Monday, January 12, 2009
Sunday, January 11, 2009
Soal Try Out UN Sosiologi-3
Butuh soal-soal try out UN SOsiologi ? Download aja dengan cara klik pada judul di atas dan gunakan sebagai bahan persiapan UN... Selengkapnya...
Soal Try Out UN Sosiologi-2
Soal-soal berikut bisa membantu dalam persiapan Ujian Nasional mapel Sosiologi. Download dengan cara klik pada judul di atas dan tinggalkan komentar anda... Selengkapnya...
Soal Try Out UN Sosiologi-1
Berikut adalah salah satu soal try out UN Sosiologi. Bisa digunakan untuk latihan soal anak IPS dalam persiapan UN. Download aja disini dengan cara meng-klik judul di atas dan tinggalkan komentar anda sebagai masukan bagi saya... Selengkapnya...
Saturday, January 10, 2009
Filosofi Penelitian Sosial
Materi ini salah satu bagian mengenai dasar-dasar penelitian sosial. Bisa didownload dan digunakan sebagai sumber yang memperkaya bahan ajar.. Selengkapnya...
Friday, January 9, 2009
Astrologi dalam Perspektif Paul Thagard, Science atau Pseudoscience ? - oleh Yudha Kusniyanto, S.Sos
Karl Popper dalam esainya “Science: Conjectures and Refutations” memberikan batasan dan kriteria-kriteria ilmu (Klemke,dkk(ed), 1980: 19-34). Dimana kemudian kriteria-kriteria tersebut digunakan untuk mengklasifikasi sebuah pengetahuan sebagai ilmu (science) atau bukan ilmu (non-science). Popper juga menyinggung astrologi sebagai pengetahuan yang tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu (1980: 23). Penjelasan berkaitan dengan klaim Popper tersebut diuraikan Paul Thagard dalam esainya “Why Astrology is a Pseudoscience” (1980:66-75). Thagard secara khusus memberikan alasan-alasan di balik penyebutan astrologi sebagai ilmu semu atau pseudoscience. Perbedaan yang nampak adalah jika Popper secara hitam putih menyebut astrologi sebagai bukan ilmu, Thagard menyebutnya sebagai ilmu semu. Mengapa Thagard “hanya” menyebut astrologi sebagai “ilmu semu” dan bukan “bukan ilmu” ? Berpijak pada esai yang ditulis Paul Thagard, makalah ini bertujuan untuk berupaya memberikan penjelasan atas pertanyaan tersebut. Untuk lebih memahami konteks dari bahasan utama dalam makalah ini, perlu diuraikan terlebih dahulu definisi pseudoscience dan definisi astrologi. Kemudian dalam bagian selanjutnya diuraikan bagaimana posisi astrologi dalam science menurut Thagard, dan pada bagian akhir disampaikan kesimpulan dari makalah ini.
Apa itu Pseudoscience ?
Dalam Wikipedia English – a Free Encyclopedia, pseudoscience didefinisikan sebagai “...a body of knowledge, methodology, belief, or practice that is claimed to be scientific or made to appear scientific, but does not adhere to the scientific method, lacks supporting evidence or plausibility, or otherwise lacks scientific status”. Dengan kata lain, pseudoscience adalah sebuah pengetahuan, metodologi, praktek, ataupun keyakinan yang diklaim sebagai sebuah kebenaran yang ilmiah, tetapi tidak didasarkan pada metode ilmiah, minim bukti ataupun sesuatu yang masuk akal, dan pada akhirnya tidak cukup layak untuk disebut sebagai sesuatu yang ilmiah.
Istilah pseudoscience berasal dari kata dalam bahasa yunani “pseudo” yang berarti tiruan, tidak nyata, atau kepura-puraan serta kata dalam bahasa latin “scientia” yang berarti ilmu atau pengetahuan. Secara bebas pseudoscience bisa diartikan sebagai “ilmu yang bukan ilmu” atau “ilmu semu”. Pseudoscience pertama kali dicetuskan pada tahun 1843 oleh fisiologis Perancis, Francois Magendie, yang dikenal sebagai pelopor dalam fisiologi eksperimental.
Karakteristik yang umumnya bisa digunakan untuk menandai pseudoscience diantaranya adalah penggunaan klaim yang samar-samar atau ambigu (vague), klaim kebenaran yang dilebih-lebihkan tanpa teruji kebenarannya (exaggerated and untestable), sangat mengutamakan dukungan daripada penyangkalan terhadap klaim kebenaran yang diberikan (over-reliance in confirmation rather than refutations), kurang terbuka terhadap kemungkinan untuk diuji oleh pihak lain (lack of openness to testing by other experts), dan minimnya kemajuan dalam pengembangan teori yang dilakukan (lack of progress in theory development).
Apa itu Astrologi
Thagard (1980: 66-68) mengungkapkan bahwa seringkali terjadi kesalahan persepsi mengenai astrologi yang terjadi di masyarakat, terutama karena astrologi dikenal masyarakat melalui ramalan-ramalan bintang yang ada di dalam koran atau majalah populer. Astrologi yang umumnya ada dalam koran atau majalah tersebut biasanya melakukan penandaan dengan hanya didasarkan pada pergerakan matahari. Sedangkan astrologi yang sesungguhnya juga memperhitungkan keberadaan bulan, planet-planet, maupun material lain yang ada di semesta. Astrologi membagi langit berdasarkan dua belas region yang kita kenal sebagai zodiak seperti libra, gemini, aquarius, dsb. Zodiak tersebut ditentukan berdasarkan periode tanggal kelahiran tertentu. Misalnya jika seseorang lahir antara 23 september hingga 22 oktober, maka ia ada dalam lingkup region libra. Penandaan tersebut didasarkan pada pergerakan langit dan matahari di ufuk timur saat waktu kelahiran seseorang. Untuk dapat melakukan penandaan ini dengan akurat, maka pengetahuan yang mendalam tentang waktu dan tempat kelahiran mutlak diperlukan. Karena dalam astrologi, ada asosiasi antara waktu kelahiran seseorang dengan keberadaan bulan dan planet-planet. Dimana kemudian kombinasi perhitungan dari pergerakan matahari, bulan, dan keberadaan planet-planet tersebut dikatakan mempunyai pengaruh kuat terhadap karakter, kepribadian, maupun nasib seseorang.
Astrologi adalah sebuah praktek kuno, yang muncul pertama kali pada ribuan tahun sebelum masehi (SM) di Chaldea. Baru pada sekitar tahun 700 SM, zodiak diproklamirkan dan dalam perkembangannya berabad-abad kemudian menjadi dua belas zodiak yang kini familiar di masyarakat. Ekspansi Aleksander Agung membawa astrologi ke Yunani, dan kemudian dikenal oleh Romawi. Sejarah romawi mencatat bahwa Julius Caesar adalah tokoh yang menggunakan horoskop dalam masa kekuasaannya. Pada waktu itu astrologi sangat populer di Romawi, meski beberapa kalangan seperti Lucretius dan Cicero menentang keberadaan astrologi.
Kodifikasi yang dilakukan Ptolomeus melalui Tetrabiblos (ditulis sekitar pada abad kedua) menjadi sumber yang sangat fundamental mengenai astrologi. Dalam buku itu dipaparkan detil dari kekuatan dan pergerakan matahari, bulan, planet-planet, dan implikasinya bagi kehidupan manusia. Bagi Ptolomeus, astrologi mempunyai derajat yang sama dengan geografi dan astronomi. Ia berargumen bahwa melalui astrologi dapat dilakukan prediksi mengenai apa yang akan terjadi dalam hidup manusia. Perubahan gerak dan posisi matahari, bulan dan planet-planet mempunyai efek yang signifikan terhadap hidup manusia. Dalam Almagest, Ptolomeus juga bersikukuh bahwa melakukan prediksi atas hidup manusia dengan astrologi adalah mungkin, dimana ia merujuk implikasi pergerakan matahari, bulan dan planet-planet terhadap bumi, misalnya dalam hal cuaca dan pasang surut air laut.
Pada masa renaissance yang merupakan tonggak kebangkitan ilmu modern, praktek okultisme dan astrologi masih tumbuh subur. Bahkan tokoh sekaliber Keppler turut menaruh perhatian terhadap astrologi. Pada abad ke-17, astrologi sangat populer. Namun kepopuleran itu surut pada abad ke-18 seiring masa pencerahan (enlightenment) yang dipelopori diantaranya oleh Swift dan Voltaire. Astrologi kembali eksis pada tahun 1930 dan bahkan mendapatkan kepercayaan dari beberapa kalangan masyarakat sebagai petunjuk nasib dan kehidupan.
Astrologi dalam kerangka Science dan Pseudoscience
Menanggapi tren astrologi di masyarakat, Bart Bok, Lawrence Jerome dan Paul Kurtz pada tahun 1975 (Thagard,1980: 67) membuat pernyataan yang intinya menyerang astrologi. Pernyataan tersebut didukung dan ditandatangani oleh 192 ilmuwan terkemuka, termasuk 19 orang penerima nobel. Tiga hal utama yang termuat dalam pernyataan tersebut adalah: Pertama, astrologi pada dasarnya merupakan bagian dari sudut pandang yang supranatural, metafisis, dan transenden (magical world view). Kedua, Keberadaan planet terlalu jauh dan tidak signifikan untuk dijadikan pijakan fisik bagi astrologi. Dan ketiga, masyarakat mempercayai astrologi semata-mata hanya untuk mencari kenyamanan. Bok mengungkapkan bahwa mencoba melakukan pengujian terhadap prediksi astrologi adalah sesuatu yang sia-sia karena astrologi tidak mempunyai pijakan fisik yang dapat diukur. Ia juga menegaskan adanya efek psikologis bagi individu-individu yang mempercayai astrologi, dimana mereka cenderung menjadikan astrologi sebagai dasar irasional penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Jerome menguatkan pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa astrologi lebih merupakan sebuah system of magic daripada sebuah ilmu.
Namun demikian bagi Thagard, apa yang diungkapkan Bok dkk tidaklah cukup kuat dijadikan dasar untuk menandai astrologi sebagai pseudoscience. Pertama, prinsip asal-usul seperti yang diungkapkan Bok tidaklah dapat dijadikan dasar sesuatu disebut sebagai ilmu. Tidak hanya astrologi yang mempunyai asal-usul berbau mistis, bahkan sejarawan mengindikasikan proses serupa juga terjadi pada penemuan Newton ataupun Einstein sekalipun. Yang kedua, dasar kepercayaan individu terhadap astrologi tidak semata-mata karena dasar irasional. Dalam taraf tertentu, alasan logis dan rasional bisa menjadi dasar individu untuk mempercayai astrologi. Terakhir, pijakan fisik sebagai dasar sebuah kebenaran tidak bisa diterima secara mutlak. Contohnya adalah tidak ada penjelasan mekanis antara hubungan rokok dan kanker. Kesimpulan mengenai hubungan tersebut bahwa merokok akan menyebabkan kanker lebih diperoleh dari kecenderungan data statistik.
Bagaimana jika kemudian astrologi diukur dari kriteria verifikasi dan falsifikasi ? Ada beberapa pihak yang mencoba melakukan pengujian dan serangkaian tes untuk menguji klaim kebenaran astrologi. Salah satu di antaranya yang menjadi pelopor adalah Michel Gauquelin. Gauquelin mencoba menarik hubungan antara karir dan zodiak dan melakukan survei pada 25.000 orang perancis. Astrologi berpendapat bahwa zodiak seseorang akan mempengaruhi secara pasti kecenderungan karakter dan posisi seseorang dalam pekerjaannya. Misalnya karakter Mars (yang dalam mitologi Yunani adalah Ares sang dewa perang) banyak mempengaruhi orang-orang yang lahir pada rentang zodiak Mars untuk menjadi tentara atau atlet. Sedangkan Venus (dalam mitologi Yunani adalah dewi kecantikan) lebih banyak menghasilkan orang-orang yang bekerja dalam bidang artistik dan keindahan. Dalam survei yang dilakukannya, ternyata Gauquelin menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara karir seseorang dengan apa zodiaknya. Tetapi ia menemukan ada peluang yang lebih besar misalnya seorang yang berzodiak mars untuk menjadi atlet ketimbang yang berzodiak venus, demikian pula sebaliknya. Namun demikian, Thagard mengungkapkan bahwa meski penemuan Gauquelin benar, astrologi tetaplah sukar untuk diverifikasi dengan tepat, terutama mempertimbangkan aspek ketidakpastian dari determinasi zodiak terhadap karir. Bagaimanapun usaha Gauquelin dapat dilihat sebagai adanya sedikit kadar verifiabel dalam astrologi. Artinya kriteria verifikasi tidak dapat sepenuhnya dapat menandai astrologi sebagai pseudoscience. Di pihak lain, jika menerapkan prinsip falsifikasi dalam menilai astrologi, perlu diperhatikan bahwa falsifikasi hanya dapat dilakukan jika ada teori lain yang lebih baik atau dapat menggantikan astrologi. Merujuk pada penelitian Gauquelin, meski tidak seratus persen akurat, tetapi prediksi yang dilakukan astrologi tidaklah lebih buruk dari teori lain. Artinya jika ada teori lain yang bisa menjadi pembanding yang lebih baik untuk astrologi, maka prinsip falsifikasi bisa menempatkan astrologi sebagai pseudoscience.
Bukan prinsip verifikasi, falsifikasi, ataupun kriteria Bok dkk yang dapat menandai astrologi sebagai pseudoscience. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa astrologi mempunyai banyak kelemahan dan masalah yang harus dihadapi. Terutama bagaimana memberikan jawaban dan prediksi yang tepat terhadap apa yang diklaim astrologi sebagai kebenaran. Karena faktanya, tidak semua orang berzodiak scorpio bernasib sama, atau semua orang berzodiak aries mempunyai keberuntungan yang sama. Pertanyaannya sekarang adalah dimanakah posisi astrologi ? Science atau pseudoscience ? Thagard (1980: 70) memberikan tiga kriteria untuk membedakan antara astrologi dengan ilmu: theory, community dan historical context. Theory, artinya setiap ilmu harus mempunyai struktur, kemampuan memprediksi, kemampuan menjelaskan, dan kemampuan memecahkan masalah. Hal ini senada dengan pendapat Bok mengenai pijakan fisik bagi sebuah teori. Namun demikian, seperti dipaparkan di atas, hal ini saja tidak cukup untuk menempatkan astrologi sebagai pseudoscience.
Hal kedua yang juga patut diperhatikan sebagai kriteria pembedaan astrologi dengan ilmu adalah community. Artinya menunjuk pada mereka-mereka yang berkecimpung dalam dunia astrologi. Dimana beberapa pertanyaan penting yang harus dijawab oleh para astrolog adalah: Apakah ada kesepakatan di antara mereka mengenai prinsip-prinsip astrologi dan cara astrologi memecahkan masalah ? Apakah ada kepedulian di kalangan astrolog untuk menjelaskan anomali dalam teori maupun membandingkan kesuksesan astrologi dengan teori lainnya ? Apakah para astrolog secara aktif mau melakukan konfirmasi maupun penyangkalan terhadap teori ? Jika jawaban yang diberikan para astrolog terhadap ketiga pertanyaan ini adalah “tidak”, maka penilaian bahwa astrologi adalah pseudoscience baru mulai bisa lebih dikuatkan.
Yang terakhir adalah historical context atau konteks historis dari teori tersebut. Merujuk pada Kuhn, Thagard mengungkapkan bahwa sebuah teori dapat ditolak sebagai teori apabila teori tersebut menghadapi anomali dalam periode waktu yang lama dan teori tersebut juga menghadapi tantangan dari teori yang lain. Dari ketiga kriteria di atas, Thagard menyimpulkan prinsip-prinsip yang bisa menjadi kriteria untuk mengatakan sebuah teori sebagai pseudoscience adalah:
1. Bila sebuah teori tidak progresif dan mengalami tantangan dari teori lain yang dapat menjadi alternatif dalam periode waktu yang lama, sementara teori itu sendiri menghadapi banyak masalah yang memerlukan pemecahan.
2. Bila komunitas dari para praktisi teori tersebut enggan melakukan pengembangan teori untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi, tidak memperlihatkan keinginan untuk melakukan evaluasi teori dan kaitannya dengan teori lain serta sangat selektif dan minim dalam melakukan konfirmasi maupun penyangkalan terhadap teori.
Kesimpulan
Thagard tidak serta-merta melakukan penilaian bahwa astrologi adalah pseudoscience dari sudut pandang kriteria verifikasi dan falsifikasi yang diungkapkan Popper. Thagard tidak juga mengaburkan batas antara science dengan pseudoscience seperti halnya Feyerabend. Thagard memberikan sudut pandang berbeda dengan memberikan konteks historis dan konteks sosial dalam menilai astrologi sebagai science atau pseudoscience. Konteks historis artinya jika dalam periode waktu astrologi tidak mampu memecahkan masalah yang dihadapinya, dan muncul teori alternatif yang mampu menjawab permasalahan itu, maka astrologi termasuk sebagai pseudoscience. Dengan kata lain, sebetulnya astrologi menjadi pseudoscience seiring dengan munculnya psikologi modern di awal abad ke-19. Namun sejarah mencatat bahwa astrologi dikeluarkan dari lingkaran ilmu sejak abad ke-18. Thagard menyebut bahwa hal ini disebabkan bahwa pada masa itu astrologi sudah dicap lebih dahulu sebagai pseudoscience sehingga sulit untuk berkembang.
Dalam menilai astrologi sebagai science atau pseudoscience diperlukan juga konteks sosial. Artinya bahwa penilaian itu akan menjadi relatif tergantung pada aspek kultural dalam masyarakat. Thagard memberikan contoh masyarakat terisolir dalam hutan di Amerika selatan yang mempercayai astrologi sebagai sebuah kebenaran. Karena dalam seluruh masyarakat itu tidak dilakukan kegiatan pengembangan teori, juga tidak diketahui adanya teori lain yang dapat menjadi alternatif, maka astrologi yang berlaku di dalam masyarakat tersebut tidak dapat disebut sebagai pseudoscience. Sehingga bisa disimpulkan bahwa astrologi menjadi pseudoscience ketika ia hidup di tengah-tengah peradaban barat dan peradaban lain yang telah banyak terpengaruh oleh arus pemikiran barat. Ketika di suatu masyarakat dimana astrologi tidak mempunyai “saingan” yang dapat menunjukkan ketidakmampuannya untuk menjawab tantangan peradaban, maka dalam masyarakat tersebut astrologi dapat berdiri kokoh sebagai science. Dengan kata lain, tidak bisa dilakukan sebuah generalisasi kriteria yang bersifat absolut untuk sebuah teori dikatakan sebagai science atau pseudoscience. Karena bagaimanapun ada kondisi sosial dan kultural yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya.(ydk)- by Yudha Kusniyanto@sept2008
Selengkapnya...
Rajawali vs Emprit
Kira-kira hal apa yang menjadi “momok” buat anak kelas XII (3 SMA) ? Ya, nampaknya tidak salah kalau kita menjawab Ujian Nasional (UN) sebagai sesuatu yang paling menakutkan buat anak kelas XII. Bagaimana tidak, vonis atas kelulusan mereka tergantung pada beberapa mata pelajaran yang diujikan hanya dalam tiga hari. Buat mereka, bisa lulus artinya seperti lolos dari gua singa dan tidak lulus artinya terperangkap dalam kegagalan dan rasa malu. Mencontek judul film yang dibintangi Nicholas Saputra, UN itu bagaikan “tiga hari untuk selamanya”. Nah, hari-hari yang terlewati sejak aku masuk pertama kali di kelas XII sebetulnya menjadi hari-hari yang cukup menyenangkan. Aku jadi melihat bahwa di balik setiap tindakan dan kenakalan mereka, mereka mempunyai latar belakang dan alasan yang bermacam-macam. Istilahnya, aku jadi melihat kemanusiaan mereka yang sebetulnya jauh berbeda dari yang aku bayangkan. Mereka adalah anak-anak muda yang membutuhkan “sesuatu”. “Sesuatu” itu bisa berarti teman, sahabat, teladan, panutan, dukungan, atau bahkan sandaran. Secara sederhana, aku jadi merasa punya ikatan dan tanggungjawab terhadap mereka (sesuatu yang sebelumnya selalu aku hindari). Ikatan dan tanggungjawab itu menjadi semakin kuat ketika “momok” bernama ujian nasional mulai menghantui mereka.
Kalau mau jujur, sebetulnya bagi murid-muridku, menghadapi UN ibarat menghadapi sebuah pertandingan final. Tentu saja tidak semua orang akan memilih peranan yang sama dalam pertandingan itu. Imbasnya, secara garis besar ada empat peranan yang muncul dari murid-muridku. Yang pertama, mereka yang memilih untuk berperan sebagai “pemain”. Mereka-mereka yang masuk kelompok ini umumnya mempersiapkan diri dengan keras. Bahkan tidak jarang mereka menambah porsi “latihan”, misalnya dengan mengikuti les ataupun setia mendatangi guru mapel buat konsultasi. Tidak semua anak yang masuk kelompok ini adalah anak yang dikenal pintar di kelas, tetapi juga anak-anak yang dikenal lemah dalam pelajaran. Bukan apa-apa, alasan utama mereka memilih jadi “pemain” sebetulnya adalah ketakutan dan kekhawatiran apakah dengan kecerdasan yang “pas-pasan” (ini menurut mereka lho..) mereka bisa lulus. Tapi yang jelas, mereka yang ada di kelompok ini patut diacungi jempol karena semangat dan kemauannya yang besar.
Yang kedua, adalah mereka yang memilih untuk jadi “komentator”. Mereka tahu bahwa “final” itu harus dimenangi. Mereka juga tahu bahwa untuk menang harus berlatih dan mempersiapkan diri dengan baik. Tapi sayangnya, mereka tidak mau bersusah-susah untuk itu. Tahu bagaimana caranya tetapi tidak mau melakoni usahanya. Ingin hasilnya tetapi takut untuk menjalani prosesnya. Murid-murid yang masuk di kelompok ini umumnya selalu berusaha “melarikan diri” dengan melakukan refreshing sebanyak-banyaknya atau dengan ucapan “santai saja, jangan dibuat ngoyo”. Yang gawat, mereka sering berlindung di balik kata “percaya” dan “iman” bahwa mereka pasti lulus. Percaya dan iman sih memang perlu, tapi kalau tanpa usaha sama sekali ? Bahkan burung-burung di udara yang dipelihara Tuhan pun harus terbang kesana kemari dan berusaha keras untuk mendapatkan makanan kan ? Yang jelas, setahuku Tuhan tidak pernah memberikan makanan untuk burung-burung langsung dari langit dan sekaligus menyuapkannya ke paruh mereka. Nah lho..!!
Kelompok yang ketiga, adalah mereka yang memilih jadi “suporter”. Artinya mereka adalah kelompok yang mengekor apapun hasil yang didapat “pemain”. Dengan kata lain mereka yang di kelompok ini cenderung bergantung pada teman-temannya yang jadi “pemain”. Syukur-syukur “pemain” menang, sehingga mereka pun ikut menang. Mereka menanti limpahan jawaban sebagai bentuk “kemurahan hati” dan “belas kasihan”. Otomatis, bagi kelompok ini posisi tempat duduk di waktu ujian menjadi penentu keberhasilan mereka. Kalau dapat tempat duduk dekat si bintang kelas, mereka ibarat duduk di kursi VVIP. Yah, sial-sialnya dapat tempat duduk kelas festival alias dekat dengan anak yang niat meski tidak pintar-pintar amat. Seenggak-enggaknya bisa dapat jawaban meski belum tentu benar.
Yang terakhir, sebuah pertandingan olahraga biasanya tidak lepas dari pertaruhan atau judi. Nah, kelompok petaruh ini biasanya menempuh banyak cara yang umumnya tidak jujur. Yang penting menang. Mereka tahu bahwa UN itu adalah “final” yang harus dimenangi. Tapi mereka juga tidak yakin diri mereka mampu untuk memenanginya dengan jujur. Akhirnya mereka menggunakan semua sumber daya terutama ekonomi yang mereka miliki. Berusaha kesana kemari mendapatkan dan membeli bocoran dengan harga yang kadang tidak masuk akal dibanding dengan kadar kebenarannya, atau memberikan imbalan uang pada teman yang mau memberikan jawaban. Mereka yang masuk kelompok ini bahkan tidak hanya mereka yang memang mampu secara finansial, tetapi mereka juga yang keuangannya pas-pasan. Jual handphone sampai korupsi uang spp pun terpaksa dilakoni demi menempuh jalur “petaruh” ini.
Pertanyaannya, kira-kira dari empat kelompok tadi mana yang paling besar persentase keberhasilannya ? Wallahualam..Susah untuk dipastikan !! Ujung-ujungnya semuanya kembali pada rahasia dan kemurahan hati Sang Khalik. Banyak cerita bahwa anak pintar belum tentu lulus UN, sebaliknya anak bodoh belum tentu tidak lulus UN. Hebatnya, semua murid-murid aku menyadari hal itu..!! Mereka tahu bahwa selalu ada faktor x yang tidak bisa diprediksi, dan itu jadi wilayah Tuhan. Jadinya selain mempraktekkan cara-cara di atas, mereka juga beramai-ramai mencari Tuhan. Yang biasanya cuma nongkrong di masjid, menjelang UN mulailah mereka sholat tahajud. Yang biasanya ke gereja kalau sempat, menjelang UN mereka nyempet-nyempetin diri ke gereja. Yang biasanya sebelum makan saja emoh berdoa, menjelang UN sebelum dan sesudah makan pun berdoa. Kalau mereka yang termasuk kelompok “pemain” sih agaknya memang sudah pas dan wajar kalau selain berusaha mereka juga berdoa. Lah kalau kelompok “komentator”, “suporter” dan “petaruh” ?Agaknya dialog berikut bisa menggambarkan jawabannya. “Tuhan kan melarang kita berbuat yang tidak jujur. Lha kamu mau berbuat curang, terus ngapain kamu berdoa ? itu kan aneh ?” tanya si Paidi pada Darmo. Darmo menjawab “lho, curang itu kan tergantung dari mana kita melihatnya. Kalau buat aku itu bentuk kreativitas dan usaha supaya berhasil. Makanya minta ijin sama Tuhan, seenggak-nggaknya biar nggak ketahuan sama pengawas..”. Itulah realitas kita, berbuat salah pun masih mencari pembelaan dan pembenaran. Jangan-jangan jika karena curang terus kemudian mereka lulus, itu pun dianggap sebagai kewajaran ? Wah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya mereka setelah lulus UN nanti. Jadi rajawali, atau sekedar emprit ?? (ydk)
Selengkapnya...
Guru Kagok
Guru kelas XII dan X ??What ?? Itu reaksi pertamaku kala diminta mengajar sosiologi di sebuah SMA swasta di kota Salatiga tepat 6 bulan setelah lulus kuliah. Asal tahu saja, sekolah dimana aku mengajar terkenal di seantero kota sebagai sekolah yang murid-muridnya ndableg meski juga terkenal elite dan mampu dari segi ekonomi. Karuan saja muncul ketakutan di pikiranku terutama soal mengajar kelas XII. Kalau mengajar kelas X sih masih bisa diterima lah, toh aku dan mereka sama-sama “orang baru”, setidak-tidaknya masih punya modal wibawa jadi guru. Tapi kelas XII? Mereka kan sudah lebih “senior” daripada aku di sekolah itu. Tambahan lagi, aku tidak punya modal teknik mengajar sama sekali (kuliah aku S1 sosiologi dari FISIP bukan kuliah pendidikan) plus usia yang cuma terpaut 5 tahun dari rata-rata usia mereka. Secara fisik pun, banyak orang bilang kalau aku pakai seragam SMA masih pantes ditunjang dengan perawakan yang cungkring habiss...Makanya, hari pertama mengajar jadi “tanggal merah” yang sukses memaksaku melakukan sesuatu yang sudah amat jarang aku lakukan saat itu...Berdoa dan berpuasa..!!Hahaha...
Nah, “akhirnya datang juga” (bukan promosi acara tv lho..) hari pertama mengajar di kelas XII. Persis seperti tentara yang mau maju perang, segala kemungkinan juga sudah aku siapkan. Kalau tentara bersiap dengan senjata isi peluru, aku juga bersiap dengan senjata kata-kata kalau-kalau murid-murid itu menembaki aku dengan peluru cibiran plus berondongan kata-kata pedas. Pikirku, pengalaman jadi anak IPS semasa SMA bisa jadi modal buat menghadapi mereka. Mungkin secara psikologis ada kesamaan, meski toh rasa gugup juga tetap setia menemani hari itu.
Dan benar saja, cuma satu kata yang bisa dipakai buat menggambarkan situasi kelas saat itu...Gila !! Perawakan mereka yang “gede-gede” (mungkin itu indikasi perbaikan gizi anak Indonesia) awalnya membuatku agak gentar. Lagipula nampaknya mereka bukan hanya “biang ribut”, tapi sudah pada taraf “ahli ribut”. Aku ngomong dua kata, mereka ngomong empat kata. Aku ngomong satu kalimat, mereka ngomong satu paragraf. Pokoknya, mirip dengan konsep kelipatan di matematika. Bayangkan jika aku ngomong satu alinea, jangan-jangan mereka akan menyahut dengan omongan satu novel..wah!! Kritisnya bukan main, persis seperti yang disampaikan kepala sekolah tentang karakter anak-anak kelas XII IPS. Apalagi nampaknya mereka pikir sosiologi bukan pelajaran yang menarik, entah karena memang sudah antipati atau karena sosiologi yang mereka terima sebelumnya memang terasa membosankan (soal pengajaran sosiologi yang sering dianggap membosankan ini akan diulas di tulisan lain). Yang paling “menyakitkan”, fisikku yang junkies ini membuat mereka menyebut dan menarik kesimpulan bahwa aku ini seorang “pemakai” !! Yah, meski aku juga bukan orang yang “bener”, tapi satu kenakalan yang sama sekali tidak pernah aku sentuh adalah narkoba. Kontan saja rasa jengkel menyeruak di hati. Tapi entah kenapa, di bagian lain hati aku mengatakan bahwa ini tantangan yang harus dihadapi. Aku harus bisa “menguasai” mereka..!!
Pikiranku dikuasai kesadaran bahwa aku harus segera menemukan cara untuk menaklukkan mereka. Prosesor inti di otak pun segera mengolah data meski memori RAM dan memori harddisknya terbatas. Beruntunglah aku karena tidak pernah ada virus brontok atau worm yang bisa menyerang otak manusia. Sampai akhirnya muncul teori Weber tentang “empati” dan teori Gramsci tentang “hegemoni” yang dulu aku pelajari semasa kuliah. Dengan empati, maka aku mencoba menempatkan diri di posisi mereka, menyelami pikiran mereka, dan mencari tahu apa yang mereka inginkan dariku. Jika berpikir seperti mereka, aku jadi tahu apa yang mereka mau, dan aku pun bisa merumuskan cara apa yang cocok untuk menangani mereka. Ibaratnya, “pegang ekornya tapi lepaskan kepalanya”. Kuasai mereka tanpa mereka menyadari bahwa mereka dikuasai dan bahkan mereka menyerahkan diri untuk dikuasai. Itulah konsep hegemoni yang diungkap Gramsci. Maka kemudian aku katakan pada mereka bahwa di kelasku setiap orang tidak hanya punya kebebasan, tapi juga tanggungjawab masing-masing. Bagiku lebih menyenangkan “santai tapi serius” daripada “serius tapi santai”. Artinya aku membebaskan mereka untuk menikmati pelajaran dengan cara mereka. Jika merasa nyaman mengerjakan soal dengan mendengarkan musik, maka lakukanlah itu. Jika merasa haus atau mengantuk, maka mereka boleh keluar sejenak untuk minum ataupun cuci muka. Tetapi aku pun memberikan batasan-batasan yang harus mereka ikuti. Aku katakan pada mereka bahwa setiap pilihan dan tindakan mengandung konsekuensinya masing-masing. Misalnya mereka boleh protes dan mengkritik, tapi mereka juga harus bisa konsekuen dengan apa yang mereka kritisi dan ucapkan. Setiap pertanyaan dan sanggahan yang diajukan hendaknya dilakukan untuk membangun bukan menjatuhkan. Prinsip demokrasi menjadi landasan utama di kelas. Murid punya hak untuk salah, demikian juga guru tidak selalu benar.
Di luar dugaan, mereka mendengarkan aku. Tapi yang namanya ndableg, setelah itu mereka beramai-ramai mengangkat tangan dan mengatakan “pak, haus, beli minum sebentar ya ?”, “pak, ngantuk, ke belakang ya ?”, dan ini yang paling parah “pak, capek habis olahraga, boleh lesehan dan berbaring di lantai sebentar ?” Yah, masak mau menjilat ludah sendiri, akhirnya aku ijinkan dengan catatan kalau aku bilang “kita mulai” semua harus fokus pada pelajaran. “Sipplah pak” jawab mereka dengan senyum yang seolah-olah sudah menang. “Sialan” batinku, dikerjai murid sendiri di hari pertama mengajar. (ydk)
Selengkapnya...