiak seperti libra, gemini, aquarius, dsb. Zodiak tersebut ditentukan berdasarkan periode tanggal kelahiran tertentu. Misalnya jika seseorang lahir antara 23 september hingga 22 oktober, maka ia ada dalam lingkup region libra. Penandaan tersebut didasarkan pada pergerakan langit dan matahari di ufuk timur saat waktu kelahiran seseorang. Untuk dapat melakukan penandaan ini dengan akurat, maka pengetahuan yang mendalam tentang waktu dan tempat kelahiran mutlak diperlukan. Karena dalam astrologi, ada asosiasi antara waktu kelahiran seseorang dengan keberadaan bulan dan planet-planet. Dimana kemudian kombinasi perhitungan dari pergerakan matahari, bulan, dan keberadaan planet-planet tersebut dikatakan mempunyai pengaruh kuat terhadap karakter, kepribadian, maupun nasib seseorang.
Astrologi adalah sebuah praktek kuno, yang muncul pertama kali pada ribuan tahun sebelum masehi (SM) di Chaldea. Baru pada sekitar tahun 700 SM, zodiak diproklamirkan dan dalam perkembangannya berabad-abad kemudian menjadi dua belas zodiak yang kini familiar di masyarakat. Ekspansi Aleksander Agung membawa astrologi ke Yunani, dan kemudian dikenal oleh Romawi. Sejarah romawi mencatat bahwa Julius Caesar adalah tokoh yang menggunakan horoskop dalam masa kekuasaannya. Pada waktu itu astrologi sangat populer di Romawi, meski beberapa kalangan seperti Lucretius dan Cicero menentang keberadaan astrologi.
Kodifikasi yang dilakukan Ptolomeus melalui Tetrabiblos (ditulis sekitar pada abad kedua) menjadi sumber yang sangat fundamental mengenai astrologi. Dalam buku itu dipaparkan detil dari kekuatan dan pergerakan matahari, bulan, planet-planet, dan implikasinya bagi kehidupan manusia. Bagi Ptolomeus, astrologi mempunyai derajat yang sama dengan geografi dan astronomi. Ia berargumen bahwa melalui astrologi dapat dilakukan prediksi mengenai apa yang akan terjadi dalam hidup manusia. Perubahan gerak dan posisi matahari, bulan dan planet-planet mempunyai efek yang signifikan terhadap hidup manusia. Dalam Almagest, Ptolomeus juga bersikukuh bahwa melakukan prediksi atas hidup manusia dengan astrologi adalah mungkin, dimana ia merujuk implikasi pergerakan matahari, bulan dan planet-planet terhadap bumi, misalnya dalam hal cuaca dan pasang surut air laut.
Pada masa renaissance yang merupakan tonggak kebangkitan ilmu modern, praktek okultisme dan astrologi masih tumbuh subur. Bahkan tokoh sekaliber Keppler turut menaruh perhatian terhadap astrologi. Pada abad ke-17, astrologi sangat populer. Namun kepopuleran itu surut pada abad ke-18 seiring masa pencerahan (enlightenment) yang dipelopori diantaranya oleh Swift dan Voltaire. Astrologi kembali eksis pada tahun 1930 dan bahkan mendapatkan kepercayaan dari beberapa kalangan masyarakat sebagai petunjuk nasib dan kehidupan.

Astrologi dalam kerangka Science dan Pseudoscience
Menanggapi tren astrologi di masyarakat, Bart Bok, Lawrence Jerome dan Paul Kurtz pada tahun 1975 (Thagard,1980: 67) membuat pernyataan yang intinya menyerang astrologi. Pernyataan tersebut didukung dan ditandatangani oleh 192 ilmuwan terkemuka, termasuk 19 orang penerima nobel. Tiga hal utama yang termuat dalam pernyataan tersebut adalah: Pertama, astrologi pada dasarnya merupakan bagian dari sudut pandang yang supranatural, metafisis, dan transenden (magical world view). Kedua, Keberadaan planet terlalu jauh dan tidak signifikan untuk dijadikan pijakan fisik bagi astrologi. Dan ketiga, masyarakat mempercayai astrologi semata-mata hanya untuk mencari kenyamanan. Bok mengungkapkan bahwa mencoba melakukan pengujian terhadap prediksi astrologi adalah sesuatu yang sia-sia karena astrologi tidak mempunyai pijakan fisik yang dapat diukur. Ia juga menegaskan adanya efek psikologis bagi individu-individu yang mempercayai astrologi, dimana mereka cenderung menjadikan astrologi sebagai dasar irasional penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Jerome menguatkan pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa astrologi lebih merupakan sebuah system of magic daripada sebuah ilmu.
Namun demikian bagi Thagard, apa yang diungkapkan Bok dkk tidaklah cukup kuat dijadikan dasar untuk menandai astrologi sebagai pseudoscience. Pertama, prinsip asal-usul seperti yang diungkapkan Bok tidaklah dapat dijadikan dasar sesuatu disebut sebagai ilmu. Tidak hanya astrologi yang mempunyai asal-usul berbau mistis, bahkan sejarawan mengindikasikan proses serupa juga terjadi pada penemuan Newton ataupun Einstein sekalipun. Yang kedua, dasar kepercayaan individu terhadap astrologi tidak semata-mata karena dasar irasional. Dalam taraf tertentu, alasan logis dan rasional bisa menjadi dasar individu untuk mempercayai astrologi. Terakhir, pijakan fisik sebagai dasar sebuah kebenaran tidak bisa diterima secara mutlak. Contohnya adalah tidak ada penjelasan mekanis antara hubungan rokok dan kanker. Kesimpulan mengenai hubungan tersebut bahwa merokok akan menyebabkan kanker lebih diperoleh dari kecenderungan data statistik.
Bagaimana jika kemudian astrologi diukur dari kriteria verifikasi dan falsifikasi ? Ada beberapa pihak yang mencoba melakukan pengujian dan serangkaian tes untuk menguji klaim kebenaran astrologi. Salah satu di antaranya yang menjadi pelopor adalah Michel Gauquelin. Gauquelin mencoba menarik hubungan antara karir dan zodiak dan melakukan survei pada 25.000 orang perancis. Astrologi berpendapat bahwa zodiak seseorang akan mempengaruhi secara pasti kecenderungan karakter dan posisi seseorang dalam pekerjaannya. Misalnya karakter Mars (yang dalam mitologi Yunani adalah Ares sang dewa perang) banyak mempengaruhi orang-orang yang lahir pada rentang zodiak Mars untuk menjadi tentara atau atlet. Sedangkan Venus (dalam mitologi Yunani adalah dewi kecantikan) lebih banyak menghasilkan orang-orang yang bekerja dalam bidang artistik dan keindahan. Dalam survei yang dilakukannya, ternyata Gauquelin menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara karir seseorang dengan apa zodiaknya. Tetapi ia menemukan ada peluang yang lebih besar misalnya seorang yang berzodiak mars untuk menjadi atlet ketimbang yang berzodiak venus, demikian pula sebaliknya. Namun demikian, Thagard mengungkapkan bahwa meski penemuan Gauquelin benar, astrologi tetaplah sukar untuk diverifikasi dengan tepat, terutama mempertimbangkan aspek ketidakpastian dari determinasi zodiak terhadap karir. Bagaimanapun usaha Gauquelin dapat dilihat sebagai adanya sedikit kadar verifiabel dalam astrologi. Artinya kriteria verifikasi tidak dapat sepenuhnya dapat menandai astrologi sebagai pseudoscience. Di pihak lain, jika menerapkan prinsip falsifikasi dalam menilai astrologi, perlu diperhatikan bahwa falsifikasi hanya dapat dilakukan jika ada teori lain yang lebih baik atau dapat menggantikan astrologi. Merujuk pada penelitian Gauquelin, meski tidak seratus persen akurat, tetapi prediksi yang dilakukan astrologi tidaklah lebih buruk dari teori lain. Artinya jika ada teori lain yang bisa menjadi pembanding yang lebih baik untuk astrologi, maka prinsip falsifikasi bisa menempatkan astrologi sebagai pseudoscience.
Bukan prinsip verifikasi, falsifikasi, ataupun kriteria Bok dkk yang dapat menandai astrologi sebagai pseudoscience. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa astrologi mempunyai banyak kelemahan dan masalah yang harus dihadapi. Terutama bagaimana memberikan jawaban dan prediksi yang tepat terhadap apa yang diklaim astrologi sebagai kebenaran. Karena faktanya, tidak semua orang berzodiak scorpio bernasib sama, atau semua orang berzodiak aries mempunyai keberuntungan yang sama. Pertanyaannya sekarang adalah dimanakah posisi astrologi ? Science atau pseudoscience ? Thagard (1980: 70) memberikan tiga kriteria untuk membedakan antara astrologi dengan ilmu: theory, community dan historical context. Theory, artinya setiap ilmu harus mempunyai struktur, kemampuan memprediksi, kemampuan menjelaskan, dan kemampuan memecahkan masalah. Hal ini senada dengan pendapat Bok mengenai pijakan fisik bagi sebuah teori. Namun demikian, seperti dipaparkan di atas, hal ini saja tidak cukup untuk menempatkan astrologi sebagai pseudoscience.
Hal kedua yang juga patut diperhatikan sebagai kriteria pembedaan astrologi dengan ilmu adalah community. Artinya menunjuk pada mereka-mereka yang berkecimpung dalam dunia astrologi. Dimana beberapa pertanyaan penting yang harus dijawab oleh para astrolog adalah: Apakah ada kesepakatan di antara mereka mengenai prinsip-prinsip astrologi dan cara astrologi memecahkan masalah ? Apakah ada kepedulian di kalangan astrolog untuk menjelaskan anomali dalam teori maupun membandingkan kesuksesan astrologi dengan teori lainnya ? Apakah para astrolog secara aktif mau melakukan konfirmasi maupun penyangkalan terhadap teori ? Jika jawaban yang diberikan para astrolog terhadap ketiga pertanyaan ini adalah “tidak”, maka penilaian bahwa astrologi adalah pseudoscience baru mulai bisa lebih dikuatkan.
Yang terakhir adalah historical context atau konteks historis dari teori tersebut. Merujuk pada Kuhn, Thagard mengungkapkan bahwa sebuah teori dapat ditolak sebagai teori apabila teori tersebut menghadapi anomali dalam periode waktu yang lama dan teori tersebut juga menghadapi tantangan dari teori yang lain. Dari ketiga kriteria di atas, Thagard menyimpulkan prinsip-prinsip yang bisa menjadi kriteria untuk mengatakan sebuah teori sebagai pseudoscience adalah:
1. Bila sebuah teori tidak progresif dan mengalami tantangan dari teori lain yang dapat menjadi alternatif dalam periode waktu yang lama, sementara teori itu sendiri menghadapi banyak masalah yang memerlukan pemecahan.
2. Bila komunitas dari para praktisi teori tersebut enggan melakukan pengembangan teori untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi, tidak memperlihatkan keinginan untuk melakukan evaluasi teori dan kaitannya dengan teori lain serta sangat selektif dan minim dalam melakukan konfirmasi maupun penyangkalan terhadap teori.

Kesimpulan
Thagard tidak serta-merta melakukan penilaian bahwa astrologi adalah pseudoscience dari sudut pandang kriteria verifikasi dan falsifikasi yang diungkapkan Popper. Thagard tidak juga mengaburkan batas antara science dengan pseudoscience seperti halnya Feyerabend. Thagard memberikan sudut pandang berbeda dengan memberikan konteks historis dan konteks sosial dalam menilai astrologi sebagai science atau pseudoscience. Konteks historis artinya jika dalam periode waktu astrologi tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapinya, dan muncul teori alternatif yang mampu menjawab permasalahan itu, maka astrologi termasuk sebagai pseudoscience. Dengan kata lain, sebetulnya astrologi menjadi pseudoscience seiring dengan munculnya psikologi modern di awal abad ke-19. Namun sejarah mencatat bahwa astrologi dikeluarkan dari lingkaran ilmu sejak abad ke-18. Thagard menyebut bahwa hal ini disebabkan bahwa pada masa itu astrologi sudah dicap lebih dahulu sebagai pseudoscience sehingga sulit untuk berkembang.
Dalam menilai astrologi sebagai science atau pseudoscience diperlukan juga konteks sosial. Artinya bahwa penilaian itu akan menjadi relatif tergantung pada aspek kultural dalam masyarakat. Thagard memberikan contoh masyarakat terisolir dalam hutan di Amerika selatan yang mempercayai astrologi sebagai sebuah kebenaran. Karena dalam seluruh masyarakat itu tidak dilakukan kegiatan pengembangan teori, juga tidak diketahui adanya teori lain yang dapat menjadi alternatif, maka astrologi yang berlaku di dalam masyarakat tersebut tidak dapat disebut sebagai pseudoscience. Sehingga bisa disimpulkan bahwa astrologi menjadi pseudoscience ketika ia hidup di tengah-tengah peradaban barat dan peradaban lain yang telah banyak terpengaruh oleh arus pemikiran barat. Ketika di suatu masyarakat dimana astrologi tidak mempunyai “saingan” yang dapat menunjukkan ketidakmampuannya untuk menjawab tantangan peradaban, maka dalam masyarakat tersebut astrologi dapat berdiri kokoh sebagai science. Dengan kata lain, tidak bisa dilakukan sebuah generalisasi kriteria yang bersifat absolut untuk sebuah teori dikatakan sebagai science atau pseudoscience. Karena bagaimanapun ada kondisi sosial dan kultural yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya.(ydk)- by Yudha Kusniyanto@sept2008 Selengkapnya...

Rajawali vs Emprit

Kira-kira hal apa yang menjadi “momok” buat anak kelas XII (3 SMA) ? Ya, nampaknya tidak salah kalau kita menjawab Ujian Nasional (UN) sebagai sesuatu yang paling menakutkan buat anak kelas XII. Bagaimana tidak, vonis atas kelulusan mereka tergantung pada beberapa mata pelajaran yang diujikan hanya dalam tiga hari. Buat mereka, bisa lulus artinya seperti lolos dari gua singa dan tidak lulus artinya terperangkap dalam kegagalan dan rasa malu. Mencontek judul film yang dibintangi Nicholas Saputra, UN itu bagaikan “tiga hari untuk selamanya”. Nah, hari-hari yang terlewati sejak aku masuk pertama kali di kelas XII sebetulnya menjadi hari-hari yang cukup menyenangkan. Aku jadi melihat bahwa di balik setiap tindakan dan kenakalan mereka, mereka mempunyai latar belakang dan alasan yang bermacam-macam. Istilahnya, aku jadi melihat kemanusiaan mereka yang sebetulnya jauh berbeda dari yang aku bayangkan. Mereka adalah anak-anak muda yang membutuhkan “sesuatu”. “Sesuatu” itu bisa berarti teman, sahabat, teladan, panutan, dukungan, atau bahkan sandaran. Secara sederhana, aku jadi merasa punya ikatan dan tanggungjawab terhadap mereka (sesuatu yang sebelumnya selalu aku hindari). Ikatan dan tanggungjawab itu menjadi semakin kuat ketika “momok” bernama ujian nasional mulai menghantui mereka.
Kalau mau jujur, sebetulnya bagi murid-muridku, menghadapi UN ibarat menghadapi sebuah pertandingan final. Tentu saja tidak semua orang akan memilih peranan yang sama dalam pertandingan itu. Imbasnya, secara garis besar ada empat peranan yang muncul dari murid-muridku. Yang pertama, mereka yang memilih untuk berperan sebagai “pemain”. Mereka-mereka yang masuk kelompok ini umumnya mempersiapkan diri dengan keras. Bahkan tidak jarang mereka menambah porsi “latihan”, misalnya dengan mengikuti les ataupun setia mendatangi guru mapel buat konsultasi. Tidak semua anak yang masuk kelompok ini adalah anak yang dikenal pintar di kelas, tetapi juga anak-anak yang dikenal lemah dalam pelajaran. Bukan apa-apa, alasan utama mereka memilih jadi “pemain” sebetulnya adalah ketakutan dan kekhawatiran apakah dengan kecerdasan yang “pas-pasan” (ini menurut mereka lho..) mereka bisa lulus. Tapi yang jelas, mereka yang ada di kelompok ini patut diacungi jempol karena semangat dan kemauannya yang besar.
Yang kedua, adalah mereka yang memilih untuk jadi “komentator”. Mereka tahu bahwa “final” itu harus dimenangi. Mereka juga tahu bahwa untuk menang harus berlatih dan mempersiapkan diri dengan baik. Tapi sayangnya, mereka tidak mau bersusah-susah untuk itu. Tahu bagaimana caranya tetapi tidak mau melakoni usahanya. Ingin hasilnya tetapi takut untuk menjalani prosesnya. Murid-murid yang masuk di kelompok ini umumnya selalu berusaha “melarikan diri” dengan melakukan refreshing sebanyak-banyaknya atau dengan ucapan “santai saja, jangan dibuat ngoyo”. Yang gawat, mereka sering berlindung di balik kata “percaya” dan “iman” bahwa mereka pasti lulus. Percaya dan iman sih memang perlu, tapi kalau tanpa usaha sama sekali ? Bahkan burung-burung di udara yang dipelihara Tuhan pun harus terbang kesana kemari dan berusaha keras untuk mendapatkan makanan kan ? Yang jelas, setahuku Tuhan tidak pernah memberikan makanan untuk burung-burung langsung dari langit dan sekaligus menyuapkannya ke paruh mereka. Nah lho..!!
Kelompok yang ketiga, adalah mereka yang memilih jadi “suporter”. Artinya mereka adalah kelompok yang mengekor apapun hasil yang didapat “pemain”. Dengan kata lain mereka yang di kelompok ini cenderung bergantung pada teman-temannya yang jadi “pemain”. Syukur-syukur “pemain” menang, sehingga mereka pun ikut menang. Mereka menanti limpahan jawaban sebagai bentuk “kemurahan hati” dan “belas kasihan”. Otomatis, bagi kelompok ini posisi tempat duduk di waktu ujian menjadi penentu keberhasilan mereka. Kalau dapat tempat duduk dekat si bintang kelas, mereka ibarat duduk di kursi VVIP. Yah, sial-sialnya dapat tempat duduk kelas festival alias dekat dengan anak yang niat meski tidak pintar-pintar amat. Seenggak-enggaknya bisa dapat jawaban meski belum tentu benar.
Yang terakhir, sebuah pertandingan olahraga biasanya tidak lepas dari pertaruhan atau judi. Nah, kelompok petaruh ini biasanya menempuh banyak cara yang umumnya tidak jujur. Yang penting menang. Mereka tahu bahwa UN itu adalah “final” yang harus dimenangi. Tapi mereka juga tidak yakin diri mereka mampu untuk memenanginya dengan jujur. Akhirnya mereka menggunakan semua sumber daya terutama ekonomi yang mereka miliki. Berusaha kesana kemari mendapatkan dan membeli bocoran dengan harga yang kadang tidak masuk akal dibanding dengan kadar kebenarannya, atau memberikan imbalan uang pada teman yang mau memberikan jawaban. Mereka yang masuk kelompok ini bahkan tidak hanya mereka yang memang mampu secara finansial, tetapi mereka juga yang keuangannya pas-pasan. Jual handphone sampai korupsi uang spp pun terpaksa dilakoni demi menempuh jalur “petaruh” ini.
Pertanyaannya, kira-kira dari empat kelompok tadi mana yang paling besar persentase keberhasilannya ? Wallahualam..Susah untuk dipastikan !! Ujung-ujungnya semuanya kembali pada rahasia dan kemurahan hati Sang Khalik. Banyak cerita bahwa anak pintar belum tentu lulus UN, sebaliknya anak bodoh belum tentu tidak lulus UN. Hebatnya, semua murid-murid aku menyadari hal itu..!! Mereka tahu bahwa selalu ada faktor x yang tidak bisa diprediksi, dan itu jadi wilayah Tuhan. Jadinya selain mempraktekkan cara-cara di atas, mereka juga beramai-ramai mencari Tuhan. Yang biasanya cuma nongkrong di masjid, menjelang UN mulailah mereka sholat tahajud. Yang biasanya ke gereja kalau sempat, menjelang UN mereka nyempet-nyempetin diri ke gereja. Yang biasanya sebelum makan saja emoh berdoa, menjelang UN sebelum dan sesudah makan pun berdoa. Kalau mereka yang termasuk kelompok “pemain” sih agaknya memang sudah pas dan wajar kalau selain berusaha mereka juga berdoa. Lah kalau kelompok “komentator”, “suporter” dan “petaruh” ?Agaknya dialog berikut bisa menggambarkan jawabannya. “Tuhan kan melarang kita berbuat yang tidak jujur. Lha kamu mau berbuat curang, terus ngapain kamu berdoa ? itu kan aneh ?” tanya si Paidi pada Darmo. Darmo menjawab “lho, curang itu kan tergantung dari mana kita melihatnya. Kalau buat aku itu bentuk kreativitas dan usaha supaya berhasil. Makanya minta ijin sama Tuhan, seenggak-nggaknya biar nggak ketahuan sama pengawas..”. Itulah realitas kita, berbuat salah pun masih mencari pembelaan dan pembenaran. Jangan-jangan jika karena curang terus kemudian mereka lulus, itu pun dianggap sebagai kewajaran ? Wah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya mereka setelah lulus UN nanti. Jadi rajawali, atau sekedar emprit ?? (ydk) Selengkapnya...

 


Design by: Pocket
This template is brought to you by : allblogtools.com Blogger Templates