Friday, May 8, 2009

Pentingnya Bimbingan Konseling untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan di Indonesia


Pendahuluan
Pendidikan adalah salah satu pijakan penting dalam kehidupan, baik dalam lingkup kehidupan personal maupun sosial. Hal ini juga disadari sepenuhnya oelh para founding father negara kita. Kesadaran tersebut diwujudkan dalam pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45), yang meneguhkan pentingnya pendidikan bagi setiap pribadi yang hidup di bumi pertiwi. Sudah 63 tahun berlalu sejak cita-cita pendidikan Indonesia dirumuskan, bagaimana kondisi kekinian pendidikan Indonesia ? Jika kita melihat dengan kacamata objektivitas, maka akan muncul satu kesimpulan bahwa pendidikan di Indonesia belumlah optimal dan masih sangat jauh dari yang diharapkan oleh para founding father negara ini. Wim Tangkilisan, pemimpin umum harian ”Suara Pembaruan” dalam tulisannya di http://www.koranindonesia.com/ menyajikan beberapa data statistik mengenai pendidikan Indonesia. Di antaranya laporan United Nation Educational, Scientific, and Cultural (UNESC), November 2007, yang menyebutkan, bahwa peringkat Indonesia di bidang pendidikan turun dari 58 ke 62. Selain itu, daya saing Indonesia menurut World Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7. Hal ini sebetulnya menunjukkan indikasi adanya ketertinggalan pendidikan kita dari pendidikan negara-negara lain, baik di kawasan regional maupun di kawasan global. Bahkan secara khusus Bank Dunia (World Bank) mempublikasikan laporan mengenai adanya peningkatan kuantitas pendidikan dan anak yang bersekolah di Indonesia, namun tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan (http://siteresources.worldbank.org). Kualitas pendidikan tersebut di antaranya dinilai dari daya saing manusia Indonesia, seperti yang dipaparkan di atas. Sehingga, meskipun banyak di antara anak negeri kerap memenangi berbagai ajang olimpiade akademik, juga banyak di antara anak negeri yang mempunyai posisi penting di beberapa perusahaan global, tetapi prestasi tersebut lebih disebabkan karena faktor individual, bukan hasil dari program yang dijalankan secara nasional.
Secara faktual, tujuan pendidikan Indonesia sering dibiaskan seturut dengan pandangan umum; demi mutu keberhasilan akademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai ebtanas murni, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri. Satu hal yang sering dilupakan adalah proses pembentukan pribadi, proses pendampingan pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian (cura personalis) siswa (Kartono,2007). Akibatnya adalah banyak penilaian yang menganggap bahwa secara hard skills siswa Indonesia tidak kalah dengan negara lain, tetapi secara soft skills (di antaranya EQ, karakter, kedisiplinan, semangat juang, dsb), siswa Indonesia masih harus banyak belajar dari negara-negara lain. Mengingat proses pembentukan, pendampingan, dan pemeliharaan pribadi, terutama di sekolah, adalah bagian dari peran bimbingan dan konseling, maka perlu disadari bahwa sebetulnya bimbingan dan konseling memegang peran yang cukup menentukan dalam peningkatan kualitas pendidikan di sekolah, dan tentu saja berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Dari sini kemudian muncul satu pertanyaan mendasar, dalam hal apakah dan bagaimanakah bimbingan konseling berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan ? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah yang menjadi pokok utama dalam makalah ini. Namun sebelumnya perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep bimbingan konseling dan penerapannya di sekolah Indonesia secara faktual dan aktual pada masa kini.

Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Shertzer dan Stone (1981) mengemukakan bahwa bimbingan (guidance) adalah suatu proses membantu orang-perseorangan untuk memahami dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya (Winkel, 2005: 1). Dalam kerangka ini, maka bimbingan bisa diartikan sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku (Prayitno, 2004: 99). Senada dengan itu, Djumhur dan Moh. Surya (1975:15), berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat. Definisi bimbingan di atas dideskripsikan Moegiadi (1970) dalam beberapa bentuk kegiatan berikut (Winkel, 2005: 29), yakni : (1) suatu usaha untuk melengkapi individu dengan pengetahuan, pengalaman dan informasi tentang dirinya sendiri, (2) suatu cara untuk memberikan bantuan kepada individu untuk memahami dan mempergunakan secara efisien dan efektif segala kesempatan yang dimiliki untuk perkembangan pribadinya, (3) sejenis pelayanan kepada individu-individu agar mereka dapat menentukan pilihan, menetapkan tujuan dengan tepat dan menyusun rencana yang realistis, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan memuaskan diri dalam lingkungan dimana mereka hidup, (4) suatu proses pemberian bantuan atau pertolongan kepada individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan dari lingkungannya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa bimbingan adalah kegiatan yang pada pokoknya memberikan bantuan pada individu untuk menentukan arah, menemukan jalan ataupun mengambil keputusan bagi dirinya sesuai dengan apa yang diidealkan baik oleh dirinya sendiri maupun oleh lingkungannya.
Sedangkan konseling (counseling) didefinisikan oleh Prayitno dan Erman Amti sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien atau konseli) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien (2004: 105). Senada dengan itu, Mappiare (1984) mendefinisikan konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus (Winkel, 2005: 35). Dari sini kemudian bisa disimpulkan bahwa konseling adalah usaha membantu konseli atau klien dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus yang dihadapinya dan berujung pada pemecahan masalah tersebut. Jika diambil benang merah antara bimbingan (guidance) dan konseling (counseling), maka bisa dikatakan bahwa masing-masing mempunyai peranan yang khas namun saling melengkapi satu sama lain. Bimbingan lebih bersifat membantu secara preventif (menentukan langkah atau mengambil keputusan ke depan untuk menghindari munculnya masalah atau problem), sedangkan konseling merupakan bantuan yang lebih bersifat represif (mengupayakan solusi setelah mengalami masalah atau problem).
Jika dikaitkan dengan implementasi bimbingan konseling dalam institusi pendidikan, bagaimanakah proses bimbingan konseling yang terjadi di sekolah-sekolah ? Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa menjadi sangat beragam dan relatif. Di satu sisi, bisa disebut bimbingan konseling di sekolah dan pendidikan Indonesia sudah terakomodasi dengan baik. Pemerintah melalui UU no 20 th 2003 tentang pendidikan nasional menegaskan pentingnya bimbingan konseling yang tersirat dalam makna pendidikan dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Selain itu, Departemen Pendidiikan juga mengeluarkan petunjuk pelaksanaan bimbingan konseling di sekolah (1994). Hal ini menunjukkan adanya kepedulian pemerintah terhadap implementasi bimbingan konseling di sekolah. Sehingga ketika ada campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan bimbingan konseling di sekolah, bisa dikatakan ada dukungan kuat, karena dalam penerapan bimbingan konseling di sekolah, peran serta pemerintah dan pihak yang berwenang adalah sesuatu yang penting (Tan, 2004: 232).
Akan tetapi, di sisi lain, secara faktual dan aktual, implementasi bimbingan konseling di sekolah belumlah seperti yang diharapkan dan diidealkan. Adanya sasaran utama pencapaian standar akademik semisal ujian nasional ataupun kompetensi kognitif lain, terkadang mengabaikan peranan bimbingan konseling. Bahkan dalam pengalaman penulis, dalam mengejar target kelulusan, ada beberapa sekolah yang meniadakan jam pelajaran untuk bimbingan konseling di kelas. Sementara di lain pihak, ada kecenderungan umum bahwa terjadi kerancuan peran bimbingan konseling di sekolah. Peran pembimbing dan konselor dengan lembaga bimbingan konseling (BK) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi, ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner siswa. Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi label BK di banyak sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai “musuh” bagi siswa bermasalah atau nakal (Kartono,2007). Seolah-olah terjadi dikotomi antara keberhasilan akademik dengan pembentukan kepribadian. Hal ini kemudian menimbulkan kegelisahan tersendiri, karena sebetulnya bimbingan konseling mempunyai peran penting dalam meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri.

Pentingnya Bimbingan Konseling dalam Peningkatan Mutu Pendidikan
Dalam hal apa dan bagaimanakah bimbingan konseling bisa berperan dalam peningkatan mutu pendidikan ? Jawabannya harus dimulai dari tiga hal yang bisa menjadi indikator dari kesuksesan pendidikan itu sendiri, yakni administrasi sekolah, pengajaran dan pembelajaran yang dilakukan, dan tentu saja hasil yang diperoleh oleh siswa. Secara nyata, bimbingan konseling mempunyai kaitan erat dengan ketiga hal ini, sehingga bisa dilihat peran bimbingan konseling dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pertama, kaitan antara bimbingan konseling dengan administrasi sekolah, dimana yang dimaksud dengan administrasi sekolah bukanlah aspek tata usaha, melainkan lebih pada aspek manajerial dan kepemimpinan sekolah. Tan (2004: 232) menyebutkan bahwa kesuksesan bimbingan konseling juga sangat tergantung pada administrasi, kepemimpinan di sekolah, dan seluruh sumber daya yang ada di sekolah. Secara khusus bimbingan konseling dan administrasi sekolah mempunyai hubungan yang bersifat mutualistik. Administrasi sekolah membutuhkan bimbingan konseling dalam hal masukan, saran-saran, dam laporan-laporan yang terutama berkaitan dengan kebutuhan siswa, tujuannya adalah supaya terjadi peningkatan mutu dan layanan yang diberikan pihak sekolah terhadap siswa (Winkel, 2005: 85). Dengan melakukan bimbingan dan konseling pada siswa, pihak BK diharapkan mengerti dan memahami apa yang menjadi kebutuhan siswa secara komperehensif untuk disampaikan pada pihak sekolah. Sedangkan bimbingan konseling juga terutama membutuhkan dukungan dan antusiasme dari pihak administrator sekolah baik dalam segi moral, etika, fasilitas, maupun profesionalitas. Dua kaitan ini sebenarnya mengindikasikan diperlukannya bimbingan konseling dalam hal meningkatkan kualitas layanan sekolah bagi siswa, baik dalam hal pendidikan maupun aspek pelayanan yang lainnya (afektif, psiko-sosial,dsb).
Kedua, kaitan antara bimbingan konseling dengan aspek pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Aspek pengajaran dan pembelajaran di sekolah identik dengan kurikulum yang ada, dimana kemudian tujuannya adalah menyediakan pengalaman belajar bagi siswa. Sedangkan bimbingan konseling membantu siswa untuk meresapi pengalaman belajar tersebut. Dengan kata lain, bidang pengajaran menyajikan pengalaman belajar, sedangkan bimbingan konseling mengajak siswa untuk merefleksikan pengalaman belajar itu dalam konteks personal dan sosialnya (Winkel, 2005: 89). Artinya dengan masukan dari bimbingan konseling, kurikulum bisa menjadi lebih personal bagi siswa. Bimbingan konseling juga dapat membantu peningkatan aspek pengajaran dan pembelajaran dalam hal pengembangan kurikulum (agar sesuai dengan kebutuhan dan kapabilitas siswa) dan juga dalam penentuan penjurusan siswa, terutama agar penjurusan siswa tidak hanya didasarkan pada hasil tes IQ semata, tetapi juga memperhitungkan aspek minat, bakat, psikologis, dan kompetensi siswa.
Ketiga, keterkaitan antara bimbingan konseling dengan siswa. Dimana sesungguhnya, bimbingan konseling punya peran besar dalam meningkatkan kualitas siswa. Hal ini sejalan dengan tujuan utama dari bimbingan dan konseling di sekolah yakni untuk membantu individu (siswa) mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya (seperti: kemampuan dasar dan bakat-bakatnya), berbagai latar belakang yang ada (seperti: latar belakang keluarga, pendidikan, status sosial ekonomi) serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya. Dalam kaitan ini bimbingan dan konseling membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam hidupnya yang memiliki wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian dan keterampilan yang tepat berkenaan dengan diri sendiri dan lingkungannya (Prayitno, 2004: 114). Bimbingan konseling bertugas untuk membantu siswa dalam hal perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis), mengenal diri sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu, serta mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah atau hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup (Kartono, 2007). Dengan mengenal dan memahami siswa secara personal, psikologis maupun sosial, maka bimbingan konseling mengakomodasi keberagaman siswa, serta membantu siswa untuk mengalami pembelajaran yang terkait dan relevan dengan kehidupan mereka, dimana hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang kontekstual (Johnson, 2008: 21). Bimbingan konseling juga membantu siswa menemukan kapabilitas dan kecerdasannya masing-masing tanpa diukur hanya dari IQ sebagai harga mati. Karena di dalam masing-masing siswa setidaknya tersimpan delapan kecerdasan dasar yang bisa dioptimalkan dengan bantuan bimbingan konseling. Kedelapan kecerdasan itu di antaranya kecerdasan linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetis-jasmani, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan kecerdasan naturalis (Armstrong, 2004: 2-4). Bimbingan konseling juga dapat membantu siswa mengatasi permasalahannya dengan melakukan pemeliharaan pribadi dan mewujudkan prinsip keseimbangan. Bimbingan konseling menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa untuk datang membuka diri tanpa waswas akan privacy-nya. Di sana menjadi tempat setiap persoalan diadukan, setiap problem dibantu untuk diuraikan, sekaligus setiap kebanggaan diri diteguhkan. Bahkan orangtua siswa juga dapat mengambil manfaat dari bimbingan konseling di sekolah, dalam rangka untuk lebih mengerti akan pribadi, kebutuhan, dan pergumulan anak mereka (Kartono, 2007).

Kesimpulan
Bimbingan konseling adalah sebuah layanan yang berorientasi pada siswa. Bimbingan konseling berusaha memahami keberadaan dan kebutuhan siswa, serta membantu siswa dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Dari pemahaman akan kebutuhan siswa itulah, maka aspek pendidikan yang lain seperti administrasi dan kurikulum sekolah dibangun. Pijakannya sekali lagi adalah melayani siswa. Bahkan jika kebijakan yang dibuat pemerintah dalam bidang pendidikan juga merujuk pada pemahaman akan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi siswa, maka pendidikan Indonesia akan menjadi pendidikan yang tidak hanya bersifat top down, tetapi lebih bottom up dan berorientasi pada peningkatan kualitas siswa secara menyeluruh dan utuh, baik aspek akademis, psikologis, personal, maupun sosialnya. Jika aspek psikologis, personal dan sosiologis dari siswa bisa terlayani dengan baik, maka akan berimbas pada pencapaian akademik mereka. Namun sekali lagi, hal ini juga bergantung pada sinergi seluruh stakeholder pendidikan, mulai dari pembuat kebijakan, administrator sekolah, guru, dan implementasi dari bimbingan konseling itu sendiri, yang sudah seharusnya tidak menjadi “polisi sekolah” tetapi menjadi “gembala siswa”.

DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Thomas, 2004. Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences dalam Pendidikan. Bandung: Kaifa.
Djumhar dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance & Counseling). Bandung : CV Ilmu.
Johnson, Elaine B, 2006. Contextual Teaching and Learning. Bandung: MLC.
Prayitno, & Erman Amti, 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta.
Tan, Esther, 2004. Counselling in Schools: Theories, Processes dan Techniques. Singapore: McGraw Hill.
Winkel, W.S. & M.M. Sri Hastuti, 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi.
Anonim, 2002. ”Laporan Peningkatan Kualitas Pendidikan”. World Bank (online). Tersedia: http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/
Kartono, ST, 2007. ”Perlunya Bimbingan Konseling”. Didaktika (online). Tersedia: http://qodrat.wordpress.com/2007/10/03/pentingnya-bimbingan-konseling-oleh-st-kartono-dalam-didaktika/
Prayitno. 2008. ”Jenis-jenis Layanan dalam Bimbingan Konseling”. Konselingindonesia (online). Tersedia: http://konselingindonesia.com/
Tangkilisan, Wim, 2008. ” Conscientizacao Paulo Freire dan Mutu Pendidikan Kita”. Suara Pembaruan(online).Tersedia: http://www.koranindonesia.com/2008/10/17/conscientizacao-paulo-freire-dan-mutu-pendidikan-kita/



Selengkapnya...

 


Design by: Pocket
This template is brought to you by : allblogtools.com Blogger Templates